PERLAWANAN WONG SIKEP TERHADAP KEKUASAAN KOLONIAL BELANDA DI BLORA DARI 1890 SAMPAI 1907. Oleh : Sudadi, SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo, Jawa Tengah

  1. Latar Belakang

Keberadaan Sedulur Sikep sebagai pengikut Ki Samin Surosentiko di Blora dan sekitarnya kembali menarik perhatian masyarakat luas terutama di Jawa Tengah seiring dengan munculnya perlawanan warga Kendeng menolak gagasan pembangunan pabrik semen di daerah pegunungan kapur tersebut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bahkan pernah mengundang perwakilan warga Sedulur Sikep dari empat daerah di Pantura di Kompleks Gubernuran Jateng pada 15 Desember 2016 untuk bermusyawarah mengenai rencana pembangunan pabrik semen itu. Sejumlah tokoh masyarakat Sedulur Sikep membantah ikut menolak keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Para penganut ajaran Samin itu menyebut, pabrik milik PT Semen Indonesia itu tidak mempengaruhi kehidupan mereka.1 Pertemuan Ganjar Pranowo dengan warga Sedulur Sikep di Kudus kembali dilakukan pada  26 Februari 2018.  Pertemuan di rumah Bapak Wargono di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus ini dilakukan untuk berdialog dengan Gunarti, aktivis yang menolak pembangunan pabrik semen di wilayah Pati dan Rembang. 2

Komunitas Sedulur Sikep sebagai pewaris dan penerus ajaran Saminisme masih mempertahankan sikap kritis mereka di tengah perubahan zaman yang cepat. Ciri khas menonjol bagi komunitas ini adalah kesederhanaan, kejujuran, keluguan, ketulusan, keterusterangan, dan penggunaan bahasa ‘sangkak’. Namun segala karakter mulia yang disandang warga Sedulur Sikep ini tidak serta merta membuat orang awam mau memahami karakter luhur Sedulur Sikep sebagai bagian dari orang Jawa. Dalam komunikasi sehari-hari sering terdengar sebutan ‘wong samin’ untuk menyebut para pengikut Saminisme ini. Wong samin dikonotasikan sebagai orang aneh karena penalarannya sering berbeda dari orang awam. Sebagian lagi ada yang menganggap Sedulur Sikep sebagai suku yang terpisah dari orang Jawa pada umumnya. 3

__________________________________________

1 Dikutip dari ‘Warga Sedulur Sikep Bantah Ikut Tolak Semen Rembang’ dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161215152638-20-179874

2     Dikutip dari ‘Ganjar Sambangi Tokoh Sedulur Sikep di Kudus’ dalam https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3887165

3  Lihat artikel berjudul ‘Keberadaan Suku Samin di Blora’ dalam http://life.108jakarta.com/2015/11/mengenal-keberadaan-suku-samin-di-blora

 

Sedulur Sikep dan Wong Samin adalah dua sebutan untuk menyebut entitas yang sama. Samin atau Wong Samin adalah satu kelompok orang Jawa yang menganut suatu pandangan hidup (world view) yang mengandung suatu sistem nilai tertentu. Pandangan hidup itu berupa suatu ajaran yang sementara pihak menyebutkan Saminisme yang mewujudkan suatu gerakan yang dinamakan Gerakan Samin. Gerakan ini antara lain bersifat menentang kekuasaan kolonial Belanda. Nama Samin ini diperkirakan berasal dari nama pencetus ajaran tadi. Tokoh tersebut bernama Samin Surosentiko atau Samin Surontiko.  Para pengikut ajaran ini sering disebut Orang Samin atau masyarakat Samin. Sesungguhnya mereka sendiri tidak pernah menyebut diri dan kelompoknya dengan nama itu. Mereka menamakan diri dengan Wong Sikep. Sementara pendapat mengartikan sikep itu adalah “orang yang bersikap” sedangkan pendapat lain mengartikan “sanggama”. Namun mereka tidak menolak disebut “Orang Samin”. Kemudian timbul semacam rasionalisasi, di mana “samin” diartikan “sami-sami” (sama-sama) dan ada pula yang mengartikan “sami-sami amin”.4

Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur. Ada dua aliran Samin yaitu Samin Lugu dan Samin Sangkak. Samin Lugu adalah Samin “murni” bersikap sabar tidak pernah gentar sedikitpun, tidak pernah mendendam dan membalas dendam, segala sesuatu mereka hadapi dengan tenang. Mereka mempercayai hukum karma setiap orang akan menerima akibat perbuatannya. Samin Lugu juga disebut Jomblo-Ito artinya lahirnya bodoh dan tidak mengerti tetapi batin hatinya suci dan murni laksana emas. Samin Sangkak adalah Samin pemberani, bila mendapat lawan akan menangkis untuk melindungi diri sendiri. Mereka mudah menaruh curiga terhadap orang yang belum dikenal, suka membantah dengan alasan yang kurang masuk akal.5

_________________________________________

4          M Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, hal 733

5      Dra. Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: Jarahnitra, 2004.

 

Di tengah derasnya arus budaya asing, sangat diperlukan upaya untuk menggali kearifan lokal yang menjadi identitas budaya Indonesia. Perjuangan Ki Samin Surosentiko bersama Sedulur Sikep melawan pemerintahan kolonial Belanda pada 1890 hingga 1907 sepatutnya mendapatkan apresiasi dari seluruh anak bangsa yang mencintai kemerdekaan. Upaya untuk menggali nilai-nilai perjuangan Wong Sikep perlu dilakukan lewat penelitian jejak-jejak penyebaran nilai-nilai Saminisme dalam kehidupan modern sekaligus mengungkapkan keberadaan mereka di masa lampau. Bahasa sangkak yang sering dianggap tidak wajar harus dipahami dengan benar. Penalaran sangkak sebenarnya diciptakan Ki Samin Surosentiko untuk mengadakan perlawanan pada penjajah Belanda, bukan untuk mengakali sesama anak bangsa. Namun bahasa sangkak sendiri sudah diambang kepunahan.6 Penelitian sejarah yang berkaitan dengan munculnya ajaran Saminisme, sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep, bahasa dan penalaran sangkak sebagai ekspresi perlawanan senyap (perlawanan tanpa senjata), dan tindakan yang dilakukan Pemerintah Belanda untuk mengatasi perlawanan tersebut perlu dilakukan guna mengungkap kembali nilai-nilai perjuangan Wong Sikep melawan kekuasaan kolonialisme Belanda lewat jalan non-kooperatif. Nilai-nilai perjuangan itu diperlukan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia yang mulai luntur.

 

2. Permasalahan

Untuk melakukan penelitian ini diperlukan perumusan masalah. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlawanan Wong Sikep terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada 1890 hingga 1907. Permasalahan tersebut bisa dirinci menjadi tiga sub-permasalahan yaitu:

  1. Bagaimana kondisi sosial budaya warga Wong Sikep pada 1890 sampai 1907?
  2. Mengapa warga Wong Sikep melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada kurun waktu 1890 sampai 1907?
  3. Bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan warga Wong Sikep kepada pemerintah kolonial Belanda dan reaksi Belanda terhadap perlawanan Wong Sikep tersebut?

_____________________________________________

6      Lihat Agus Setiawan, “Sangkak”, Bahasa Ekspresi Perlawanan Wong Samin dalam http://sikepedia.blogspot.co.id

 

3. Ruang Lingkup Masalah

Banyak aspek yang bisa diungkap dari komunitas Wong Sikep yang sekarang sebagian dari mereka masih bertahan sebagai anggota paguyuban penghayat kepercayaan Sangkan Paraning Dumadi di Blora.7 Saat ini keyakinan Samin sudah diakui sebagai penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.8 Selain aspek keyakinan, ada beberapa hal menarik yang bisa diungkap dari komunitas Wong Sikep antara lain ajaran budi pekerti, bahasa, sistem perkawinan dan kekerabatan, mata pencaharian, sumber ajaran Saminisme. Salah satu aspek sejarah yang bisa diteliti dari komunitas Wong Sikep adalah perlawanan tanpa senjata yang dilakukan warga Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Topik inilah yang dikaji dalam penelitian ini. Kajian ini meliputi deskripsi sosial ekonomi warga Wong Sikep di Blora sebelum munculnya perlawanan terhadap Belanda, sebab-sebab munculnya perlawanan, dan cara melawan Wong Sikep dan penumpasan perlawanan Wong Sikep.

Tokoh panutan Wong Sikep dikenal dengan nama Samin Surosentiko atau Samin Surontiko. Nama aslinya adalah Raden Kohar, seorang yang berdarah bangsawan, anak dari Raden Surowijoyo. Ada pula yang menyatakan bahwa Raden Kohar adalah keturunan dari Pangeran Kusumaningayu. Ia dilahirkan pada tahun 1859 di desa Bapangan, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pada mulanya ajaran ini berpusat di dua tempat yaitu Desa Bapangan Kulon dan Desa Kloppoduwur. Desa Bapangan Kulon berada dalam Kecamatan Mendenrejo, 54 kilo meter di sebelah selatan Kota Blora; dan desa Kloppoduwur merupakan bagian dari Kecamatan Banjarrejo, 10 km di selatan Blora. Kemudian Saminisme menyebar ke daerah-daerah lain, seperti ke daerah Rembang, Bojonegoro, Pati, Ngawi, dan lain-lain, di samping di daerah Kabupaten Blora sendiri.Mempertimbangkan pusat pergerakan Wong Sikep ini berada di Blora dan keberadaan warga penghayat kepercayaan Sangkan Paraning Dumadi, penelitian ini membatasi lokasi pengambilan datanya di wilayah Blora, terutama desa Klopoduwur dan sekitarnya.

___________________________

7       Disimpulkan berdasarkan video wawancara dengan Mbah Lasiyo, keturunan ketiga Mbah Engkrak, penyebar ajaran Saminisme & pengurus paguyuban Sangkan Paraning Dumadi di Blora dalam https://www.youtube.com/watch?v=UZfEY0hJirM

8          Lihat Kepercayaan Suku Samin Resmi Diakui  dalam https://nasional.tempo.co

9          M Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, hal 733

 

Perkembangan Wong Sikep memiliki cakupan waktu  yang sangat luas. Wong Samin sebagai sebutan warga Sedulur Sikep sebenarnya sudah ada sebelum Ki Samin Surosentiko. Perkumpulan Wong Samin ini semula dirintis oleh ayah dari Samin Surosentiko bernama Raden Surowijoyo yang dikenal dengan sebutan Samin Sepuh. Setelah berkembang pada masa kepemimpinan Ki Samin Surosentiko bersama pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Sedulur Sikep, warga Sedulur Sikep ini melakukan pembangkangan kepada pemerintahan Belanda. Setelah Ki Samin Surosentiko atau dikenal dengan sebutan Samin Anom ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto, Padang, perlawanan warga Sedulur Sikep tidak padam. Pengikut-pengikut Ki Samin Surosentiko terus mengobarkan perlawanan melawan Belanda dan melakukan politik isolasi (menutup diri dari pengaruh luar) hingga masa kemerdekaan. Warga Sedulur Sikep ini bahkan baru tahu kalau Indonesia sudah merdeka pada 1970-an.

Dengan cakupan waktu yang panjang tersebut, topik dari penelitian ini perlu dibatasi pada perlawanan Sedulur Sikep yang dipimpin Ki Samin Surosentiko pada 1890 hingga 1907. Perlawanan tersebut mulai berkobar pada 1890 ketika Ki Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran Saminisme di Klopoduwur dan Ploso Kediren (ada yang menyebut Bapangan Kulon), Blora. Perlawanan ini mencapai puncaknya ketika Ki Samin Surosentiko diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil Tanah Jawa bergelar panembahan Suryangalam pada Jumat, 8 November 1907 bertepatan dengan tanggal 2 Syawal 1325. Hanya bertahan 40 hari pada Rabu,18 Desember 1907 Ki Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan diasingkan di Bengkulu dan wafat di Sawahlunto, Padang pada 1914.

4. Tujuan Penelitian

Penilitian ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui keadaan sosial budaya warga Wong Sikep di Blora tahun 1890 hingga 1907. Deskripsi keadaan sosial budaya warga Wong Sikep ini membantu menjelaskan tumbuhnya sikap anti kolonialisme Belanda.
  2. Mengidentifikasi penyebab munculnya perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
  3. Mendeskripsikan bentuk perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan reaksi pemerintah Belanda dalam meredam dan memadamkan perlawanan Wong Sikep hingga ditangkap dan dibuangnya Ki Samin Surosentiko ke Bengkulu sampai wafat di Sawahlunto, Padang.

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi beberapa manfaat sbb:

  1. Hasil Penelitian ini diharapkan bisa melengkapi historiografi di Indonesia tentang sejarah sosial warga Wong Sikep di Blora pada 1890 hingga 1907.
  2. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar bagi pemerintah Kabupaten Blora untuk membuat kebijakan menyangkut keberadaan Wong Sikep. Mengingat perjuangan nyata dari Ki Samin Surosentiko dan hingga sekarang belum diakui sebagai pahlawan nasional, sudah selayaknya Pemerintah Kabupaten Blora berusaha untuk mengusulkan Ki Samin Surosentiko sebagai pahlawan nasional untuk menghargai jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
  3. Hasil penelitian ini bisa memberikan pemahaman yang benar atas bahasa dan penalaran sangkak yang dianggap tidak wajar dan sering digunakan untuk merendahkan derajad warga Sedulur Sikep sebagai ‘wong samin’ yaitu warga negara yang penalarannya tidak wajar.
  4. Hasil penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan citra positif dan pandangan yang benar kepada warga Wong Sikep yang mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi anti kolonialisme bangsa asing.

6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahap : heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.  Pada tahap heuristik peneliti mencari sumber dari arsip daerah dan buku-buku terkait Saminisme dan Wong Sikep yang meliputi 1). Kutipan Serat Jamus Kalimasada dan terjemahannya, 2) Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah karya Dra. Titi Mumfangati, dkk diterbitkan oleh Jarahnitra 2004, 3) Ensklopedia Suku Bangsa di Indonesia; Jilid L-Z, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1995.

Beberapa sumber dari media daring yang terkait dengan penelitian ini juga dikutip antara lain 1). Mitos Samin Surosentiko Tak Bisa Mati karya Edhie Prayitno (2016) dalam regional.liputan6.com, 2). Unik dan Halusnya Rakyat Samin Melawan Penjajah’ tulisan Thomas Koten (2017) dalam www.netralnews.com, 3). Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda karya Petrik Matanasi (2016) dalam https://tirto.id, 4). Belajar Toleransi dari Kampung Samin karya Pernando Anggara (2017) dalam kabar24.bisnis.com, 5). Sejarah perjuangan Samin Surosentiko dalam www.samin.id, 6). Samin Surosentiko (1859-1930): Panembahan Suryangalam dari Ploso Kediren’ dalam www.bloranews.com, 7). Biografi Samin Surosentiko dalam https://jawatimuran.wordpress.com, 8). Ajaran Samin dalam https://id.wikipedia.org, 9). Mbancik Agama Adam dalam https://plus.google.com, 9). “Sangkak”, Bahasa Ekspresi Perlawanan Wong Samin, tulisan Agus Setiawan dalam http://sikepedia.blogspot.co.id.

Di samping itu, penelitian ini juga mempertimbangkan pengambilan data dari film dan video wawancara yaitu 1). Film ‘Samin Surosentiko: Melawan Ketidakadilan’ seri 1, seri 2, & seri 3, 2). Video wawancara dengan Mbah Lasiyo (Keturuan ketiga Mbah Engkrek, penyebar Saminisme dari Klopoduwur, Blora) & Pengurus Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi dalam https://www.youtube.com/watch?v=UZfEY0hJirM.

Untuk melengkapi sumber yang ada dilakukan serangkaian wwawancara  data yang lebih lengkap perlu dilakukan wawancara langsung dengan keturunan Mbah Engkrek, penyebar ajaran Saminisme, yang tinggal di desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora. Wawancara mendalam juga perlu dilakukan pada pengurus paguyuban Sangkan Paraning Dumadi di Blora sebagai pewaris sekaligus pelestari ajaran Saminisme yang merupakan monument hidup Saminisme.

Kritik. Kritik sejarah dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap sumber sejarah pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan melakukan perbandingan sumber yang satu dengan sumber yang lain sehingga bisa ditentukan sumber data yang lebih valid. Setelah dilakukan kritik, data awal yang dianggap valid ditetapkan sebagai fakta-fakta.

Interpretasi. Pada tahap ini Peneliti memberikan makna terhadap fakta-fakta atau sumber data yang telah dikritik.  Data penelitian tersebut dikaitkan satu sama lain untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif atas data tersebut. Hasil interpretasi ini akan menjadi bahan utama penulisan pada penelitian sejarah ini.

Historiografi. Sebagai tahap akhir penelitian, Peneliti menuliskan kisah tentang perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasan pemerintah kolonial Belanda di Blora pada 1890 sampai 1907. Penulisan ini meliputi deskripsi sosial budaya warga Wong Sikep, sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep, cara Wong Sikep melakukan perlawanan dan rekasi perlawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Penulisan dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu sejarah.

7. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang komunitas Wong Sikep atau Wong Samin di Blora. Ada penelitian serupa yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sperti di bawah ini.

Titi Mumfangati et al (2004) dalam “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah” menyatakan masyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Identitas itu menunjukkan karakter dan perlengkapan mereka sesuai dengan ajaran saminisme yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu terutama di kalangan generasi tua. Mereka merasakan kebenaran dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran peninggalan Samin Surontiko sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna. Sikap perbuatan warga Samin selalu diikuti bukti-bukti nyata dan konsekuen sesuai dengan ajaran yang diterima. Simbol identitas masyarakat Samin antara lain terlihat pada pakaian yang dipakai dan juga bahasa. Mereka tidak mengenal tingkataan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah kakek atau nenek.

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu. Di daerah penelitian jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.

Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, kitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masayarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Saminmemiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi tidak urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain. Yang perlu dijaga agar tidak hilang adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal pada masyarakat Samin tersebut misal kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.

Muh Rosyid dalam “Upaya Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah dalam Mempertahankan Jati Diri di Tengah Problematika Kehidupannya” menyebutkan bahwa warga Samin di Kudus mempertahankan jati dirinya dengan beberapa cara, yakni pertama, membuat surat permohonan perlindungan pada pemerintah dan penyelenggara negara atas derita atau problem yang mereka hadapi. Kedua, melanggengkan sekolah rumah (homeschooling) di rumah warga Samin secara bergantian untuk mendapat petuah tentang ajaran Samin yang terwariskan secara lisan oleh tokoh adat(botoh). Ketiga, mengirim anak-anak mereka ke sekolah formal agar melek pengetahuan dan tidak inklusif. Keempat, membaur dengan lingkungan sekitar (non-Samin) hingga dipercaya sebagai Ketua RW. Kelima, mendokumentasikan ajaran Samin secara tertulis agar dapat diakses public sekaligus sebagai langkah menepis stigma dan mengantisipasi penafsiran yang salah. Keenam, bergabung dengan Komunitas Lintas Agama di Pantura Jawa agar mendapat wawasan kehidupan sosial yang luas. Ketujuh, selalu memenuhi undangan dari lembaga swadaya masyarakat dan lembaga formal atau nonformal dalam pelatihan sebagai narasumber dan lainnya untuk memberikan gambaran Samin masa kini. Selain berupaya mempertahankan jati dirinya, warga Samin di Kudus juga menaruh harapan pada pemerintah. Pertama, agama Adam yang dipeluknya diakui sebagai agama. Kedua, anak warga Samin yang mengikuti sekolah formal tidak diwajibkan menerima pelajaran agama “Pancasila”. Ketiga, pergantian status kepala keluarga dalam kartu keluarga dari istri menjadi suami. Selain itu, status lahir anak yang tertulis ‘anak di luar nikah’ dalam akta lahir agar diubah menjadi ‘anak sah’ karena mereka terlahir dari perkawinan sah menurut ajaran Samin. Keberadaan warga Samin diterima oleh tetangganya yang non-Samin karena perilakunya tidak bertentangan dengan norma sosial. Pemerintah Kabupaten Kudus pun tak mendiskriminasikan. Perihal akta nikah dan akta lahir belum dipenuhi pemerintah Kabupaten Kudus karena belum ada petunjuk pelaksanaan yang bersumber dari perundang-undangan untuk permohonan tersebut.

Agama Adam yang dipeluk warga Samin merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 bahwa beragama adalah hak tiap warga negara (jo. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan Pasal 71 yang menyatakan bahwa pemerintah wajib melindunginya). Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 bahwa negara tidak membatasi jumlah agama asalkan agama itu tidak melanggar undang-undang. Akan tetapi, pemerintah dan publik masih kukuh dengan pemahaman bahwa hanya enam agama yang disahkan negara. Konsekuensi dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah agama Adam yang dipeluk warga Samin harus (1) mendapat pelayanan negara dalam pendidikan agama Adam di sekolah formal. Hal ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Sudah saatnya permohonan warga Samin dipenuhi oleh negara dengan membuat produk hokum karena keberadaan warga Samin sebagi bentuk riil bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman akan sirna jika tidak terpenuhi. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang mengakui keragaman warganya hanya akan jadi sebutan saja, namun nihil dalam realita. Artinya, perbedaan atau keragaman tidak diuri-uri (dijaga) dan tak diayomi oleh Negara, tetapi dipaksakan agar sama atau tidak beragam dengan dalih adanya pemberlakuan perundangan, seperti undang-undang perkawinan undang-undang sistem pendidikan nasional, dan sebagainya.

Mukodi & Afid Burhanuddin (2016) dalam “Islam Abangan dan Nasionalisme Komunitas Samin di Blora” menyatakan bahwa Islam (Jawa) abangan, dan nasionalisme di komunitas Samin Surosentiko Blora menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Islam (Jawa) abangan di satu pihak, dipeluk, dan dipedomani sebagai agama formal. Nasionalisme di pihak lainnya, menjadi bagian dari spirit perjuangan anti penindasan yang hingga kini dijaga, dan ditumbuhkembangkan. Titik tolak Islam Abangan dan nasionalisme di kalangan komunitas Samin untuk sementara diasumsikan berasal nilai Islam dan ajaran Samin yang berakomodasi dalam proses budaya yang spesifik bagi komunitas Samin.

Konsistensi pengamalan ajaran Ki Samin Surosentiko yang dilakukan oleh komunitas Samin pada hakikatnya merupakan perekat antara Islam Abangan, dan nasionalisme. Titik temu Islam Abangan, dan nasionalisme adalah praktik keseharian komunitas Samin yang bertumpu pada ajaran Ki Samin Surosentiko, dan reproduksi nilai-nilai budaya lokal yang dibuat mereka berbasis pada si empunya ajaran. Pola reproduksi nilai-nilai budaya lokal yang berbasis pada nilai ajaran Ki Samin Surosentiko tersebut telah memunculkan kekuatan untuk bertahan di antara perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Ismail Yahya dalam “Identitas Kearifan Lokal ‘Islam Samin’ di Era Global” menyatakan bahwa Lebih dari dua abad eksistensi Saminisme masih terjaga turun temurun dari

generasi ke generasi. Walaupun dari segi kuantitas berkurang, namun masyarakat Samin sampai saat ini masih eksis ditengah-tengah kehidupan modern dan global. Identitas dan kearifan lokal mereka masih terpelihara. Identitas merupakan karakteristik yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Begitu pula dengan Saminisme. Identitas mencirikan ke “mereka” an ‘wong Samin’ yang meliputi identitas kesejarahan, pakaian, bahasa, tempat tinggal, perkawinan, dan dalam pertanian. Kearifan lokal merupakan khazanah batiniyah yang terpancarkan dalam level lahiriyah yang dimiliki oleh semua kelompok, begitu pula dengan ‘Wong Samin.’ Kearifan mereka tampak dalam etika kepribadian, etika keselarasan sosial, dan etika terhadap alam.

Sebagai suatu entitas sosial yang dinamis, masyarakat Samin juga tidak bisa terhindar dari perubahan. Faktor ekternal dan internal terlibat dalam proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Samin. Faktor eksternal meliputi diseminasi teknologi dan informasi, serta pendidikan. Faktor internal lahir dari pergulatan batin beberapa orang Samin untuk melakukan refleksi atas ajaran Samin. Beberapa pelaku (aktor) perubahan juga terlibat baik secara struktural dan kultural. Secara struktural yaitu aparat pemerintah Desa, sementara secara kultural dilakukan oleh tokoh agama, dan masyarakat.

Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu meskipun obyek penelitiannya sama yaitu Wong Samin atau Wong Sikep di Blora. Penelitian ini akan fokus pada penelitian sejarah masa awal tumbuh dan berkembangnya Saminisme untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda di Blora yang dipelopori oleh Ki Samin Surosentiko.

8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari 5 bab. Bab I mencakup latar belakang, permasalahan, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II mendiskripsikan keadaan sosial ekonomi komunitas Wong Sikep pada 1890 hingga 1907. Deskripsi ini mencakup keadaan fisik lingkungan desa Klopoduwur dan Bapangan Kulon, tempat berkembangnya Saminisme zaman awal. Di samping itu, deskripsi juga meliputi kehidupan perekonomian, mata pencaharian, dan kehidupan adat istiadat warga Wong Sikep.

Bab III mengungkapkan sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasan Pemerintahan kolonial Belanda di Blora. Ada beberapa faktor yang memicu perlawanan suatu kelompok atas otoritas pemerintahan yang melingkupinya. Faktor-faktor perlawanan itu bisa berasal dari keyakinan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Bab IV memuat cara-cara non kooperatif yang dilakukan warga Wong Sikep untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda. Perlawanan Wong Sikep dikenal dengan perlawanan senyap (tanpa senjata dan peperangan). Perlawanan tersebut mengundang reaksi pemerintah kolonial untuk menumpas perlawanan Wong Sikep. Bentuk-bentuk reaksi atas perlawanan Wong Sikep ini juga diungkapkan di bab IV ini.

Bab V menyimpulkan keseluruhan penelitian. Bab ini memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan di bagian awal bab I.

9. Bibliografi

Edhie Prayitno Ige. 2016. ‘Mitos Samin Surosentiko Tak Bisa Mati’ dalam regional.liputan6.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Ismail Yahya. 2009. ‘Identitas dan Kearifan Lokal ‘Islam Samin’ di Era Global’ dalam Jurnal Millah Volume VIII, Nomor 2, Februari 2009, halaman 209 – 222

Koten, Thomas. 2017. ‘Unik dan Halusnya Rakyat Samin Melawan Penjajah’ dalam http://www.netralnews.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Matanasi, Petrik. 2016. ‘Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda’ dalam https://tirto.id diakses tanggal 15 Januari 2018

Melalatoa, M Junus. 1995.  Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia; Jilid L-Z; Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Mukodi & Afid Burhanuddin. 2018. ‘Islam Abangan dan Nasionalisme Komunitas Samin di Blora’ dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, halaman 379-400

Munfangati, Titi, et al. 2014. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Janahnitra

Pernando, Anggara. 2017. ‘Belajar Toleransi dari Kampung Samin’ dalam kabar24.bisnis.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Rosyid, Moh. 2016. ‘Upaya Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah dalam Mempertahankan Jati Diri di Tengah Problematika Kehidupannya’ dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 halaman 167 sampai 184

—— 2017. ‘Sejarah perjuangan Samin Surosentiko’ dalam http://www.samin.id diakses tanggal 15 Januari 2018

—— 2016. ‘Samin Surosentiko (1859-1930): Panembahan Suryangalam dari Ploso Kediren’ dalam http://www.bloranews.com diakses tanggal 15 Januari 2018

—— 2013. ‘Biografi Samin Surosentiko’ dalam https://jawatimuran.wordpress.com diakses tanggal 15 Januari 2018

—– ‘Ajaran Samin’ dalam https://id.wikipedia.org diakses tanggal 15 Januari 2018