Sambernyawa, Dari Pendiri Praja Mangkunegara Hingga Penerima Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1957-1988). oleh Sri Utami

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Tahun 1988 , RM Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunegara I dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Sepak terjang Rm Said dalam melawan penjajah Belanda menjadi bagian perjuangan jauh sebelum masa kemerdekaan. Ketokohan Pangeran Samber Nyawa dikenal di kalangan eks Karasidenan Surakarta. Hal itu terkait dengan sejarah keraton Surakarta yang kemudian memunculkan wilayah otonom berupa kadipaten Mangkunegara sebagai konsukuensi pembagian wilayah setelah perjanjian Salatiga di tahun 1757.

Semangat dan rekam jejak kepahlawanan Pangeran Sambernyawa semasa melawan pemerintah kolonial Belanda terjadi selama tahun 1749-1757. Jejak perjuangannya tidak hanya berada di kawasan eks Karasidenan Surakarta saja, melainkan sampai ke wilayah Ponorogo dan  Rembang. Dalam berperang Sambernyawa selalu menggunakan siasat dan cara yang dikenal dengan istilah gerilya.

Sejarah Pangeran Sambernyawa turut memperkaya khasanah sejarah budaya pemikiran melalui warisan bidang etika dan moral dalam berpolitik dan bernegara. Tri Darma, Bahasa Sansekerta yang juga identik dengan kalangan pendidikan selama ini. Istilah ini pula yang oleh Pangeran Samber Nyawa dijabarkan dalam 3 (tiga) Prinsip. Isi dari masing-=masing prinsip dalam Tri Dharma Pangeran Samber Nyawa bila bisa disosialisasikan dalam bentuk nilai sejarah dan diterapkan, menciptakan suatu tatatan masyarakat khususnya politik yang tentram lagi damai.

Perjuangan Sambernyawa tidak saja meninggalkan sejarah yang terkait dengan pura Mangkunegara. Pada tahun 1988 melalui Surat Keputusan yang ditandatangi oleh Presiden Soeharto waktu itu memutuskan bahwa Pangeran Samberyawa yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I menerima gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipurna (kelas I).

Soedarmono dkk dalam bukunya Tata Praja Mangkunegara menuliskan bahwa Sambernyawa yang bergelar Mangkunegara I tidak hanya layak mendapatkan gelar pahlawan saja, melainkan pula sebagai pahlawan  peletak dasar tata negara ( 2011 : 38)

Namun sayang, dalam pengkembanganya, gelar kepahlawan Nasional pangeran Sambernyawa hanya diketahui oleh masyarakat dalam lingkup regional (sekitar Surakarta -Jogjakarta ). Tidak banyak masyarakat awam mengenal siapa sambernyawa dan bagaimana kisah perjuangannya. Bahkan jika kita mau meninjau lebih dalam prinsip-prinsip yang diterapkan Pangeran Sambernyawa selama dia memimpin Mangkunegara periode 1757-1795, ada banyak hal yang bisa dijadikan rujukan khususnya dibidang tata pemerintahan baik tingkat lokal ataupun nasional.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian sejarah ini  adalah  tentang Sambernyawa, sebagai peletak dasar Praja Mangkunegara hingga Penerimaan Bintang Mahaputra Adipurna di tahun 1988 dan ditetapkan sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian, diantaranya :

  1. Siapa dan bagaimana jejak perjuangan Pangeran Sambernyawa
  2. Bagaimana peran Sambernyawa dalam terbentuknya praja Mangkunegara
  3. Bagaimana Prinsip-prinsip kepemimpinan Sambernyawa dari tahun 1957-1795

 

C.Ruang Lingkup

Penelitian ini memiliki Lingkup Spasial yang dibatasi oleh beberapa hal antara lain  :

  1. Lingkup Wilayah : Eks karasidenan Surakarta (Wonogiri- Karangannyar-Surakarta) pada Umumnya dan Pura Mangkunegara Pada khususnya
  2. Rentang waktu sejarah berkisar pada tahun 1757-1795 dan tahun 1988
    1. Tahun 1757 digunakan sebagai batas awal kajian  penelitian karena pada tahun tersebut Sambernyawa dinobatkan menjadi Adipati pertama KGPAA Mangkunegara I dan menjabat sampai tahun 1795
    2. Tahun 1988 digunakan sebagai batas akhir kajian dikarenakan pada tahun tersebut Sambernyawa mendapat gelar sebagai pahlawan Kemerdekaan  Nasional dengan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipurna dari pemerintah Republik Indonesia

 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan penelitian ini :
  • Mengidentifikasi Tokoh Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan rekam jejak perjuangannya
  • Menjelaskan sejarah Heroik Pangeran Sambernyawa sebagai pendiri Praja Mangkunegara
  • Memahami nilai-nilai kepahlawanan dari Sambernyawa yang relevan di bidang tata kelola pemerintahan
  • Mensosialisasi tokoh Pahlawan Nasional dan nilai-nilai kepahlawanannya beserta deskripsi kehormatan yang jarang diketahui oleh masyarakat kebanyakan.

 

2. Manfaat penelitian ini antara lain:

  1. Melengkapi histografi indonesia tentang pahlawan Kemerdekaan Nasional dalam hal ini tentang Sambernyawa
  2. Menjadi rujukan dan memberi masukan terhadap Tata Kelola Pemerintahan Penerus Praja mangkunegara, hingga Pemerintah Republik Indonesia saat ini agar mengacu pada nilai tata kelola pemerintahan yang baik bersumber dari sejarah bangsanya sendiri. Bahkan tidak menutup kemungkinan diadaptasikan dalam era otonomi daerah sekarang ini

 E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahap :

  1. Heuristik, pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat, seperti ke Rekso Pustaka Pura Mangkunegara di Surakarta dan Wawancara pada penerus praja Mangkunegara

 

Pada tahap ini ditemukan sumber berupa :

2. Sumber Primer yang antara lain berupa :

– Manuskrip berbahasa Jawa

– Surat menyurat Berbahasa Belanda

– Arsip SK Pemberian Gelar Pahlawan Nasional

-Foto dan dokumen di jaman pemerintahan Mangkunegara I

– Benda-benda peninggalan sejarah yang mendukung proses interpretasi sejarah Sambernyawa

Untuk melengkapi  sumber yang ada dilakukan juga wawancara mendalam dengan kerabat Praja Mangkunegara, dalam hal ini Mangkunegara IX beserta keluarga, tidak menutup kemungkinan adanya wawancara dengan tokoh-tokoh sepuh yang memahami sejarah Sambernyawa sebagai bagian dari sumber sejarah lisan.

3. Sumber Sekunder

  • Buku-buku penunjang berupa biografi : Babad Mangkunegara I,
  • Arsip Mangkunegara MN 1139 berupa Kliiping Koran Suara Merdeka , 7-9 April 1988 : “Long March “Pangeran Sambernyawa (1), (2) dan (3)
  • Arsip Mangkunegara MN 541 : Kliping Koran Minggu Ini, 17 Maret 1985 halaman IV : Pangeran Sambernyawa , Pencipta Dinasti Mangkunegara
  1. Kritik Sejarah

Dilakukan untuk menguji sumber sekunder berupa buku dan kajian yang ada sebelumnya. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain

Dalam hal ini saya membandingkan beberapa sumber buku antara lain sebagai berikut :

  1. Sejak Indische Sampai Indonesia, Kartono Kartodirdjo tahun 20015 dengan Sambernyawa Menggugat Indonesia ,
  2. Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat tahun 2011
  3. Soedarmono dkk, Tata Praja Mangkunegara , Balai Pustaka tahun 2011
  4. Interpretasi

Melakukan Interpretasi terhadap fakta sejarah hasil verifikasi dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Penulisan sejarah ini baru bisa dilakukan setelah tahapan sebelumnya tersususun lengkap termasuk ketersediaan data primer di Rekso Pustaka Mangkunegaran Surakarta yang berupa Arsip-arsip terkait Sambernyawa

F. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan penelitian satu satunyaa tentang Pangeran SamberNyawa dalam kaitannya dengan Tata Praja Mangkunegara.

Ada beberapa kajian terdahulu sebagai berikut

  1. Tata Pemerintahan Mangkunegara, Soedarmono dkk , Balai Pustaka 2011
  2. Sejarah Perjuangan RM Sahid, Tokoh Nasional yang Disegani Kompeni Belanda, Penerbit K.S Solo 1972

 

 

 G. Sitematika Penulisan

Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, dengan rincian sebagai berikut :

Bab I        :merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan    permasalahan, lingkup masalah, kajian pustaka, sistematika penulisan

Bab II       : membahas tentang sosok Sambernyawa yang dijabarkan dalam 3 Sub bab yakni diawali dengan Perubahan nama dari RM. Said ke Menjadi Pengeran Sambernyawa; Konflik di Wilayah Mataran hingga Perjanjian Salatiga yang hasilnya menjadikan Sambenyawa memiliki wilayah Otonom di Surakarta, yakni Mangkunegara.

Bab III membahas tentang Masa Pemerintahan Sambernyawa sebagai KGPAA Mangkunegara I di Pura Mangkunegara dari awal menjabat hingga wafat (1757-1795)

Bab IV membahas Tenteng Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Sambernyawa tahun 1988 yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat di luar wilayah eks-karasidenan Surakarta.

BAB V Kesimpulan

terdiri dari poin-poin kesimpulan dan saran yang peneliti berikan

 

Daftar Pustaka :

  1. Ageng Pangestu Rama,2007 Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Cahaya Ningrat
  2. HAMANINATA NITINAGORO, 2103. sejarah Keraton Mataram, Semarang : Grafika
  3. Ay Sri Winarni. 2004. Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, Surakarta : Cendrawasih
  4. Sartino Kartodirdjo. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta : Kompas.
  5. Sujarweni V. Wiratna. 2012. Yogyakarta, Episode Jejak-Jejak mataran Islam, Yogyakarta : Global Media Informasi
  6. Soerya Soedibyo Mangkoehadiningrat. 2011. Surakarta. Sambernyawa Menggugat Indonesie : Titik Publisher

————- BABAD Mangkunegara I . Surakarta-Yogyakarta : Yayasan Mangadeg- Yayasan Centhini, 1993

Arsip ReksoPustaka

  • Arsip Mangkunegara MN 1139 berupa Kliiping Koran Suara Merdeka , 7-9 April 1988 : “Long March “Pangeran SamberNyawa (1), (2) dan (3)
  • Arsip Mangkunegara MN 541 : Kliiping Koran Minggu Ini, 17 Maret 1985 halaman IV : Pangeran SamberNyawa , Pencipta Dinasti Mangkunegara

Penelitian yang sudah dibukukan :

  1. Tata Pemerintahan Mangkunegara, Soedarmono dkk , Balai Pustaka 2011
  2. Sejarah Perjuangan RM Sahid, Tokoh Nasional yang Disegani Kompeni Belanda, Penerbit K.S Solo 1972

Referensi Online :

https ://puromangkunegaran.com

dll

SEJARAH DAWET AYU BANJARNEGARA TAHUN 1950-1970. Oleh Subiarto, SD Negeri 1 Banjarmangu, Kab. Banjarnegara

1.Latar Belakang

Di tiap-tiap daerah pasti memiliki jajanan khas, baik itu berupa makanan ringan maupun minumannya. Dari jajanan tersebut dapat menjadikan suatu derah terkenal dan menjadi ciri khas dari suatu daerah. Jajanan dari tiap daerah juga merupakan salah satu wisata kuliner yang wajib di coba untuk wisatawan yang sedang berwisata di suatu tempat.
Berbagai macam jajanan daerah yang dapat menjadi ciri khas dari daerah tersebut dapat di contohkan yaitu daerah Indonesia. Indonesia memiliki beragam budaya dan suku, itu juga yang menyebabkan Indonesia kaya akan kuliner nya. Bukan hanya dari segi makanan berat yang mengenyangkan, jajanan Indonesia pun memiliki beragam jenis dari berbagai daerah.
Di daerah Indonesia memiliki makanan berat dan makan ringan yang sangat beragam, dan di ambil contoh seperti makanan ringan yang terdiri dari kudapan dan minuman. Minuman itu sendiri sangat beragam yang sekarang dapat kita jumpai dimana saja dari sup buah, es cendol dan es dawet ayu. Dapat kita lihat es yang sekarang tidak hanya ada tempat asalnya tetapi hampir diseluruh indonesia dapat dijumpai, Seperti di kota Banjarnegara yang sangat terkenal dengan minumannya yaitu Es Dawet Ayu.

Dawet ayu berbahan dasar dari tepung beras dengan warna hijau sehat dengan aroma khas daun pandan, disajikan dengan santan , dengan menggunakan pemanis gula aren ditambah es yang memberikan kesegaran.
Penyajian dawet ayu biasanya tidak hanya dawet, santan dan gula nya tetapi ditambah dengan es batu untuk menambah sensasi kesegaran dari minuman khas Banjarnegara ini. Minuman khas ini juga biasanya menjadi minuman andalan di warung-warung makan sebagai pendamping santap makan.
Dawet Ayu, Salah satu jenis minuma khas dan asli dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Seiring dengan perkembangan jaman, kini es dawet ayu tidak hanya dapat dijumpai di Banjarnegara saja, tetapi dapat dijumpai di kota-kota yang memiliki cuaca panas seperti Jakarta, Semarang, Surabaya bahkan di  luar Jawa  juga telah mengenal dawet ayu. Sekarang dapat dengan mudah kita jumpai dawet ayu di pinggir jalan di kota-kota besar.

Untuk mengenal tentang Dawet Ayu Banjarnegara maka diadakan penelitian dengan judul Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970.

2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang sejarah dawet ayu Banjarnegara tahun 1950-1970.

Pertanyaan penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana sejarah Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970?
  2. Bagaimana makna simbol Semar dan Gareng pada Dawet Ayu Banjarnegara?
  3. Apakah fungsi simbol Semar dan Gareng pada Dawet Ayu Banjarnegara?

3. Ruang Lingkup Masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970.

Lingkup permasalahan  spasial yang kan dibahas adalah kabupaten Banjarnegara. Penelitian lokasi tersebut berdasarkan berdasarkan kedekatan

Lingkup temporat tahun 1950-1970. Tahun 1950 karena untuk mengetahui dari penjual dawet Pak Munarjo yang pertama membuat dawet Ayu. Tahun 1970 karena setelah dilanjutkan oleh penerusnya dari keluarga pak Munarjo

4. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah:

  1. Memahami dawet ayu Banjarnegara tahun1950-1970
  2. Mengidentifikasi makna Simbol Semar dan Gareng pada Dawet Ayu Banjarnegara
  3. Menjelaskan fungsi simbol Semar dan Gareng pada dawet Ayu Banjarnegara

Manfaat melengkapi histografi Indonesia tentang Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara Khususnya tentang Dawet Ayu Banjarnegara dan simbol Semar dan Gareng.

Sebagai dasar pertimbangan bagi daerah Banjarnegara untuk mengembangkan  Dawet Ayu

5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah merode sejarah yaitu:

  1. Heuristik

Heuristik untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau.

Untuk melengkapi sumber yang dilakukan wawancara dengan bapak Sunardi

  1. Kritik

Kritik sejarah digunakan untuk melakukan pengujian terhadap sumber  pada tahap pertama

  1. Interpretasi: Interpretasi dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain
  2. Histiografi atau menuliskan penelitian tentang seajarah Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970 berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah

6. Kajian Penelitian

Penelitian ini bukan satu-satunya  tentang Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970. Ada penelitian-penelitian lain yaitu:

  1. Buku Sejarah dan Babadnya, objekwisata dan Seni Budayanya mengulas tentang Sejarah kabupaten Banjarnegara dan Budaya yang ada di Banjarnegara yang ditulis Adi Sarwono Mertadiwangsa tahun 2013.
  2. Buku Mengenal Budaya Banjarnegara yang ditulis Tim Karya Guru tahun 2010.

Penelitian yang saya tulis berbeda dengan sebelumnya  perbedaannya adalah periode perlebmbangan dawet ayu, pembahasan makna dan fungsi simbol Semara dan Gareng pada dawet Ayu Banjarnegara.

Dalam Penelitian ini digunakan konsep-konsep tentang perkembangan Dawet Ayu Banjarnegara dan simbol Semar dan Gareng pada Dawet Ayu Banjarnegara..

7. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian ini terdiri dari 5 Bab. Bab I berisi latar belakang, permasalahan, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, kajian penelitian dan  sistemtika penelitian.

Bab II membahas tentang Dawet Ayu Banjarnegara tahun 1950-1970.

Bab III membahas tentang  makna simbol Semar dan Gareng pada dawet Ayu Banjarnegara

Bab IV membahas tentang Fungsi simbol Semar dan Gareng pada Dawet Ayu Banjarnegara.

Bab V merupakan kesimpulan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan pada bab I

Daftar Pustaka

  1. Mertadiwangsa, Adisarwono. 2013. Banjarnegara Sejarah dan Babadnya Objek Wisata dan Seni Budayanya. Solo: Duta Publishing Indonesia
  2. Tim Karya Guru, 2010, Mengenal Budaya Banjarnegara. Banjarnegara: Banjarnegara Corner

TANAH LONCAT DI SIJERUK: BENCANA TANAH LONGSOR DI BANJARNEGARA. Oleh: Slamet Sugiyanto, S.Pd.,M.Pd

1.Latar Belakang

Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan dan dataran tinggi. Luas wilayah yang merupakan perbukitan mencapai 80 persen dari luas total wilayah. Kondisi tersebut menyimpan keindahan alam yang luar biasa. Di sisi lain, menyimpan potensi bencana tanah longsor yang harus selalu diwaspadai.

Pada tahun 2006 telah terjadi tanah longsor di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Desa Sijeruk terletak tidak jauh dari jalan provinsi yang menghubungkan Banjarnegara dengan Pekalongan.

Bencana longsor yang terjadi akan memberikan banyak pelajaran berharga kepada generasi penerus, baik dari segi antisipasi maupun hikmah yang dapat diambil dari bencana tanah longsor. Peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan masyarakat yang sadar, waspada, dan siaga terhadap bencana harus terus diupayakan. Berbagai upaya yang dilakukan tentunya bukan hanya sekadar bagaimana menangani bencana, akan tetapi yang lebih penting adalah upaya antisipasi agar bencana yang terjadi tidak menimbulkan korban jiwa. Penulisan sejarah tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara diharapkan menjadi salah satu referensi bagi masyarakat. Informasi yang rinci dan mendalam dari bencana tanah longsor di Sijeruk diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh tentang bencana tersebut.

2. Lingkup Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Lingkup spasial dalam penelitian ini berkaitan dengan bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara. Lingkup temporal pada tahun 2006 karena terjadinya tanah longsor Sijeruk terjadi pada tahun tersebut. Tanah longsor Sijeruk ditetapkan oleh pemerintah menjadi bencana nasional.

Masalah dalam penelitian ini adalah adanya perubahan pola pemukiman akibat bencana tanah longsor. Untuk menjawab masalah tersebut, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

  1. Bagaimana kondisi Desa Sijeruk sebelum terjadinya bencana tanah longsor?
  2. Mengapa terjadi bencana tanah longsor di desa Sijeruk?
  3. Dampak apa yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor di desa Sijeruk?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tentang hal-hal sebagai berikut.

  1. Menjelaskan kondisi Desa Sijeruk sebelum terjadinya bencana tanah longsor
  2. Menjelaskan terjadinya bencana tanah longsor di desa Sijeruk.
  3. Menjelaskan dampak yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor di desa Sijeruk.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah bencana alam khususnya tanah longsor Sijeruk Banjanegara.

5. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu:

  1. Heuristik

Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat, diantaranya di Kantor Badan Arsip dan Perpustakaaan Daerah Banjarnegara, Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan melakukan wawancara terhadap masyarakat sekitar lokasi bencana tanah longsor.

Pada tahap ini, buku yang ditemukan adalah dokumen laporan penanganan bencana tanah longsor Sijeruk. Selanjutnya adalah koran Suara Merdeka tahun 2006.

  1. Kritik

Kritik sejarah dugunakan untuk melakukan pengujian sumber sejarah yang diperoleh pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kritik dilakukan dengan dua cara yaitu kritik interen dan kritik eksteren.

  1. Interpretasi

Tahap ketiga dalam metode sejarah adalah interpretasi. Penulis memberi makna terhadap fakta-fakta yang sudah diverivikasi dengan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Tahap terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Pada tahap inilah penulis menuliskan tentang tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara melalui kaidah sejarah yang berlaku.

6. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan merupakan satu-satunya penelitian yang berkaitan dengan bencana alam khususnya tanah longsor.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I (satu) merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, lingkup masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II (dua) membahas tentang kondisi desa Sijeruk sebelum terjadinya bencana tanah longsor.

Bab III (tiga) membahas tentang terjadinya bencana tanah longsor di desa Sijeruk

Bab IV (empat) membahas tentang dampak yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor di Sijeruk Banjarnegara.

Bab V (lima) membahas tentang kesimpulan dari penelitian ini.

School Study: Sejarah Pemberlakuan Kelompok Belajar Paket A di Jombang 1994-2016. Oleh: Kiki Ratnaning Arimbi, S.Pd, Guru SDN Banyuarang 1 Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang

BAB 1  PENDAHULUAN

1.Latar Belakang Masalah

Berdasar pada amanat Undang-undang Dasar 1945, maka pengertian pendidikan di sekolah dasar merupakan upaya untuk mencerdaskan dan mencetak kehidupan bangsa yang bertaqwa, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara, terampil, kreatif, berbudi pekerti yang santun serta mampu menyelesaikan permasalahan di lingkungannya. Pendidikan di sekolah dasar merupakan pendidikan anak yang berusia antara 7 sampai dengan 13 tahun sebagai pendidikan di tingkat dasar yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat bagi siswa. Disinilah siswa sekolah dasar ditempa berbagai bidang studi yang kesemuanya harus mampu dikuasai siswa. Tidaklah salah bila di sekolah dasar disebut sebagai pusat pendidikan. bukan hanya di kelas saja proses pembelajaran itu terjadi akan tetapi di luar kelas pun juga termasuk ke dalam kegiatan pembelajaran.

Dalam (Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) dijelaskan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang tertuang ke dalam tujuan pendidikan nasional dan pendidikan di sekolah dasar yaitu, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses kegiatan pembelajaran dengan tujuan agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, dalam berbangsa dan bernegara. Sedangkan Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, dari devinisi tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa pendidikan mempunyai arti sebuah cara mendidik siswa atau memotivasi siswa untuk berperilaku baik dan membanggakan. bila dijelaskan secara spesifik, maka devinisi pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran atau pembelajaran. atau dapat disimpulkan usaha sadar untuk menyiapkan siswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Pengertian pendidikan di sekolah dasar mempunyai makna yang sama dengan devinisi yang terurai di atas, namun saja letak audience atau siswanya saja yang membedakannya. Artinya, bahwa pendidikan di sekolah dasar titik tekannya terpusat pada siswa kelas dasar antara kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang ketentuan materi dan pokok bahasannya diatur tersendiri dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran). Sehingga pendidikan di sekolah dasar dengan ruang lingkupnya mencakup materi ke SD-an yang diselenggarakan sepanjang hayat sebagai pendidikan lanjutan dengan tujuan yang sama seperti uraian pada Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional adalah mengarahkan berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta memiliki tanggung jawab. Sedangkan tujuan pendidikan sekolah dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. dengan demikian siswa dapat memiliki dan menanamkan sikap budi pekerti terhadap sesama.

Dalam amandemen, dijelaskan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional yang meliputi tentang tujuan pendidikan di sekolah dasar, dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan sebagaimana berikut.

(1). Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”, (2). Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Tujuan pendidikan di sekolah dasar, seperti pada tujuan pendidikan nasional, yang juga telah tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 adalah seperti pada penjabaran dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari kutipan Undang-undang tersebut di atas sebagaimana landasannya, maka tujuan pendidikan di sekolah dasar sendiri dapat diuraikan meliputi beberapa hal yaitu, (1). Beriman dan bertaqwa terhadap TuhanNya, (2). Mengarahkan dan membimbing siswa ke arah situasi yang berpotensi positif, berjiwa besar, kritis,cerdas dan berakhlak mulia, (3). Memiliki rasa cinta tanah air, bangga dan mampu mengisi hal yang bertujuan membangun diri sendiri bangsa dan negara, (4). Membawa siswa sekolah dasar mampu berprestasi ke jenjang selanjutnya.

Inti pokok pendidikan sekolah dasar, berupaya menanamkan keimanan terhadap Tuhan sesuai dengan agama masing-masing yang dianutnya. Dengan harapan tentunya siswa dapat menanamkan sikap yang berakhlak, sopan dan santun antar sesama umat manusia tanpa membedakan ras, suku, dan agama. Sehingga pada akhirnya siswa dapat menjadi individu yang bertanggung jawab, cakap, berdedikasi tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Pengertian pendidikan di sekolah dasar benar-benar mendidik dan menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan pada siswa di sekolah dasar untuk memiliki sikap kebersamaan dalam upaya mencetak generasi muda yang bertanggung jawab.

Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh Pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi siswa yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB (International Baccalaureate).

Di Indonesia sekarang ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan terutama untuk masyarakat ekonomi menengah kebawah. Mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama yang membuat mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak sekalipun hanya sekolah dasar. Padahal pendidikan merupakan sektor penting yang berperan aktif dalam meningkatkan pembangunan bangsa.

Pada tahun 2004/2005 menurut Badan Pusat Statistik terdapat sekitar 1.471.838 anak usia sekolah yang tidak sekolah lagi. Ada kecenderungan anak-anak putus sekolah ini akan menjadi penganggur dan pekerja kasar. Anak-anak jalanan dan tidak mampu ini dalam kehidupan sehari-hari harus bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Anak-anak ini harus kehilangan haknya untuk bersekolah dan bermain bersama teman sebayanya dengan penuh keceriaan dan kegembiraan selayaknya dunia anak, dan terpaksa harus pula meninggalkan cita-citanya dengan bekerja, karena orang tua mereka tidak mampu memikul biaya-biaya untuk membeli buku, pakaian seragam dan keperluan sekolah lainnya. Anak-anak ini juga beresiko untuk bertumbuh sebagai orang-orang yang berpendidikan rendah bahkan buta huruf sehingga kemungkinan besar mereka menjadi orang-orang miskin masa depan dan akan menjadi generasi yang hilang (lost generation) yang tidak pernah terlepas dari masalah seperti kekurangan gizi, pelacuran usia dini yang sangat rentan dengan HIV / AIDS serta tindak kriminalitas.

Untuk mengatasi ledakan anak putus sekolah atau paling tidak untuk mengatasi masalah sosial yang mungkin akan timbul perlu adanya layanan pendidikan yang dapat menyentuh masyarakat hingga lapisan bawah, dimana pendidikan tidak hanya memusatkan pada jalur pendidikan formal saja, melainkan melalui jalur pendidikan lain yaitu non formal dan pendidikan informal.

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

      Rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana perkembangan sekolah tingkat dasar di Jombang Jawa Timur?
  2. Apa latar belakang pendirian kejar paket A di Jombang?
  3. Apa dampak pemberlakuan kejar paket A di Jombang?

2. Ruang Lingkup Masalah

       Lingkup masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Apakah adanya kejar paket A lebih efektif dibandingkan pada sekolah dasar umum?

Lingkup spasialnya adalah Jombang Jawa Timur

Pemilihan tempat tersebut karena kejar paket ada di Jombang Jawa Timur

Lingkup temporal 1994-2016

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

       Tujuan Penelitian:

  1. Mengidentifikasi perkembangan sekolah dasar di Jombang Jawa Timur
  2. Mengetahui yang terjadi pada sekolah dasar ketika harus disetarakan dengan kejar paket A
  3. Menjelaskan alasan sekolah dasar harus disetarakan dengan kejar paket A

Manfaat Penelitian:

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut

  1. Sebagai bahan untuk melengkapi historia sekolah dasar yang disetarakan dengan kejar paket A
  2. Sebagai bahan rujukan pemerintah untuk mengambil kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan di sekolah dasar

3. Metode Penelitian

       Metode yang dilakukan untuk penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahap:

  1. Tahap heuristik

Pada tahap ini dilakukan berbagai sumber seperti arsip, dokumen pemberlakuan kejar paket,  melakukan wawancara. Pada tahap ini referensi yang ditemukan berasal dari wikipedia, google, blog yang ditemukan untuk melengkapi sumber maka akan dilakukan wawancara pada kepala sekolah via online di seluruh jombang.

  1. Kritik sejarah

Menentukan sumber sejarah pada tahap 1. Kritik dilakukan dengan cara membandingkan sumber 1 dengan sumber lainnya.

  1. Intreprestasi

Memberikan makna terhadap fakta hasil verifikasi dan menghubungkan fakta satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Menuliskan tentang sejarah sekolah dasar dan kejar paket berdasarkan kaidah kaidah ilmu sejarah

4. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan penelitian satu satunya terhadap sekolah dasar, namun  ada penelitian serupa yang telah diteliti peneliti lain, yaitu

Penelitian yang dilakukan Iis Prasetyo (2010) yang berjudul “Strategi Pengelolaan Warga Belajar Program Kejar Paket B Setara SLTP di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat” menyimpulkan terjadi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan warga belajar: (1) Lokasi tempat tinggal warga belajar saling berjauhan sehingga sulit mendapatkan satu kelompok sebanyak 40 orang warga belajar sesuai dengan yang dipersyaratkan pemerintah, (2) Latar belakang sosial ekonomi warga belajar lemah sehingga frekuensi kehadiran sangat rendah, (3) Warga belajar menjadi pencari nafkah keluarga, mereka belajar kalau waktu mengizinkan, (4) Motivasi belajar rendah, mereka menganggap dan berpendapat bahwa tanpa belajar mereka sudah mendapatkan uang, (5) Pelaksanaan evaluasi yang kurang baik, (6) Kesadaran belajar sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di masyarakat dan aktivitas warga di lingkungannya.

Penelitian Hendrowanto Nibel (2007) yang berjudul “Keikutsertaan Warga Belajar pada Program Kejar Paket C” (Studi Kasus PKBM Mendawai dan PKBM Tilung Raya) menyimpulkan bahwa 1. PKBM Mendawai: lokasi sangat mendukung, antusiasme dan semangat belajar warga belajar tinggi, tutor memiliki ijasah S1 dan DII sesuai dengan jurusan pendidikan, sarana administrasi minimal telah dipersiapkan dalam setiap kelompok, terjalinnya hubungan yang harmonis antara tutor dengan warga belajar, adanya evaluasi proses dan hasil belajar untuk mengetahui besarnya daya serap warga belajar, 2. PKBM Tilung Raya: lokasinya jauh dari pemukiman penduduk dan tidak ada transportasi yang mendukung, rendahnya minat warga belajar, tenaga pengajar tidak sesuai dengan pendidikan/ profesi, hubungan yang renggang antara tutor dan pihak pengelola serta warga belajar, warga belajar rata-rata menengah ke bawah hal ini dapat mempengaruhi tingkat kehadiran mengikuti Program Kejar Paket C karena disamping itu mereka bekerja memenuhi kebutuhan keluarga.

Penelitian yang saya tulis berbeda dengan penelitian sebelumnya,. Beda penelitian saya dengan sebelumnya adalah sebagai berikut

  1. Membandingkan antara sekolah umum dengan kejar paket
  2. Efektifitas sekolah kejar paket

5. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
  4. Ruang Lingkup Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

  1. Sekolah Dasar
  2. Kejar Paket

BAB III PEMBAHASAN

  1. Perkembangan sekolah dasar di Indonesia
  2. Kesetaraan antara sekolah dasar umum dengan kejar paket
  3. Penyebab kesetaraan antara sekolah dasar umum dengan kejar paket

 

 

BAB II  LANDASAN TEORI 

1. Sekolah Dasar

Sekolah dasar (disingkat SD; bahasa InggrisElementary School atau Primary School) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Saat ini murid kelas 6 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP.

Pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.

Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.

 2. Kejar Paket

Pendidikan kesetaraan ini merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam pendidikan luar sekolah sebagai suatu sub system pendidikan non formal. Yang dimaksud pendidikan non formal adalah “ pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat”. Dengan adanya batasa pengertian tersebut, rupanya pendidikan non formal tersebut berada antara pendidikan formal dan pendidikan informal.1

Pendidikan Kesetaraan adalah salah satu satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang meliputi kelompok belajar (kejar) Program Paket A setara SD/MI, Program Paket B setara SMP/MTs, dan Program Paket C setara SMA/MA yang dapat diselenggarakan melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat kegiatan belajar Masyarakat (PKBM), atau satuan sejenis lainnya

 

BAB III  PEMBAHASAN

1.Perkembangan sekolah dasar di Jombang Jawa Timur

Perkembangan sekolah dasar di Jombang meningkat dapat dilihat dari banyaknya peserta didik yang ada di Jombang

2. Keadaan sekolah dasar ketika harus disetarakan dengan kejar paket A

Ada beberapa anak putus sekolah tidak begitu kawatir melanjutkan sekolah karena ada kejar paket

3. Penyebab sekolah dasar harus disetarakan dengan kejar paket A

                 Dalam menghadapi tantangan abad ke-21 sangat penting melakukan upaya secara besar-besaran di bidang pendidikan. Oleh karena pentingnya masalah pendidikan, maka perlu diatur dengan memakai suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang dipayungi dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional sebagai suatu organisasi haruslah bersifat dinamis dan fleksibel sehingga dapat menyerap perubahan-perubahan yang cepat antara lain karena perkembangan ilmu dan teknlogi serta perubahan masyarakat menuju pada masyarakat yang semakin demokratis dan menghormati hak asasi manusia.

Upaya pemerintah untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan peningkatan mutu manusia Indonesia melalui perbaikan mutu pendidikan. Jalur pendidikan yang dapat ditempuh dapat berupa pendidikan formal (sekolah) maupun pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah). Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang dalam sidiknas disebut dengan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang diselenggarakan di luar sekolah yang dapat memberikan kemungkinan pada perkembangan sosial, sosial, kultural, bahasa dan kesenian, keagamaan dan ketrampilan yang dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakatnya.  Usaha untuk peningkatan mutu SDM melalui jalur pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) dapat ditempuh lewat pendidikan kesetaraan yang meliputi Kejar Paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C. Kejar atau Kelompok Belajar adalah pendidikan masyarakat formal yang difasilitasi oleh pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah. Program ini ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak sekolah, putus sekolah dan putus lanjutan, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan belajarnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak terutama dalam mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994, yakni melalui penyelenggaraan program pendidikan kejar Paket A dan Paket B, serta perluasan akses pendidikan menengah melalui penyelenggaraan program Paket C.

Pendidikan Kesetaraan pada hakekatnya bertujuan memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengikuti pendidikan dasar dan menengah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan peserta didik yang tidak memiliki kesempatan belajar pada pendidikan formal. Peningkatan perhatian dan peran serta masyarakat terhadap program Paket A dan Paket B perlu diimbangi dengan upaya penyiapan kompetensi peserta didik agar memiliki kesiapan untuk terjun ke masyarakat dan dunia kerja, karena sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) untuk mengembangkan program Kecakapan Hidup (Life Skills) pada pendidikan kesetaraan. Untuk membantu pelaksanaan pembelajaran akademik dan pembekalan kecakapan hidup pada program Paket A dan Paket B, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah mengalokasikan dana bantuan langsung (blockgrant) berupa Bantuan Operasional Penyelenggaraan Program Paket A dan B yang bersumber dari APBN.

Program Paket A adalah  program pendidikan pada jalur nonformal setara dengan SD/MI bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan. Pemegang ijazah Program Paket A memiliki hak eligiblitas yang sama dengan pemegang ijazah SD/MI. Program Paket B adalah program pendidikan pada jalur nonformal setara dengan SMP/MTs bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan. Pemegang ijazah Program Paket B memiliki hak eligiblitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs. Program Paket C adalah program pendidikan pada jalur nonformal setara dengan SMA/MA bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan. Pemegang ijazah Program Paket C memiliki hak eligiblitas yang sama dengan pemegang ijazah SMA/MA.

 

BAB IV  PENUTUP

 1.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Perkembangan sekolah dasar di Jombang Jawa Timur meningkat pesat
  2. Keadaan sekolah dasar di Jombang Jawa Timur cukup terpengaruhi dengan adanya kejar paket
  3. Penyebab penyetaraan adalah karena banyaknya angka putus sekolah

2. Saran

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut

  1. Hendaknya pemerintah mempertimbangkan ulang tentang kesetaraan sekolah dasar umum dengan kejar paket A
  2. Hendaknya kejar paket hanya diperuntukkan untuk usia yang lebh dari usia pada umumnya untuk bersekolah. Misalnya usia 12 tahun diusahakan sekolah di umum dahulu, misal lebih dari itu yaitu 15 tahun baru diperboehkan sekolah di kejar paket.

 

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Ketentuan Umum Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Pra Sekolah, Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

Model Silabus Kurikulum Sekolah Dasar Kelas 3, 4, 5 dan 6 Tahun 2004. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dianawati, A. 2006. IPAL (Ilmu Pengetahuan Alam Lengkap) SD. Jakarta: Kawan Pustaka.

 

WIG PURBALINGGA MENDUNIA: Industrialisasi Purbalingga di Era Bupati Triyono Budi Sasongko Tahun 2000-2010. Oleh : Ummi Mukaromah, S.Pd. MM Guru SDN 1 Klapasawit – Kalimanah – Purbalingga – Jateng

  1. Latar Belakang Masalah

Keadaan sosial ekonomi masyarakat Purbalingga masih minim (dibuktikan dengan hasil sensus ekonomi tahun 2000). Mata pencaharian masyarakat mayoritas buruh tani. Secara pendapatan juga masih minim (penjelasan dari tabel kantor BPS).

Kemiskinan yang dirasa oleh bapak Triyono Budi Sasongko yang menjabat bupati saat itu, pada tahun 2000-2010. Membuat beliau bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Upaya peningkatan ekonomi masyarakat ditempuh diberbagai bidang, diantaranya dengan pembukaan lapangan kerja. Pembukaan lapangan kerja tersebut secara nyata. Ditempuh dengan mendatangkan investor untuk pembangunan sector industri. Industri yang banyak berkembang adalah industri rambut palsu atau wig.

Sepuluh juta pasang bulu mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia. Tujuan utama ekspor bulu mata dan wig adalah ke Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris dan Kawasan Timur Tengah. Nilai ekspornya mencapai Rp 851,01 miliar[1]. Menyumbang 30% ekspor handycraft. Disampaikan oleh menteri perdagangan saat itu. Sungguh niali ekspor yang tidak sedikit.

Berdasarkan uraian di atas penulis berminat untuk meneliti permasalahan tersabut dengan judul’’ Wig Purbalingga Mendunia’’.

 

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah yang akan dibahas di penelitian sejarah ini adalah bagaimana wig Purbalingga bisa mendunia.

Pertanyaan penelitiannya adalah :

  1. Bagaimana kondisi industri sebelum tahun 2000?
  2. Apa faktor pendorong wig Purbalingga menjadi komoditi eksport dunia?
  3. Apakah dampaknya bagi sosial ekonomi masyarakat Purbalingga?

 

  1. Ruang Lingkup Masalah

 

Ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam masalah ini adalah :

Ruang lingkup spasialnya adalah kabupaten Purbalinga. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pendekatan emosional, bahwa penulis berdomisili di Purbalingga. Purbalingga menjadi produsen wig terbesar di Indonesia.

Ruang lingkup temporalnya dimulai pada tahun 2000-2010. Tahun 2000-2010 digunakan sebagai batas waktu pengkajian karena, tahun tersebut adalah periode kepemimpinan bupati Triyono Budi Sasongko yang menjabat dua periode berturut-turut. Beliaulah yang membuka pintu investor asing untuk membangun pabrik wig di Purbalingga.

 

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

 

Tujuan Penelitian ini adalah :

  1. Mengidentifikasi tentang kondisi industri di Purbalingga sebelum tahun 2000.
  2. Menjelaskan Mengapa wig Purbalingga mendunia.
  3. Memberikan informasi dampak industri pabrik wig bagi sosial ekonomi masyarakat Purbalingga

 

Manfaat penelitian ini adalah;

  1. Untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang kondisi industri di Purbalingga sebelum tahun 2000, menginformasikan bahwa wig Purbalingga telah mendunia dan terdapat dampak sosial ekonomi pada masyarakat Purbalingga sebagai akibatnya.
  2. Sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah setempat untuk merumuskan kebijakan dalam bidang.

 

  1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari 4 tahap, yaitu:

  1. Heuristik, pada tahap ini dilaksanakan pencarian sumber diberbagai tempat diantaranya, di arsip daerah, perpustakaan daerah dan di Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata. Melakukan wawancara dengan Triyono Budi Sasongko dan pejabat kabupaten pada saat itu.

Pada tahap ini buku yang digunakan adalah

Buku didapat dari perpustakaan daerah, Humas Pemda Purbalingga dan kantor Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Purbalingga.

Koran suara merdeka dan Kompas yang terbit pada tahun 2000-2010.

Data perkembangan jumlah pabrik rambut palsu di Purbalingga dari Kantor KMKPT Kabupaten Purbalingga.

Data sensus ekonomi tahun 2000-2010 dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Purbalingga.

Lirik lagu “Prawan Pabrik”, menggambarkan kehidupan pekerja pabrik wig saat itu.

 

  1. Kritik sejarah digunakan untuk menguji sumber sejarah yang ditemukan pada heuristk. Kritik dilakukan dengan membandingkan dengan sumber yang satu dengan sumber yang lain.

Kritik intern adalah kritik terhadap isi dan suatu peninggalan sejarab. Kritik ekstern adalah kritik terhadap keaslian dan sumbers umber sejarah yang ada. Pada tahap mi sejarawan akan melakukan uji ketuaan terhadap suatu peninggalan sejarah melalui beberapa cara, seperti tipologi, stratifikasi, dan kimiawi.

  1. Dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta[2] dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.
  2. Historiografi. Tahap ini menuliskan hasil penelitian tentang Wig Purbalingga mendunia.

 

  1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah,

wawancara dengan Triyono Budi Sasongko dan pejabat kabupaten pada saat itu.

Pada tahap ini buku yang digunakan adalah

  • Social Entrepreneurship (Buku) {+- buku …}
  • Petuah dan kisah bijak Budaya Jawa (Buku)
  • Jejak-jejak Pembangunan Purbalingga (Buku)
  • Tokoh-tokoh Purbalingga Purbalingga (Buku).
  • Kilas sejarah Purbalingga(Buku).

Buku didapat dari perpustakaan daerah, Humas Pemda Purbalingga dan kantor Disbudparpora Kabupaten Purbalingga.

Koran suara merdeka dan Kompas yang terbit pada tahun 2000-2010.

Data perkembangan jumlah pabrik rambut palsu di Purbalingga dari Kantor KMKPT Kabupaten Purbalingga.

Data hasil sensus penduduk dan sensus ekonomi rentang tahun 2000-2010 dari kantor BPS Kabupaten Purbalingga.

Lirik lagu “Prawan Pabrik”.

 

Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang wig Purbalingga ada penelitian serupa yang sudah ditulis oleh periset lain. Pertama, … buku ini isinya apa, dst. Tapi buku ini mengulas tentang ini sampai pada tahun sebelum 2000.

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada … (bahwa mereka belum mengulas tentang apa yang ingin saya tulis). Dalam penelitian ini, digunakan konsep-konsep seperti (kembali lagi ke judul).

 

  1. Sistematika Penulisan

 

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab.

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, lingkup masalah, tujuan dan manfaat, pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang permasalahan/pertanyaan penelitian yang pertama.

Bab tiga akan membahas pertanyaan penelitian kedua.

Bab empat akan membahas pertanyaan penelitian ketiga (isinya rincian atau isi pokok).

Bab lima adalah kesimpulan. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam bab satu.

 

 

Prawan Pabrik
Ciptaan : Pratikno W.
Vokal : Dedy Pitak
Prawan pabrik, aben esuk numpak epit
Ngegat-ngegot njentrat-njentrit nang sadel kulit
Saben dina nganggo rok seragam pabrik
Ora keri lambene diabangi lipstik

Kerja ngawan bengi pada giliran
Sing anyaran saben setu pada bayaran
Sing wis lawas gajihane bulanan
Sing duwe utang pada kena potongan

REFF :

Prawan pabrik ora kena digemampang
Semangate nglewihi para pejuang
Ora gelem kalah karo wong lanang
Esuk awan sore kerja lembur banting tulang

Prawan pabrik andalan keluarga
Gelem nglakoni pegawean sing mulia
Beda gemiyen modal rupa adol gaya
Ngalor ngidul pamer rokmini lan kebaya

REFF :

Prawan pabrik ora tau reka-reka
Diledeki jejaka jawabane durung bisa
Dadi wong lanang andalane jane apa
Modal rupa wong untune bae dawa

Aja nelangsa aja pada gela
Dadi wong lanang karepe mung leha-leha
Prawan pabrik nyukupi sandang-pangan
Sing wong lanang aja mung pangku tangan

REFF :

Prawan pabrik ora kena digemampang
Semangate nglewihi para pejuang
Ora gelem kalah karo wong lanang
Esuk awan sore kerja lembur banting tulang

Prawan pabrik andalan keluarga
Gelem nglakoni pegawean sing mulia
Beda gemiyen modal rupa adol gaya
Ngalor ngidul pamer rokmini lan kebaya

 

KERANGKA PENELITIAN SEJARAH

 

Judul : WIG PURBALINGGA MENDUNIA

 

Latar belakang : Keadaan sosial ekonomi masyarakat Purbalingga masih minim (dibuktikan dengan hasil sensus ekonomi tahun 2000). Mata pencaharian masyarakat mayoritas buruh tani. Secara pendapatan juga masih minim (penjelasan dari tabel kantor BPS).

Kemiskinan yang dirasa oleh bapak Triyono Budi Sasongko yang menjabat bupati saat itu, yaitu pada tahun 2000-2010. Membuat beliau bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Upaya peningkatan ekonomi masyarakat ditempuh diberbagai bidang, diantaranya dengan pembukaan lapangan kerja. Pembukaan lapangan kerja tersebut secara nyata. Ditempuh dengan mendatangkan investor untuk pembangunan sector industri. Industri yang banyak berkembang adalah industri rambut palsu atau wig.

Sepuluh juta pasang bulu mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia. Tujuan utama ekspor bulu mata dan wig adalah ke Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris dan Kawasan Timur Tengah. Nilai ekspornya mencapai Rp 851,01 miliar[1]. Menyumbang 30% ekspor handycraft. Disampaikan oleh menteri perdagangan saat itu. Sungguh niali ekspor yang tidak sedikit.

Berdasarkan uraian di atas penulis berminat untuk meneliti permasalahan tersabut dengan judul’’ Wig Purbalingga Mendunia’’.

 

 

Permasalahan : Rumusan masalah yang akan dibahas di penelitian sejarah ini adalah bagaimana wig Purbalingga bisa mendunia.

Pertanyaan masalahnya adalah :

1.      Bagaimana kondisi industri sebelum tahun 2000?

2.      Mengapa wig Purbalingga mendunia?

3.      Apakah dampaknya bagi sosial ekonomi masyarakat Purbalingga?

 

Ruang lingkup Masalah : Ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam masalah ini adalah :

Ruang lingkup spasialnya adalah kabupaten Purbalinga. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pendekatan emosional, bahwa penulis berdomisili di Purbalingga.

Ruang lingkup tempioralnya dimulai pada tahun 2000-2010. Tahun 2000-2010 digunakan sebagai batas waktu pengkajian karena, tahun tersebut adalah periode kepemimpinan bupati Triyono Budi Sasongko yang menjabat dua periode berturut-turut.

Advertisements

 

Tujuan Penelitian : Tujuan Penelitian ini adalah :

1.Mengidentifikasi tentang kondisi industri di Purbalingga sebelum tahun 2000.

2.Menjelaskan Mengapa wig Purbalingga mendunia.

3.Memberikan informasi dampak industri pabrik wig bagi sosial ekonomi masyarakat Purbalingga

 

Manfaat penelitian ini adalah;

1.Untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang kondisi industri di Purbalingga sebelum tahun 2000, menginformasikan bahwa wig Purbalingga telah mendunia dan terdapat dampak sosial ekonomi pada masyarakat Purbalingga sebagai akibatnya.

2.Sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah setempat untuk merumuskan kebijakan dalam bidang.

 

Metode Penelitian : Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari 4 tahap, yaitu:

-1. Heuristik, pada tahap ini dilaksanakan pencarian sumber diberbagai tempat di arsip daerah, perpustakaan daerah dan melakukan wawancara dengan Triyono Budi Sasongko dan pejabat kabupaten pada saat itu.

Pada tahap ini buku yang digunakan adalah

-Social Entrepreneurship (Buku)

-Petuah dan kisah bijak Budaya Jawa (Buku)

-Jejak-jejak Pembangunan Purbalingga (Buku)

-Tokoh-tokoh Purbalingga Purbalingga (Buku).

-Kilas sejarah Purbalingga(Buku).

Buku didapat dari perpustakaan daerah, Humas Pemda Purbalingga dan kantor Disbudparpora Kabupaten Purbalingga.

Koran suara merdeka dan Kompas yang terbit pada tahun 2000-2010.

Data perkembangan jumlah pabrik rambut palsu di Purbalingga dari Kantor KMKPT Kabupaten Purbalingga.

Lirik lagu “Prawan Pabrik”.

 

Sumber sejarah : Sumber sejarah yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah

·         buku yang digunakan adalah

ü  Social Entrepreneurship.

ü  Petuah dan kisah bijak Budaya Jawa.

ü  Jejak-jejak Pembangunan Purbalingga.

ü  Tokoh-tokoh Purbalingga Purbalingga.

ü  Kilas sejarah Purbalingga.

Buku didapat dari perpustakaan daerah, Humas Pemda Purbalingga dan kantor Disbudparpora Kabupaten Purbalingga.

·         Koran suara merdeka dan Kompas yang terbit pada tahun 2000-2010.

·         Data perkembangan jumlah pabrik rambut palsu di Purbalingga dari Kantor KMKPT Kabupaten Purbalingga.

·         Data kemiskinan dan mata pencaharian masyarakat dari BPD Kab. Purbalingga.

·         Lirik lagu “Prawan Pabrik”, ciptaan Dede Pitak (penyanyi lokal yang mengabadikan industrialisasi di Purbalingga saat itu. Menjadi icon pada tahun 2010-an.

 

Sistematika Penulisan : Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab.

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, lingkup masalah, tujuan dan manfaat, pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang permasalahan/pertanyaan penelitian yang pertama.

Bab tiga akan membahas pertanyaan penelitian kedua.

Bab empat akan membahas pertanyaan penelitian ketiga (isinya rincian atau isi pokok).

Bab lima adalah kesimpulan. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam bab satu.

Bibliografi : Bibliografi yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari 4 tahap, yaitu:

Heuristik, pada tahap ini dilaksanakan pencarian sumber diberbagai tempat di arsip daerah, perpustakaan daerah dan melakukan wawancara dengan Triyono Budi Sasongko dan pejabat kabupaten pada saat itu.

Pada tahap ini buku yang digunakan adalah

·         Social Entrepreneurship (Buku)

·         Petuah dan kisah bijak Budaya Jawa (Buku)

·         Jejak-jejak Pembangunan Purbalingga (Buku)

·         Tokoh-tokoh Purbalingga Purbalingga (Buku).

·         Kilas sejarah Purbalingga(Buku).

Buku didapat dari perpustakaan daerah, Humas Pemda Purbalingga dan kantor Disbudparpora Kabupaten Purbalingga.

Koran suara merdeka dan Kompas yang terbit pada tahun 2000-2010.

Data perkembangan jumlah pabrik rambut palsu di Purbalingga dari Kantor KMKPT Kabupaten Purbalingga.

Lirik lagu “Prawan Pabrik”.

 

[1] Kompas tanggal 2 Juni 2014

sumber video http://www.youtube.com/watch?v=msIESOr7BbU

[1] Kompas tanggal 2 Juni 2014

[2] Sumber yang telah lolos verifikasi menjadi fakta

Benteng Pendem Cilacap, dari Fungsi Pertahanan ke Wisata Sejarah. Oleh WARSONO (Cilacap)

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Benteng Pendem Cilacap merupakan bangunan bersejarah peninggalan penjajah Balanda. Benteng ini merupakan benteng pertahanan tentara Belanda dari serangan musuh yang datang dari arah laut Samudera Hindia. Disebut Benteng Pendem karena benteng ini terpendam di bawah tanah, sehingga terlihat seperti gundukan bukit.

Benteng Pendem Cilacap dalam bahasa Belanda bernama “Kustbatterij Op De Landtong Te Tjilatjap.” Dibangun oleh Tentara Kerajaaan Hindia Belanda atau Netherland Indische dengan memanfaatkan tenaga kerja bangsa Indonesia tanpa upah (rodi) mulai tahun 1861 dan selesai pada tahun 1879. Setelah jadi kemudian digunakan sebagai markas pertahanan tentara Belanda.

Tahun 1942 tentara Sekutu kalah perang melawan Jepang, maka benteng ini pun jatuh ke tangan tentara Jepang.

Tahun 1945 Hiroshoma dan Nagasaki di Jepang dibom atom oleh tentara Sekutu dan Jepang menyerah kalah. Tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta  memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Benteng Pendem pun menjadi milik Republik Indonesia. Bagaimana kondisi dan fungsi Benteng Pendem Cilacap pada masa kemerdekaan hingga pemugarannya beserta dampaknya bagi masyarakat sekitar  inilah yang menarik perhatian peneliti untuk menelitinya lebih lanjut.

2. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar Benteng Pendem Cilacap pasca dipugar dan difungsikannya Benteng Pendem sebagai obyek wisata sejarah tahun 1987”

Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

  1. Bagaimana fungsi Benteng Pendem Cilacap sebelum tahun 1987?
  2. Kebijakan apa yang diambil pemerintah daerah untuk merubah fungsi Benteng Pendem Cilacap?
  3. Apa dampaknya bagi masyarakat sekitar?

3. RUANG LINGKUP MASALAH

Lingkup masalah yang akan dikaji adalah perubahan fungsi Benteng Pendem Cilacap pada tahun 1987 dan dampaknya bagi masyarakat sekitar.

Lingkup spasial dalam penelitian ini adalah di Cilacap. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada posisi geografis Benteng Pendem yang terletak di Kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah.

Lingkup temporal adalah masa kemerdekaan hingga dibukanya Benteng Pendem untuk wisata atau tahun 1945 sampai dengan 1987. Tahun 1945 digunakan sebagai batas awal karena pada saat itu negara Republik Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaannya. Benteng Pendem yang semula dikuasi penjajah mulai saat itu menjadi milik negara Republik Indonesia. Sedangkan tahun 1987 digunakan sebagai batas akhir karena pada tahun inilah terjadi perubahan fungsi Benteng Pendem dari sarana pertahanan dan keamanan menjadi obyek wisata.

4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menjelaskan fungsi Benteng Pendem Cilacap sebelum tahun 1987.
  2. Menjelaskan kebijakan pemerintah daerah untuk merubah fungsi Benteng Pendem Cilacap.
  3. Menjelaskan dampak kebijakan tersebut bagi masyarakat sekitar Benteng Pendem Cilacap.

Manfaat penelitian ini adalah:

  1. Untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah Benteng Pendem Cilacap.
  2. Sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan tentang pengembangan Benteng Pendem Cilacap sebagai obyek wisata sejarah.

5. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Metode Sejarah, yang terdiri dari empat tahap:

  1. Tahap Heuristik

Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti Arsip Daerah, Dinas Pariwisata dan wawancara. Pada tahap ini ditemukan antara lain:

2. Buku ketikan manual tanpa kover, tidak diketahui nama penulis dan tahun

     penulisan, berisi uraian ringkas tentang Benteng Pendem Cilacap ditemukan di Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cilacap.

3. Naskah tulisan tangan berjudul “History of The Fortress at Cilacap (Java)

     karya D.van Zoonen, tanpa tahun.

4. Beberapa kliping koran terbitan tahun 1980-an yang memuat berita tentang Benteng Pendem, seperti Sinar Harapan, Buana Minggu, Suara Merdeka dan Berita Yudha.

Untuk melengkapi dokumen sumber tertulis yang ada dilakukan wawancara

dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Cilacap dan tokoh masyarakat di sekitar Benteng Pendem.

  1. Tahap Kritik

Kritik sejarah digunakan untuk melakukan pengujian sumber sejarah. Data dan informasi sejarah yang didapat dari proses heuristik tidak dapat langsung digunakan begitu saja. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber satu dengan sumber yang lain.

2. Tahap Interpretasi

Setelah dilakukan kritik, selanjutnya dilakukan interpretasi. Dalam tahapan ini peneliti memberikan makna terhadap fakta-fakta hasil verifikasi dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

3. Tahap Historiografi

Tahap terakhir dari metode penelitian ini adalah historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menuliskan kisah yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang telah diinterpretasikan. Dalam hal ini adalah penulisan sejarah sebagai hasil penelitian tentang perubahan fungsi Benteng Pendem Cilacap dari fungsi pertahanan menjadi obyek wisata sejarah pada tahun 1987 berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

6. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini bukan satu-satunya penelitian tentang Benteng Pendem Cilacap. Ada penelitian serupa yang telah dilakukan diantaranya:

  1. “Sejarah Kabupaten Cilacap” yang disusun oleh Bambang Dwiyanto, S.E, dkk. diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap, tahun 2011.

Tim penulis mengulas tentang Benteng Pendem pada subjudul Benda Peninggalan Jaman Belanda.  Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian tersebut. Perbedaannya adalah, pada buku “Sejarah Kabupaten Cilacap”, Benteng Pendem diulas hanya sekilas sebagai salah satu benda bersejarah peninggalan Belanda yang ada di Kabupaten Cilacap.   Sedangkan dalam penelitian ini membahas perubahan fungsi Benteng Pendem Cilacap pada masa awal kemerdekaan (fungsi pertahanan) sampai tahun 1987 (sebagai obyek wisata) beserta dampaknya pada masyarakat sekitar.

  1. “Nusakambangan Dari Poelaoe Boei menuju Pulau Wisata” yang ditulis oleh M.Unggul Wibowo, diterbitkan oleh Mitra Gama Widya, tahun 2001.

Dalam penelitiannya, M.Unggul Wibowo mengulas tentang keberadaan benteng-benteng yang ada di Cilacap dan Pulau Nusakambangan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, yang salah satunya adalah Benteng Pendem Cilacap. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti, fokus pada Benteng Pendem Cilacap.

7. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari lima bab dan beberapa lampiran.

Bab I Pendahuluan yang berisi: Judul, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

Bab II membahas fungsi Benteng Pendem Cilacap sebelum tahun 1987.

Bab III membahas kebijakan pemerintah daerah untuk merubah fungsi Benteng Pendem Cilacap dari fungsi pertahanan keamanan menjadi obyek wisata.

Bab IV membahas dampak kebijakan tersebut bagi masyarakat sekitar Benteng Pendem Cilacap.

Bab V Penutup, berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bab I.

8. DAFTAR PUSTAKA

  1. Bambang Dwiyanto, dkk. 2011. Sejarah Kabupaten Cilacap. Cilacap: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap
  2. Unggul Wibowo. 2001. Nusakambangan, Dari Poelaoe Boei Menuju Pulau Wisata. Tanpa Nama Kota Penerbit: Mitra Gama Widya.
  3. Anonim, t.t, Sekilas Benteng Pendem Cilacap. (fotokopi naskah tik manual). tp.
  4. Zoonen, van, D. tt. History of The Fortress at Cilacap (Java). (naskah tulisan tangan). tp.
  5. Narasumber: Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Cilacap
  6. Narasumber: Tokoh masyarakat sekitar Benteng Pendem Cilacap.

WAYANG KRUCIL BLORA BERTAHAN DI TENGAH GERUSAN PERKEMBANGAN JAMAN. Oleh Pujianto

BAB. I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Jawa dan Bali. Selain itu beberapa daerah seperti Sumatra dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa Hindu.

UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaandai PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.

Saat ini masyarakat lebih familiar dengan wayang orang, wayang kulit serta wayang kulit. Kefamiliaran tersebut memang sangat wajar, mengingat pada saat ini memang ketiga bentuk wayang itulah yang masih lestari dan berkembang di masyarkat. Sebenarnya selain ketiga bentuk wayang tersebut, masih banyaklagi bentuk-bentuk wayang, misalnya; wayang gedhog, wayang beber dan wayang klithik/ wayang krucil.

Wayang krucil merupakan salah satu bentuk wayang yang berkembang di kabupaten Blora. Wayang krucil adalah salah satu bentuk wayang yang terbuat dari kayu. Walaupun terbuat dari kayu, akan tetapi wayang ini tidak seperti wayang golek. Wayang ini bentuknya seperti wayang kulit, yaitu pipih.

Perkembangan jaman mempengaruhi pola pikir generasi muda menyebabkan keberadaan budaya dan kesenian tradisional di negara mulai memprihatinkan. Contohnya adalah Wayang Krucil dari Kabupaten Blora Jawa Tengah. Dahulu, kesenian tradisional Wayang Krucil di Kabupaten Blora Jawa Tengah menjadi pementasan kesenian yang sangat digemari masyarakat. Namun pada saat ini perkembangan wayang krucil hampir  mengalami kepunahan. Jarang sekali kita temui pertunjukan Wayang Krucil diadakan.

Dari sekian banyak kelompok atau paguyuban wayang krucil di Blora, ada salah satu paguyuban yang dapat digunakan sebagai tolok ukur tentang keberadaan wayang krucil di Blora. Paguyuban kelompok tersebut adalah paguyuban milik dari Mbah Sardi. Sardi adalah seorang dalang wayang krucil yang sudah mengalami perkembangan wayang krucil yang beraneka ragam, mulai dari kejayaan wayang krucil hingga sekarang.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, kita mengetahui bahwa perkembangan wayang krucil Blora mengalami perkembangan yang tidak menggembirakan. Permasalahan yang timbul adalah;

  1. Bagaimana perkembangan wayang krucil Blora?
  2. Apa faktor yang mempengaruhi perkembangan wayang krucil Blora?

3. Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan judul dan latar belakang penelitian ini, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada;

  1. Obyek penelitian adalan perkembangan wayang krucil, yang diwakili oleh paguyubanwayang krucil milik mbah Sardi. tidak dengan bentuk wayang yang lain
  2. Tempat/ area yang digunakan adalah desa Ngampon Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. Tidak dengan are yang lain. Ini dilakukan karena wayang krucil Blora mempunyai karakteristik sendiri dibanding wayang krucil yang ada di daerah lain.
  3. Waktu penelitian ini adalah rentang antara kelahiran mbah Sardi sampai dengan sekarang, hal ini dikarenakan pada masa itu wayang krucil mengalami perkembangan yang fluktuatif sampai dengan menurun sangat tajam seperti pada saat ini.

4. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang  Wayang Krucil Blora Bertaha di Tengah Gerusan Jaman ini bertujuan untuk;

  1. Mengidentifikasi tentang perkembangan Wayang Krucil Blora sejak tahun…… sampai sekarang
  2. Mengidentifikasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan wayang krucil Blora.

 

5. Manfaat Penelitian

Penelitian tentang  Wayang Krucil Blora Bertaha di Tengah Gerusan Jaman ini diharapkan bermanfaat untuk;

  1. Untuk melengkapi Historiografi Indonesia tentang wayang, terutama wayang krucil, dan khususnya wayang krucil Blora.
  2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah kabupaten Blora untuk membuat kebijakan tentang pelestarian dan pengembangan keberadaan wayang krucil di Kabupaten Blora.

6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari 4 tahap;

  1. Hueristik

Metode ini merupakan metode yang digunakan peneliti untukmmencari sumber penulisan penelitian ini, yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah arsip-arsip tentang pertunjukan wayang krucil, yaitu; pakem pertunjukan wayang krucil, buku/ serat menak yang digunakan dasar sebagai pertunjukan wayang krucil, arsip-arsip perpustakaan, baik perpustakaan daerah kabupaten Blora maupun perpustakaan lainnya.

Untuk melengkapi sumber tertulis yang ada, peneliti melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan wayang krucil Blora. Pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan wayang krucil Blora tersebut adalah;

  1. Dalang Wayang Krucil “Mbah Sardi”
  2. Para penabuh gamelan/ iringan wayang krucil Blora.
  3. Pesinden wayang krucil Blora.
  4. Dinas Porabudpar Kabupaten Blora
  5. Pepadi (selaku organisasi yang membawahi seniman dalang) Kabupaten Blora
  6. Tokoh masyarakat yang dapat dipercaya.

Dalam kegiatan menulis ini, peneliti juga melakukan pengujian terhadap sumber sejarah dengan cara mengonfirmasi data yang diperoleh dari sumber pertama dengan data yang diperoleh dari sumber lainnya.

  1. Kritik

Metode kritik ini dilakukan peneliti dengan cara membandingkan sumber yang satu dengan yang lain.  Dengan cara membandingkan sumber yang satu dengan sumber lainnya akan bisa didapatkan sumber yang valid dan dapat dipercaya. Hal ini dilakukan agar penelitian ini dapat menjadi penilitian yang valid dan penilitian yang baik, sehingga bermanfaat bagi pembacanya.

  1. Interpretasi

Penelitian ini juga menggunakan interpretasi sebagi metode dalam peneitian ini. Penulis memberikan makna terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Selain itu sumber-sumber yang telah didapatkan akan diferivikasi. Setelah terferivikasi dan memenuhi sayarat, maka sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan menjadi fakta.

Setelah ditemukan fakta-fakta yang mendukung dalam penelitian ini, langkah selanjutnya adalah dengan cara menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain. Kegiatan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain ini tentu saja sangat diperlukan, karena dengan ara ini penelito dapat mengetahui keterkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Akan menjadi penelitian yang baik jika fakta yang ditemukan tersebut saling terhubung dan saling terkait diantara satu dengan yang lainnya.

  1. Historiografi

Pada tahapan ini peneliti atau penulis menyusun kisah sejarah tentang perkembangan wayang krucil Blora di tengah gerusan perkembangan jaman. Tentu saja penulisan kisah sejarah ini harus tetatp mempertimbangkan kaidah-kaidah penulisan sejarah yang telah ditentukan, serta harus sesuai dengan kaidah ilmu sejarah.

Sedangkan kaidah ilmu sejarah menurut Kunto Wijoyo adalah sebagai berikut;

Bersifat Empiris

Empiris berasal dari kata Yunani emperia artinya pengalaman, percobaan, penemuan, pengamatan yang dilakukan. Bersifat empiris sebab sejarah melakukan kajian pada peristiwa yang sungguh terjadi di masa lampau. Sejarah akan sangat tergantung pada pengalaman dan aktivitas nyata manusia yang direkam dalam dokumen. Untuk selanjutnya dokumen tersebut diteliti oleh para sejarawan untuk menemukan fakta yang akan diinterpretasi/ditafsirkan menjadi tulisan sejarah. Sejarah hanya meninggalkan jejak berupa dokumen.

2. Memiliki Objek

Objek sejarah yaitu perubahan atau perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi waktu (masa lampau). Waktu merupakan unsur penting dalam sejarah. Waktu dalam hal ini adalah waktu lampau sehingga asal mula maupun latar belakang menjadi pembahasan utama dalam kajian sejarah.

3. Memiliki Teori

Teori merupakan pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Teori dalam sejarah berisi satu kumpulan tentang kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Teori tersebut diajarkan berdasarkan keperluan peradaban. Rekonstruksi sejarah yang dilakukan mengenal adanya teori yang berkaitan dengan sebab akibat, eksplanasi, objektivitas, dan subjektivitas.

4. Memiliki Metode

Metode merupakan cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai suatu maksud. Setiap ilmu tentu memiliki tujuan. Tujuan dalam ilmu sejarah adalah menjelaskan perkembangan atau perubahan kehidupan masyarakat. Metode dalam ilmu sejarah diperlukan untuk menjelaskan perkembangan atau perubahan secara benar. Dalam sejarah dikenal metode sejarah guna mencari kebenaran sejarah. Sehingga seorang sejarawan harus lebih berhati-hati dalam menarik kesimpulan jangan terlalu berani tetapi sewajarnya saja.

5. Mempunyai Generalisasi

Studi dari suatu ilmu selalu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut menjadi kesimpulan umum atau generalisasi. Jadi generalisasi merupakan sebuah kesimpulan umum dari pengamatan dan pemahaman penulis.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut;

BAB. I. PENDAHULUAN

Latar belakang, permasalahan, lingkup, sd sistematika Penulisan

BAB. II. PEMBAHASAN

Membahas pada pertanyaan pertama (situasi sebelum penelitian)

BAB III. PEMBAHASAN

Membahas Pertanyaan yg ke 2 (situasi saat diteliti)

BAB V. SIMPULAN

Kesimpulan menjawab pertanyaan penelitian yg diajukan dalam bab 1.

Pengaruh Tembakau Terhadap Perubahan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Temanggung Pada Tahun 1980-2000. Oleh Ibnu Jarir.S.Pd.

  1. Latar Belakang Masalah

Tembakau mulai dikenal luas masyarakat Kabupaten Temanggung dan mulai diusahakan untuk memenuhi  kebutuhan keluarga. Sejak tahun 1956 petani beramai-ramai membuka lahan ilalang pada ketinggian 1100 m diatas permukaan laut untuk ditanami tembakau. Penanaman dilakukan guna memenuhi permintaan masyarakat setempat dengan mengolah menjadi tembakau garangan yang dirokok dengan campuran klembak dan kemenyan. Permintaan ini terjadi karena mulai dikenalnya tembakau Temanggung yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh daerah lain, sehingga permintaan akan tembakau mulai meningkat. Hal ini dibuktikan dengan mutu tembakau Temanggung terdiri dari 6 tingkatan, dimulai dari mutu terendah (A) hingga tertinggi (F). Penentuan mutu dengan uji sensori didasarkan pada kenampakan warna, pegangan, dan aroma

Sebagian besar penduduk Kabupaten Temanggung  bermata pencaharian sebagai Petani yang mengandalkan komoditi utama tembakau, Pada tahun 1990an tembakau merupakan Komoditi utama penduduk Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung, Sehingga kota Temanggung di kenal sebagai “Negeri Tembakau”, hal tersebut tentu saja berpengaruh kepada pola pikir dan tingkah laku kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung dengan adanya komoditi unggulan yang mempunyai nilai jual yang tinggi.

Dengan adanya nilai jual yang tinggi berbanding lurus dengan perubahan tingkat sosial ekonomi dan tingkah laku sosial masyarakat Temanggung pada Tahun 1980-2000 mendorong untuk hidup serba mewah dalam pepatah jawa masayarakat Kabupaten Temannggung menyebutkan dengan istilah “Pung nak pung no” arti dalam Bahasa Indonesia adalah “selagi enak selagi ada”, yang merupakan istilah bagi masyarakat Temanggung yang kurang berhati hati dalam mengolah keuangan dalam kehidupannya, karena masyarakat Temanggung pada tahun 1980-2000 memiliki komoditi unggulan berupa daun emas tembakau yang membuat mereka memiliki penghasilan lebih sehingga mampu mempengaruhi perubahan sosial ekonomi mereka.

Mobilitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan, walaupun hal itu dalam lingkup kecil. Di Kabupaten Temanggung ini sebagian besar penduduknya memilih untuk tetap tinggal di wilayahnya karena tanah merupakan harta mereka yang berharga. Luas kepemilikan tanah yang dimiliki penduduk dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka, sehingga mereka lebih memilih tinggal dan menggarap tanah mereka. Namun hal ini bukan berarti tidak ada penduduk yang keluar wilayah Kabupaten Temanggung. Biasanya penduduk yang meninggalkan wilayah ini ialah karena pernikahan. Selain itu mereka yang keluar wilayah dikarenakan sekolah dan tinggal di pondok pesantren akan tetapi pada akhirnya akan kembali lagi ke desanya masing masing.

Berdasarkan uaraian di atas penulis berminat untuk meneliti permasalahan tersabut dengan judul “Pengaruh Tembakau Terhadap Perubahan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten  Temanggung Pada Tahun 1980-2000”

2. Rumusan Masalah dan Pernyataan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini adalah Komodit tembakau dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Temanggung Tahun 1980-2000

Untuk menjawab permasalahn tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian antara lain :

  1. Kondisi penduduk Kabupaten Temanggung hingga tahun sebelum 1980
  2. Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  3. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000

3. Ruang lingkup masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam hal ini adalah    Kabupaten Temanggung, Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada wilayah Kabupaten Temangung  merupakan penghasil Komoditi tembakau yang unggul yang  terletak di Jawa Tengah Indonesia, Serta letak penyimpanan hasil produk yang telah dioleh petani tembakau yaitu pabrik Gudang Garam, Djarum, Bentoel sebagai Gudang tempat penyimpanan hasil tembakau yang telah diolah di jual petani ke pabrik terletak di Kabupaten Temanggung.

Tahun 1980 digunakan sebagai batas awal penelitian dan tahun 2000 sebagai batas akhir penelitian di karenakan pada tahun tersebut komoditi tembakau mencapai puncak emas kejayaan komoditi dan mempunyai peranan yang sangat penting yang mempengaruhi tatanan sosial ekonomi pada masyarakat Kabupaten Temanggung. Sebagai batas akhir tahun 2000 dikarenakan komoditi tembakau sudah menurun kualitasnya.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui kondisi penduduk Kabupaten Temanggung hingga tahun sebelum 1980
  2. Untuk mengetahui Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  3. Untuk mengetahui Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000

 

Manfaat Penelitian ini antara lain sebagai berikut :

  1. Untuk melengkapi histiorogafi Indonesia tentang sejarah komoditi tembakau dalam mempengaruhi perubahan tatanan sosial ekonomi, khususnya Kabupaten Temanggung.
  2. Dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan Pemerintah Kabupaten Temanggung untuk membuat kebijakan di bidang pertanian khususnya komoditi tembakau.

4. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini penulisan penelitian lebih ilmiah, data, tujuan, dan kegunaannya. Penulis menggunakan metode historis (Sejarah), yang memiliki empat langkah, Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Histiografi.

Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpu pada empat langkah kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi,dan Histiografi. (Dudung Abdulrahman: 2007: 53)

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah sejarah yang terdiri dari 4 tahap, Hueristik pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti Kantor arsip Perpustakaan daerah, koran, majalah media online dan juga wawancara dengan penduduk setempat, Pada tahap ini buku yang di temukan adalah laporan hasil Penelitian yang di lakukan oleh Eni rahmawati (2016) Dengan judul Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau di temukan di media Perpustakaan UNY. Skripsi Laporan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2007) Dengan judul Dampak panen raya tembakau  terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung di temukan di Perpustakaan UNNES, Laporan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Fatma artati anisa (2011) Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung ditemukan di Perpustakaan UGM.

Untuk melengkapi data yang ada agar lebih konkret dan valid peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat  di Kabupaten Temanggung yang hidup pada masa tahun 1980-2000 yang menjadi saksi sejarah kejayaan komoditi tembakau pada tahun tersebut.

Kritik sejarah di gunakan untuk melakukan pengujian dalam pengujian tahap pertama, kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Melakukan interpretasi dalam hal ini peneliti memberikan makna terhadap fakta yang sudah di ferivikasi menjadi fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain

Tahap terakhir adalah histiorogafi atau menuliskan hasil yang di peroleh  tentang Pengaruh komoditi tembakau terhadap sosial ekonomi masyarakat. Judul Pengaruh Tembakau Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Temanggung Pada Tahun 1980-2000 berdasarkan kaidah kaidah ilmu sejarah.

5. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu satunya tentang Penelitian sejarah yang berkaitan dengan Pengaruh Komoditi tembakau pada masyarakat Temanggung, Ada penelitian serupa yang sudah di teliti oleh peneliti lain antara lain :

  1. Penelitian yang di lakukan oleh Eni rahmawati (2016) Dengan judul Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau.
  2. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2007) Dengan judul Dampak panen raya tembakau terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung
  3. Penelitian yang dilakukan oleh Fatma artati anisa (2011) Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian sebelumnya perbedannya terletak pada keadaan gaya hidup sosial ekonomi petani tembakau pada saat panen raya tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 1980-2000 , yang berbeda dari ketiga peneliti sebelumnya adalah Penelitian ini lebih fokus pada Gaya hidup sosial ekonomi pada saat panen raya tembakau yang tidak bisa mengolah keuangan dengan baik dalam bahasa setempat di istilahkan dengan “pongnak pong no” dalam bahasa indonesianya selagi enak selagi ada. Dan bagaiamana perubahan tata niaga komoditi tembakau di Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000 yang merubah perilaku sosial ekonomi masyarakat setempat.

6. Sistematika Penulisan

Untuk kepentingan ketertiban dan upaya mengarahkan penelitian, maka dalam proposal penelitian sejarah  ini peneliti sertakan proyeksi pembahasan penulisan laporan penelitian yang dapat dilihat sebagai berikut :

  1. BAB I Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, lingkup masalah, tujuan dan manfaat metode penelitian kajian pustaka dan sistenatika penulisan.
  2. BAB II Membahas kondisi penduduk Kabupaten Temanggung sebelum tahun 1980
  3. BAB III Membahas Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  4. BAB IV Membahas kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000
  5. BAB V Merupakan kesimpulan dari jawaban penelitian yang diajukan pada BAB 1.

Daftar Pustaka

Eni rahmawati Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau.2016 Skripsi . Yogyakarta Universitas Yogyakarta.

Munawaroh Dampak panen raya tembakau  terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung.2017 Skripsi . Semarang  : Universitas Negeri Semarang.

Fatma artati anisa Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung.2011 Skripsi . Yogyakarta : Universitas Gajah mada.

DARI JAKARTA KE SOLO: SEJARAH KLUB SEPAK BOLA ARSETO 1979 – 1998. Oleh: Susilo Adi Setyawan

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Sepak bola merupakan salah satu jenis olahraga dari cabang olahraga permainan yang paling mendapat perhatian oleh sebagian besar masyarakat dunia, termasuk. Menurut Dvorak dan Junge[1], sepak bola merupakan salah satu olah raga paling populer secara mendunia dengan jumlah pemain dan penonton yang senantiasa meningkat.

Pernyataan di atas juga berlaku di Indonesia. Santoso[2] mengungkapkan bahwa sepak bola seakan-akan sudah menjadi bagian dari masarakat Indonesia. Hal ini tampak jelas terlihat dengan begitu meriahnya antusiasme masyarakat pada setiap pertandingan sepak bola, baik level amatir maupun profesional.  Tidak hanya itu, baik itu pertandingan oleh tim luar negeri ataupun tim dalam negeri antusiasme masyarakat untuk menyaksikan selalu tinggi, terlebih lagi jika pertandingan sepak bola tersebut melibatkan klub sepak bola yang disukai atau tim nasional. Selain itu, hampir setiap hari masyarakat selalu memainkan dan menyaksikan olahraga yang mengolah kulit bundar ini. Hampir di setiap desa dan juga kelurahan yang ada di Indonesia sudah memiliki lapangan sepak bola sehingga membuat olahraga yang berasal dari Eropa ini semakin dikenal luas di kalangan masyarakat.  Hampir setiap hari pula terdapat tayangan pertandingan sepak bola di beberapa stasiun televisi.

Sepak bola sangat berkaitan erat dengan sejarah Indonesia. Indonesia merupakan wakil pertama dari benua asia yang mengikuti turnamen sepak bola terbesar di dunia, yaitu Piala Dunia 1938 di Perancis. Induk organisasi sepak bola dunia (FIFA) mengakui Indonesia sebagai wakil pertama Asia di Piala Dunia[3]. Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi adalah negara-negara Asia yang sudah sering tampil di pesta sepak bola sejagat itu. Kendati ketiga tim tersebut paling sering muncul di Piala Dunia,  FIFA mengakui bahwa wakil pertama dari Benua Kuning adalah Indonesia. Waktu itu, Indonesia yang dikenal seagai Hindia Belanda dikalahkan oleh Hongaria dengan skor 6-0.

Sejarah sepak bola Indonesia ditandai dengan lahirnya klub-klub sepak bola. Di awal tahun 1900-an, lahir klub-klub sepak bola yang menjadi tonggak sejarah persepakbolaan Indonesia yang salah satunya adalah Persis Solo. Klub sepak bola yang berjuluk Laskar Samber Nyawa ini menjadi tim kedua tertua di Indonesia setelah PSM Makasar. Didirikan pada tanggal 8 November 1923, nama Persis dahulu adalah Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang didirikan oleh tokoh sepak bola Solo, Sastrosakno. Nama Persis Solo sendiri lahir pada 1928 di bawah kepemimpinan Soemokartiko. Eksistensinya di sepak bola Indonesia terbilang cukup impresif dengan meraih tujuh gelar era Perserikatan (1935, 1936, 1939,1940, 1942, 1943, dan 1948)[4].

Persis Solo pada masa itu bermarkas di Stadion Sriwedari. Stadion ini merupakan stadion tertua di Indonesia. Stadion legendaris ini mempunyai peranan yang besar baik dalam bidang olahraga maupun sejarah perjuangan fisik bangsa Indonesia. Stadion Sriwedari merupakan stadion pertama yang dibangun oleh bangsa Indonesia. Sementara stadion-stadion lainnya saat itu dibangun oleh orang-orang Belanda. Sejarah berdirinya stadion Sriwedari diawali di tahun 1932. Ketika itu, Sri Susuhunan Paku Buwono X dari Keraton Surakarta memiliki inisiatif membangun sebuah stadion untuk kegiatan olahraga kerabat kraton dan kalangan pribumi[5].

Setelah pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama, tepatnya di tahun 1948 dan dibuka pelaksanaannya di Stadion Sriwedari, Persis Solo tidak berprestasi kembali dalam kompetisi sepak bola tingkat tertinggi di Indonesia dan bahkan tergusur dari kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Hal ini seolah membuat anemo sepak bola di Solo memudar. Kondisi semacam ini terus berlanjut sampai menemui titik baliknya pada waktu Stadion Sriwedari direhabilitasi oleh pemerintah pusat tahun 1982. Kemudian, pada tanggal 9 September tahun 1983 stadion ini juga menjadi tempat dicanangkannya Hari Olahraga Nasional oleh Presiden Soeharto. Hingga kini, setiap tanggal 9 September diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional[6].

Setelah diresmikan oleh presiden Soeharto, Stadion Sriwedari pada akhirnya menjadi markas dari klub sepak bola yang bernama Klub sepak bola Arseto. Klub sepak bola Arseto berdiri di Jakarta pada tahun 1978. Klub milik Sigit Harjojudanto ini tidak didaftarkan sebagai anggota klub Persija, home base-nya pun dipindah ke Solo pada tahun 1983 [7].

Siapa yang tak kenal klub sepak bola Arseto Solo. Klub sepak bola berjuluk Si Biru Langit ini sempat mengharumkan Kota Bengawan dengan menjuarai kompetisi era Galatama musim 1991/1992. Tim yang bubar jalan tahun 1998 itu juga melahirkan legenda hidup sepak bola Indonesia yang berpretasi pula mengharumkan nama bangsa Indonesia di level Internasional. Berdiri pada tahun 1979 di Jakarta, klub sepak bola Arseto berpindah markas ke Solo pada tahun 1983. Perjalanan klub sepak bola Arseto sebagai klub sepak bola mengalami banyak dinamika. Di Solo, klub sepak bola Arseto mencapai puncak kejayaannya. Sampai pada akhirnya, pada bulan Mei 1998, klub sepak bola Arseto dibubarkan di tengah berjalannya kompetisi. Klub sepak bola Arseto memiliki kisah tersendiri dalam persepakbolaan Indonesia. Dinamika perjalanan klub sepak bola Arseto di duna sepak bola Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti.

2. Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah dalam penelitian ini berkaitan dengan dinamika klub sepak bola Arseto yang semula terentuk di Jakarta dan berakhir di Solo. Untuk membahas permasalahan tersebut, beberapa pertanyaan diajukan sebagai berikut.

  1. Apa motivasi didirikannya klub sepak bola Arseto?
  2. Faktor apa yang mempengaruhi klub sepak bola Arseto berpindah markas ke Solo?
  3. Apa kegiatan klub sepak bola Arseto selama bermarkas di Solo dan apa pengaruhnya terhadap dunia persepakbolaan Indonesia?

Penelitian ini membatasi ruang lingkupnya pada perkembangan dan pengaruh klub sepak bola Arseto terhadap dunia persepakbolaan Indonesia. Ruang yang dikaji dalam penelitian ini adalah Jakarta dan Solo. Berdasarkan waktunya, penelitian ini membatasi kajiannya pada tahun 1979 yang merupakan tahun berdirinya  klub sepak bola Arseto sampai dengan tahun 1998 ketika Klub sepak bola Arseto dibubarkan.

 3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menjelaskan motivasi didirikannya klub sepak bola Arseto. Kedua, menjelaskan  faktor yang mempengaruhi klub sepak bola Arseto berpindah markas ke Solo. Ketiga, menjelaskan kegiatan klub sepak bola Arseto selama bermarkas di Solo dan pengaruhnya terhadap dunia persepakbolaan Indonesia.

Manfaat dari penelitian ini adalah menambah sumber historiografi Indonesia, khususnya mengenai sejarah olahraga sepak bola di Indonesia. Pemilihan klub sepak bola Arseto sebagai bahan kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh keberadaan klub sepak bola Arseto dalam dunia sepak bola di Indonesia yang memiliki sejarah besar dalam persepakbolaan Indonesia.

4. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai sepak bola telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar mengacu pada pembahasan mengenai aspek sosial dari perkemangan sepak bola. Namun, pembahasan mengenai historiografi atau kaitan dengan perjalanan sejarah sepak bola belum banyak dilakukan.

Salah satu penelitian yang berkaitan dengan keberadaan klub sepak bola Arseto di Kota Solo adalah penelitian yang dilakukan oleh Mohamad Aldi Renato[8]. Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui bagaimana konstruksi sosial masyarakat Kota Solo atas Arseto yang sempat membawa nama besar persepakbolaan dan perkembangan sepak bola di Kota Solo. Secara garis besar, jenis penelitian yang digunakan yakni deskriptif yang bersifat kualitatif yang mengkaji mengenai Konstruksi Sosial atas Klub Arseto dalam Perkembangan Sepak Bola di Kota Solo. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang digunakan adalah Data Primer yang diperoleh dari pemain klub sepak bola Arseto, pengurus klub sepak bola Arseto, serta pecinta sepak bola di Kota Solo. Sedangkan Data sekunder diperoleh dari arsip, dokumen, buku. Adapun jenis sampel yakni purposive sampling, analisis data menggunakan 3 komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dari penelitian  menunjukkan bahwa Masyarakat Kota Solo kebanyakan masih mengamini bahwa Kota Solo merupakan Kota yang memiliki nama besar dalam dunia sepak bola. Banyak masyarakat Kota Solo yang mengetahui hal ini, namun tidak sedikit yang jika ditanya perihal Klub Arseto hanya sebatas mengetahui namanya saja atau bahkan tidak tahu sama sekali, terutama masyarakat yang kurang menyukai dunia olahraga. Namun mirisnya, masyarakat yang merupakan pecinta bola pun banyak yang tidak mengetahui soal klub ini.

Meskipun penelitian tersebut menggunakan data primer ang diperoleh dari sumber data primer (pengurus dan pemain klub sepak bola Arseto), namun fokus penelitiannya pada konstruksi sosial. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini bukanlah penelitian sejarah melainkan penelitian yang bersifat sosiologis.

5. Metode Penelitian

Metode penelitian untuk mengumpulakan data dalam penelitian ini mengacu pada metode penelitian sejarah yang ditulis oleh Gilbert J. Garaghan[9]. Penelitian ini terdiri atas empat tahap. Pertama,  tahapan Heuristik. Tahapan ini erisi kegiatan pencarian data dari sumber data. Penelitian ini menggunakan sumber data primer berupa arsip dan pelaku sejarah. Sumber primer berupa arsip adalah surat kabar yang mendokumentasikan hal-hal penting mengenai klub sepak bola Arseto dala bentuk reportase. Surat kabar yang dimaksud adalah Harian Kompas antara tahun 1979 s.d. 1998 khususnya pada rubrik olahraga yang memuat ulasan atau berita mengenai klub sepak bola Arseto. Dalam waktu tertentu, tidak menutup keungkinan berita mengenai klub sepak bola Arseto menjadi topik utama dalam Harian Kompas terlebih didirikan di Jakarta sebagai pusat pemerintahan.

Di samping surat kabar, terdapat pula majalah atau taloid sezaman yang juga menjadi salah satu bahan referensi. Majalah yang dimaksud adalah majalah BOLA. Majalah ini mulai terbit pada tahun 1984 dan terbit mingguan. Majalah BOLA memuat berita sepak bola, artikel-artikel oleh tokoh sepak bola, dan ulasan dari pakar sepak bola. Edisi yang akan diambil sebagai sumber data adalah edisi tahun 1984 s.d. 1998 dan yang mengandung ulasan atau berita mengenai klub sepak bola Arseto.

Penelusuran data juga dilakukan melalui metode sejarah lisan. Menurut Kuntowijoyo, sejarah lisan mengandung arti catatan mengenai  suatu tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa lampau yang dikisahkan oleh saksi mata[10]. Pengumpulan data lewat metode sejarah lisan dilakukan dengan wawancara terhadap pelaku sejarah.  Pengumpulan data dengan metode ini memiliki kekuatan karena pelaku sejarah mengalami langsung atau terlibat langsung pada peristiwa sejarah. Namun, metode ini memiliki kelemahan yang berupa pengungkapan peristiwa yang dilisankan tidak sepenuhnya akurat karena berkaitan dengan daya ingat dan emosi pelaku sejarah.

Pelaku sejarah yang dimaksud adalah mantan pemain sepakbola ang pernah menjadi bagian klub sepak bola Arseto, PenguruskKlub sepak bola Arseto, dan  Walikota Solo yang menjabat antara 1983 s.d. 1988. Melalui pelaku sejarah tersebut, akan diperoleh mengenai riwayat klub sepak bola Arseto secara detil. Pemain yang dijadikan sebagai sumber antara lain, Sri Widadi (sekarang pengelola Stadion Sriwedari), Rochy Putiray (mantan pemain dan penyerang timnas), I Komang Putra (sekarang penjaga gawang PSIS Semarang), Ricky Yacobi, Suripto Mangun, Efendi Azis, Lapril A.S., Eddy Harto, Bambang Nurdiansyah, Inyong Lolombulan, Sudirman, Asmawi Jambak, Nasrul Koto, Kas Hartadi, Benny Van Breukelen, Ahmad Arif, Yunus Muchtar, Bonggo Pribadi, Aris Budi Sulistyo, Miro Baldo Bento,  Joao Bosco Cabral, Eduard Tjong, Widyantoro, Agung Setyabudi, Isman Jasulmey, Danurwindo, Dananjaya, Wiranto Tolang, Soni Rahmansah,  dan Nil Maizar. Tokoh-tokoh tersebut ialah daftar mantan pemain klub sepak bola Arseto ang hadir dalam reuni klub sepak bola Arseto Solo. Sedikitnya 80 pemain dari era kelahiran klub sepak bola Arseto (1978) hingga generasi akhir tim (1998) memastikan hadir dalam reuni yang digelar di Solo, 17-19 November 2017.[11]

. Pengurus yang klub sepak bola Arseto yang menjadi sumber adalah Ari Sigit Harjojudanto (pemilik klub). Mantan Walikota Solo yang menjadi sumber sejarah antara lain Ignatius Soekamto Prawirohadiseroto (1980-1985), H.R. Martono (1985 s.d. 1995), dan Imam Soetopo (1995-2000).

Sumber sekunder dalam penelitian ini antara lain berupa foto kegiatan klub sepak bola Arseto, Piala dan Penghargaan yang diperoleh klub sepak bola Arseto, dan hasil wawancara atau kisah yang beredar di masyarakat setempat. Masyarakat yang dipilih tentunya masyarakat yang sezaman dan bersinggungan langsung dengan topik penelitian..

Kedua, tahapan kritik. Kritik dilakukan untuk mancari keotentikan dan kevalidan data yang akan digunakan dala penelitian ini. Data primer yang telah ditentukan perlu ditelusur mengenai keasahan sumber datanya. Data sekunder yang diperoleh dari sumber data tersebut ditelaah dan dipilih yang sesuai dengan topik penelitian yang kemudian digunakan sebagai pendukung data primer. Data-data yang relevan dan dapat dipertanggungjawakan pada akhirnya akan digunakan sebagai fakta dalam penelitian ini.

Tahap ketiga adalah interpretasi. Pada tahapan ini dilakukan penafsiran terhadap data-data yang telah dikumpulkan dan diseleksi melalui kritik sumber. Tujuannya adalah menyatukan data-data yang diperoleh dari beragai sumber data yang disesuaikan dengan teori-teori yang relevan.

Keempat adalah tahap  Historiografi. Melalui penentuan fakta dan interpretasi dari data-data yang diperoleh, maka Dari Jakarta ke Solo: Sejarah Klub Sepak Bola Arseto 1979 – 1998 direkonstruksi menjadi suatu kisah sejarah yang mendekati dengan apa yang sebenarnya terjadi. Rekonstruksi tersebut dilaksanakan dengan didasarkan pada fakta yang dapat dipertanggungjawakan kebenarannya yang kemudian dilakukan analisis terhadap fakta-fakta tersebut, dan ditulis dalam bentuk hasil penelitian.

6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi dalam enam bab. Bab pertama berupa pendahuluan memuat pertanyaan-pertanyaan permasalahaan yang menjadi dasar pembahasan pada bab-bab berikutnya. Bab II menjelaskan motivasi didirikannya klub sepak bola Arseto. Bagian ini akan menjelaskan alasan dan faktor penebab didirikanna klub sepak bola Arseto. Di bagian ini, juga akan dijelaskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan klub sepak bola Arseto sampai resmi berdiri serta peristiwa-peristiwa penting dalam proses pendirian klub sepak bola Arseto. Selain itu, akan dijelaskan pula perjalanan sejarah klub sepak bola Arseto selama bermarkas di Jakarta. Bab III menjelaskan  faktor yang mempengaruhi klub sepak bola Arseto berpindah markas ke Solo. Setelah berjalan beberapa tahun di Jakarta, klub sepak bola Arseto akhirnya memutuskan untuk berpindah markas ke Solo. Pada bagian ini, akan dielaskan faktor penebab kepindahan klub sepak bola Arseto ke Solo dari berbagai sudut pandang. Bab IV menjelaskan kegiatan klub sepak bola Arseto selama bermarkas di Solo dan pengaruhnya terhadap dunia persepakbolaan Indonesia. Solo adalah kota terakhir yang menjadi markas Klub sepak bola Arseto. Di bagian ini, akan dijelaskan mengenai keberlangsungan klub sepak bola Arseto di Solo, kegiatan, dan prestasi yang diraih. Selain itu, akan dijelaskan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi bubarnya klub sepak bola Arseto pada tahun 1998 dari berbagai sudut pandang. Penelitian ini ditutup dengan kesimpulan pada Bab V yang intinya menjawab permasalahan-perasalahan pada bab pendahuluan.

7. Daftar Pustaka

Andrew, Richard & Suryawan, Ian Nurpatria. 2015. “Studi Literasi Pengebangan Manajemen Klub Sepakbola di Indonesia” MODUS Vol. 27 No. 2 tahun 2015 ISSN 0852-1875 hal. 175. Yogyakarta: FE Universitas Atma Jaya.

Admin. 2011. Flashback: Kadipolo, Cinta Anak-anak Klub sepak bola Arseto Solo. diakses dari http://sambernyawa.com/2011/09/flashback-kadipolo-cinta-anak-anak-klub sepak bola Arseto-solo/ pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 01.03 WIB

Chara, Chrisna Chanis. 2017.  Ini Daftar Legenda Klub sepak bola Arseto Solo yang “Turun Gunung” di Solo. diakses dari: http://www.solopos.com /2017/10/24/ini-daftar-legenda-klub sepak bola Arseto-solo-yang-turun-gunung-di-solo-862960  tanggal 8 Maret 2018 pukul 11.05 WIB

Jaya, Eris Eka.  2018. FIFA Sebut Indonesia sebagai Wakil Pertama Asia di Piala Dunia. Diakses dari https://bola.kompas.com/read/2018/01/29/11200058/fifa-sebut-indonesia-sebagai-wakil-pertama-asia-di-piala-dunia  tanggal 6 Maret 2018 pukul 10.42 WIB

Mudaryanti, Tri Wahyuning. 2015. Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-an – 1990-an, Yogyakarta: Pascasarjana UGM.

PasoepatiNet. 2013. Mengenal Sejarah Stadion Sriwedari dan Manahan Solo. diakses dari http://pasoepati.net/mengenal-sejarah-stadion-sriwedari-dan-manahan-solo/ tanggal 7 Maret 2018 pukul 00.44 WIB

Renato, Mohamad Aldi. 2016. Konstruksi Sosial Masyarakat Kota Solo atas Klub Klub sepak bola Arseto (Studi Deskriptif Kualitatif terkait Konstruksi Sosial atas Klub Klub sepak bola Arseto dalam Perkembangan Sepak Bola di Kota Solo), Surakarta: FISISP UNS.

Santoso, Elok Windiarti. 2014. “Perspektif Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaam Prodi PGPJSD Angkatan 2009 Universitas Negeri Semarang terhadap Prestasi Sepakbola Timnas Indonesia dari Tingkatan Junior sampai Senior”, Active: Journal of Physical, Sport, Health and Recreations Vol. 3 No. 7 tahun 2014. Semarang: UNNES. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ peshr/article/view/3454

Setiawan, Eka. 2016. Daftar 5 Klub Tertua di Indonesia. diakses dari http://bola.liputan6.com/read/2524576/daftar-5-klub-tertua-di-indonesia tanggal 7 maret 2018 pukul 00.24 WIb

[1] dalam Richard Andrew dan Ian Nurpatria Suryawan, 2015, “Studi Literasi Pengebangan Manajemen Klub Sepakbola di Indonesia” MODUS Vol. 27 No. 2 tahun 2015 ISSN 0852-1875 hal. 175, Yogyakarta: FE Univversitas Atma Jaya

[2] Elok Windiarti Santoso, 2014, Perspektif Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaam Prodi PGPJSD Angkatan 2009 Universitas Negeri Semarang terhadap Prestasi Sepakbola Timnas Indonesia dari Tingkatan Junior sampai Senior, Active: Journal of Physical, Sport, Health and Recreations Vol. 3 No. 7 tahun 2014. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/peshr/article/view/3454

[3] Eris Eka Jaya, 2018, FIFA Sebut Indonesia sebagai Wakil Pertama Asia di Piala Dunia, diakses dari https://bola.kompas.com/read/2018/01/29/11200058/fifa-sebut-indonesia-sebagai-wakil-pertama-asia-di-piala-dunia  tanggal 6 Maret 2018 pukul 10.42 WIB

[4] Eka Setiawan, 2016, Daftar 5 Klub Tertua di Indonesia, diakses dari http://bola.liputan6.com/read/2524576/daftar-5-kulb-tertua-di-indonesia tanggal 7 Maret 2018 pukul 00.24 WIB

[5] PasoepatiNet, 2013, Mengenal Sejarah Stadion Sriwedari dan Manahan Solo, diakses dari http://pasoepati.net/mengenal-sejarah-stadion-sriwedari-dan-manahan-solo/ tanggal 7 Maret 2018 pukul 00.44 WIB

[6] SK Menteri No. 006/M/2016 diakses dari http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/public /objek/detailcb/PO2017022200002/Stadion-Sriwedari pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 00.56 WIB

[7] Admin, 2011, Flashback: Kadipolo, Cinta Anak-anak Arseto Solo, diakses dari http://sambernyawa.com/2011/09/flashback-kadipolo-cinta-anak-anak-arseto-solo/ pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 01.03 WIB

[8] Mohamad Aldi Renato, 2016, Konstruksi sosial masyarakat kota solo atas klub arseto (Studi Deskriptif Kualitatif terkait Konstruksi Sosial atas Klub Arseto dalam Perkembangan Sepak Bola di Kota Solo), Surakarta: FISISP UNS.  https://digilib.uns.ac.id/dokumen/ detail/51652/Konstruksi-sosial-masyarakat-kota-solo-atas-klub-arseto-Studi-Deskriptif-Kualitatif-terkait-Konstruksi-Sosial-atas-Klub-Arseto-dalam-Perkembangan-Sepak-Bola-di-Kota-Solo

[9] dalam  Tri Wahyuning Mudaryanti, 2015, Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-an – 1990-an, Yogyakarta: Pascasarjana UGM hal. 37.

[10] dalam  Tri Wahyuning Mudaryanti, 2015, Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-an – 1990-an, Yogyakarta: Pascasarjana UGM hal. 39.

[11]  Chrisna Chanis Chara, 2017, Ini Daftar Legenda Arseto Solo yang “Turun Gunung” di Solo, diakses dari: http://www.solopos.com/2017/10/24/ini-daftar-legenda-arseto-solo-yang-turun-gunung-di-solo-862960  tanggal 8 Maret 2018 pukul 11.05 WIB

DAMPAK PSIKOLOGI MASYARAKAT PASCA PEMBANTAIAN MASSAL DI JEMBATAN KALI PROGO TEMANGGUNG TAHUN 1948-1949 . Oleh Indah Wiharti (SMP Negeri 1 Temanggung)

  1. Latar Belakang

Temanggung sebelum tahun 1948 merupakan daerah yang strategis untuk menyusun strategi perang karena wilayah ini berada diantara gunung Sumbing dan Sindoro. Daerah lereng gunung tersebut digunakan sebagai markas para gerilyawan  dan para pejuang kemerdekaan. Berawal dari peristiwa Agresi militer II, pertempuran berskala besar terjadi pada tanggal 18 Desember 1948 antara Belanda dan pasukan pejuang Republik  Indonesia. Belanda berhasil menguasai ibu kota Negara, Yogyakarta. Pasukan TNI memilih taktik mundur ke daerah-daerah sekitar dan berjuang secara bergerilya dengan mendirikan markas-markas di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Sebelum meninggalkan kota para pejuang membumihanguskan kota terlebih dahulu. Ketika para pejuang memilih mundur maka Belanda dengan lebih leluasa menguasai kota-kota di sekitar Yogyakarta seperti Magelang dan Temanggung.  Pada tanggal 20 Desember 1948 para pejuang, TNI, Polri, Pamong praja dan seluruh masyarakat yang tidak merelakan daerah Temanggung dikuasai kembali oleh Belanda melakukan  pembumihangusan Kota Temanggung. Berawal dari peristiwa tersebut kemudian Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran dan kemudian menangkap  para pejuang yang kemudian dilakukan  pembantaian massal di Kali Progo.

Penangkapan oleh pasukan KNIL kepada Penduduk, baik penduduk sipil maupun tentara dilakukan dengan membabi buta. Mereka yang dicurigai ditangkap, dan dipenjarakan di suatu tempat yang dijadikan markas Belanda, setiap malam dengan ditutup matanya, diikat tangannya  secara bergiliran mereka dieksekusi dan dibantai secara  massal di jembatan Kali Progo. Kejadian ini berlangsung sejak  agresi militer II pada Tahun 1948 hingga tahun 1949.

Peristiwa pembantaian massal di jembatan kali Progo yang berlangsung berbulan-bulan tersebut berpengaruh terhadap keadaan masyarakat, peristiwa itu  meninggalkan trauma mendalam dan adanya rasa takut yang luar biasa sehingga mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat ketika itu. Peristiwa itu menjadi saksi heroik perjuangan rakyat Temanggung dalam mempertahankan kemerdekaan.

2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Permasalahan  yang akan dikaji adalah dampak psikologi masyarakat pasca pembantaian massal di kali Progo Temanggung  Tahun 1948-1949. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah kondisi masyarakat Temanggung hingga awal tahun 1948?
  2. Bagaimanakah kondisi masyarakat Temanggung ketika terjadi   agresi militer II  pada tahun 1948-1949?
  3. Bagaimanakah dampak psikologi  masyarakat Temanggung  pasca pembantaian massal di jembatan kali Progo  pada Tahun 1948 -1949?

3. Ruang Lingkup Masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dampak  psikologi  masyarakat Temanggung  pasca pembantaian  massal  di jembatan kali Progo  pada Tahun 1948 -1949.

Ruang lingkup permasalahan spasial dalam penelitian ini adalah Desa Kranggan, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan karena peristiwa pembantaian massal ketika agresi militer II dilakukan di sebuah jembatan kali Progo yang terletak di Desa Kranggan, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung.

Lingkup temporernya dari tahun 1948 sebagai batas awal penelitian karena pada waktu itu terjadi agresi militer II dan masyarakat Temanggung mengalami  peristiwa pembantaian massal di jembatan kali Progo. Tahun 1949 sebagai batas akhir penelitian karena agresi militer II berakhir pada tahun tersebut.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk:

  1. Mengetahui kondisi masyarakat Temanggung hingga  awal tahun 1948.
  2. Mendiskripsikan kondisi masyarakat Temanggung ketika terjadi   agresi militer II  pada tahun 1948-1949.
  3. Menjelaskan dampak  psikologi  masyarakat Temanggung  pasca pembantaian massal di jembatan kali Progo  pada Tahun 1948 -1949.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

  1. Untuk melengkapi historiografi di Indonesia tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan khususnya tentang dampak  psikologi  pasca pembantaian massal di jembatan kali Progo  yang terjadi ketika agresi militer II pada Tahun 1948-1949.
  2. Digunakan sebagai dasar pertimbangan pemerintah setempat dalam pengambilan kebijakan.

5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahap.

  1. Pada tahap ini, pencarian sumber dilakukan di  beberapa tempat seperti arsip daerah, perpustakaan daerah, dan wawancara. Pada tahap ini  buku yang ditemukan antara lain:
  2. Buku Kesaksian Progo. Kisah perjuangan rakyat Temanggung 1945-1950 yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung.
  3. Jurnal Skripsi yang di tulis oleh Yan Driya Samudera dengan judul Peranan Masyarakat Magelang dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1948-1949. Universitas Negeri Semarang.
  4. Artikel dari Borobudurnews.com yang berjudul Sejarah Kelam pembantaian massal di Jembatan Progo.
  5. Artikel dari kompasiana.com yang berjudul Mengenang Tragedi Kali Progo dan Pahlawan Bambang Sugeng.
  6. Artikel dari Koran Yogya yang berjudul jembatan Kali Progo Temanggung, Saksi Bisu Pembantaian Belanda.

Untuk melengkapi sumber-sumber perlu dilakukan wawancara, wawancara dilakukan  dengan Sholeh dan Bambang Permono merupakan saksi korban pembantaian, serta masyarakat di sekitar lokasi yang hidup pada masa tersebut.

  1. Kritik sejarah digunakan untuk pengujian sejarah pada tahap pertama yaitu tahap heuristik. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain.
  2. Dalam hal ini memberikan makna terhadap fakta. Sumber yang sudah terverifikasi menjadi fakta, kemudian memberi makna terhadap fakta hasil verifikasi dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.
  3. Pada tahap ini yang dilakukan adalah menuliskan hasil yang diperoleh atau menuliskan tentang dampak psikologi masyarakat pasca  pembantaian massal di jembatan  kali Progo yang terjadi ketika agresi militer II  tahun 1948-1949 berdasarkan kaidah-kaidah penulisan sejarah.

Penelitian ini bukan satu-satunya penelitian tentang pembantaian massal di jembatan kali Progo  ada penelitian lain yang dilakukan oleh penulis yang lain. Salah satu penelitian yang serupa pernah dilakukan oleh Yan Driya Samudra  dengan judul Peranan Masyarakat Magelang dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1948-1949 yang membahas tentang bagaimana peran masyarakat Magelang dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1948-1949. Penulis juga membahas dampak-dampak yang ditimbulkan dari peperangan yang terjadi di daerah Magelang secara khusus dari segi politik, sosial, dan ekonomi. Buku Kesaksian Progo, kisah perjuangan rakyat Temanggung 1945-1950 yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga  mengulas perjuangan rakyat Temanggungg dalam mempertahankan kemerdekaan dari tahun 1945 hingga Tahun 1950.

6. Kajian Pustaka

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian yang lain. Penelitian sebelumnya hanya membahas peranan masyarakat dan dampak peperangan yang timbul dari segi politik. Sosial, dan ekonomi. Perbedaan dengan penelitian yang saya lakukan  adalah saya mengulas dengan rinci dampak pasca pembantaian massal  yang dialami masyarakat  Temanggung terutama dampak psikologis yang terjadi sebagai akibat pembantaian massal tersebut. Dampak psikologi ini  berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat baik kegiatan sosial maupun  ekonomi.  Data mengenai dampak psikologis masyarakat  diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan saksi  korban dan masyarakat yang hidup pada tahun itu.

Dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep seperti dampak  psikologi  masyarakat Temanggung  pasca pembantaian  massal di jembatan kali Progo  pada Tahun 1948 -1949.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari 5 bab.

Bab 1. Merupakan bab pendahuluan yang  terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab 2. Berisi penjelasan tentang  mengetahui  kondisi masyarakat Temanggung hingga  awal tahun 1948.

Bab  3.  Mendiskripsikan kondisi masyarakat Temanggung ketika terjadi   agresi militer II  pada tahun 1948-1949.

Bab 4. Menjelaskan  dampak  psikologi  masyarakat Temanggung  pasca pembantaian massal di jembatan kali Progo  pada Tahun 1948 -1949.

Bab 5.  Kesimpulan. Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan hasil penelitian dari pertanyaan penelitian sebagaimana terdapat pada bab 1.

DAFTAR PUSTAKA

Brahmantyo,Kresno.2018. Pengantar ilmu Sejarah Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendidikan Kesejarahan bagi Penulis Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah.

Fauzi, Muhammad Wasith Albar. 2018. Penuisan  Sejarah Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendidikan Kesejarahan bagi Penulis Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah.

Irsyam, Tri Wahyuning. 2018. Sejarah Lokal Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendidikan Kesejarahan bagi Penulis Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah.

Kanumuyoso, Bondan. 2018. Metode Sejarah Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendidikan Kesejarahan bagi Penulis Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah.

Mardikaningsih, Rini. dkk. 2013. Sejarah 1 untuk Kelas X SMA dan MA Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Solo: PT. Wangsa Jatra Lestari.

Pemerintah Kabupaten Temanggung. 2012. Kesaksian Progo Kisah Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Temanggung: Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung.

Samudera, Yan Driya. 2014. Peranan Masyarakat Magelang Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1948-1949. Jurnal Skripsi: Universitas Negeri Semarang.

Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. 2018. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan.

https://www.google.co.id/amp/borobudurnews.com/sejarah-kelam-pembantaian-massal-di-jembatan-progo-yang-ambruk/amp. Diakses Tanggal 7 Maret 2018. Pukul 06.33 WIB.

https://koranyogya.com/jembatan-kali-progo-saksi-bisu-pembantaian-belanda/. Diakses Tanggal 7 Maret 2018. Pukul 06.40 WIB.

https://www.kompasiana.com. Diakses Tanggal 7 Maret 2018. Pukul 06.46 WIB.

 

 

 

 

PERLAWANAN WONG SIKEP TERHADAP KEKUASAAN KOLONIAL BELANDA DI BLORA DARI 1890 SAMPAI 1907. Oleh : Sudadi, SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo, Jawa Tengah

  1. Latar Belakang

Keberadaan Sedulur Sikep sebagai pengikut Ki Samin Surosentiko di Blora dan sekitarnya kembali menarik perhatian masyarakat luas terutama di Jawa Tengah seiring dengan munculnya perlawanan warga Kendeng menolak gagasan pembangunan pabrik semen di daerah pegunungan kapur tersebut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bahkan pernah mengundang perwakilan warga Sedulur Sikep dari empat daerah di Pantura di Kompleks Gubernuran Jateng pada 15 Desember 2016 untuk bermusyawarah mengenai rencana pembangunan pabrik semen itu. Sejumlah tokoh masyarakat Sedulur Sikep membantah ikut menolak keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Para penganut ajaran Samin itu menyebut, pabrik milik PT Semen Indonesia itu tidak mempengaruhi kehidupan mereka.1 Pertemuan Ganjar Pranowo dengan warga Sedulur Sikep di Kudus kembali dilakukan pada  26 Februari 2018.  Pertemuan di rumah Bapak Wargono di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus ini dilakukan untuk berdialog dengan Gunarti, aktivis yang menolak pembangunan pabrik semen di wilayah Pati dan Rembang. 2

Komunitas Sedulur Sikep sebagai pewaris dan penerus ajaran Saminisme masih mempertahankan sikap kritis mereka di tengah perubahan zaman yang cepat. Ciri khas menonjol bagi komunitas ini adalah kesederhanaan, kejujuran, keluguan, ketulusan, keterusterangan, dan penggunaan bahasa ‘sangkak’. Namun segala karakter mulia yang disandang warga Sedulur Sikep ini tidak serta merta membuat orang awam mau memahami karakter luhur Sedulur Sikep sebagai bagian dari orang Jawa. Dalam komunikasi sehari-hari sering terdengar sebutan ‘wong samin’ untuk menyebut para pengikut Saminisme ini. Wong samin dikonotasikan sebagai orang aneh karena penalarannya sering berbeda dari orang awam. Sebagian lagi ada yang menganggap Sedulur Sikep sebagai suku yang terpisah dari orang Jawa pada umumnya. 3

__________________________________________

1 Dikutip dari ‘Warga Sedulur Sikep Bantah Ikut Tolak Semen Rembang’ dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161215152638-20-179874

2     Dikutip dari ‘Ganjar Sambangi Tokoh Sedulur Sikep di Kudus’ dalam https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3887165

3  Lihat artikel berjudul ‘Keberadaan Suku Samin di Blora’ dalam http://life.108jakarta.com/2015/11/mengenal-keberadaan-suku-samin-di-blora

 

Sedulur Sikep dan Wong Samin adalah dua sebutan untuk menyebut entitas yang sama. Samin atau Wong Samin adalah satu kelompok orang Jawa yang menganut suatu pandangan hidup (world view) yang mengandung suatu sistem nilai tertentu. Pandangan hidup itu berupa suatu ajaran yang sementara pihak menyebutkan Saminisme yang mewujudkan suatu gerakan yang dinamakan Gerakan Samin. Gerakan ini antara lain bersifat menentang kekuasaan kolonial Belanda. Nama Samin ini diperkirakan berasal dari nama pencetus ajaran tadi. Tokoh tersebut bernama Samin Surosentiko atau Samin Surontiko.  Para pengikut ajaran ini sering disebut Orang Samin atau masyarakat Samin. Sesungguhnya mereka sendiri tidak pernah menyebut diri dan kelompoknya dengan nama itu. Mereka menamakan diri dengan Wong Sikep. Sementara pendapat mengartikan sikep itu adalah “orang yang bersikap” sedangkan pendapat lain mengartikan “sanggama”. Namun mereka tidak menolak disebut “Orang Samin”. Kemudian timbul semacam rasionalisasi, di mana “samin” diartikan “sami-sami” (sama-sama) dan ada pula yang mengartikan “sami-sami amin”.4

Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur. Ada dua aliran Samin yaitu Samin Lugu dan Samin Sangkak. Samin Lugu adalah Samin “murni” bersikap sabar tidak pernah gentar sedikitpun, tidak pernah mendendam dan membalas dendam, segala sesuatu mereka hadapi dengan tenang. Mereka mempercayai hukum karma setiap orang akan menerima akibat perbuatannya. Samin Lugu juga disebut Jomblo-Ito artinya lahirnya bodoh dan tidak mengerti tetapi batin hatinya suci dan murni laksana emas. Samin Sangkak adalah Samin pemberani, bila mendapat lawan akan menangkis untuk melindungi diri sendiri. Mereka mudah menaruh curiga terhadap orang yang belum dikenal, suka membantah dengan alasan yang kurang masuk akal.5

_________________________________________

4          M Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, hal 733

5      Dra. Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: Jarahnitra, 2004.

 

Di tengah derasnya arus budaya asing, sangat diperlukan upaya untuk menggali kearifan lokal yang menjadi identitas budaya Indonesia. Perjuangan Ki Samin Surosentiko bersama Sedulur Sikep melawan pemerintahan kolonial Belanda pada 1890 hingga 1907 sepatutnya mendapatkan apresiasi dari seluruh anak bangsa yang mencintai kemerdekaan. Upaya untuk menggali nilai-nilai perjuangan Wong Sikep perlu dilakukan lewat penelitian jejak-jejak penyebaran nilai-nilai Saminisme dalam kehidupan modern sekaligus mengungkapkan keberadaan mereka di masa lampau. Bahasa sangkak yang sering dianggap tidak wajar harus dipahami dengan benar. Penalaran sangkak sebenarnya diciptakan Ki Samin Surosentiko untuk mengadakan perlawanan pada penjajah Belanda, bukan untuk mengakali sesama anak bangsa. Namun bahasa sangkak sendiri sudah diambang kepunahan.6 Penelitian sejarah yang berkaitan dengan munculnya ajaran Saminisme, sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep, bahasa dan penalaran sangkak sebagai ekspresi perlawanan senyap (perlawanan tanpa senjata), dan tindakan yang dilakukan Pemerintah Belanda untuk mengatasi perlawanan tersebut perlu dilakukan guna mengungkap kembali nilai-nilai perjuangan Wong Sikep melawan kekuasaan kolonialisme Belanda lewat jalan non-kooperatif. Nilai-nilai perjuangan itu diperlukan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia yang mulai luntur.

 

2. Permasalahan

Untuk melakukan penelitian ini diperlukan perumusan masalah. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlawanan Wong Sikep terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada 1890 hingga 1907. Permasalahan tersebut bisa dirinci menjadi tiga sub-permasalahan yaitu:

  1. Bagaimana kondisi sosial budaya warga Wong Sikep pada 1890 sampai 1907?
  2. Mengapa warga Wong Sikep melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada kurun waktu 1890 sampai 1907?
  3. Bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan warga Wong Sikep kepada pemerintah kolonial Belanda dan reaksi Belanda terhadap perlawanan Wong Sikep tersebut?

_____________________________________________

6      Lihat Agus Setiawan, “Sangkak”, Bahasa Ekspresi Perlawanan Wong Samin dalam http://sikepedia.blogspot.co.id

 

3. Ruang Lingkup Masalah

Banyak aspek yang bisa diungkap dari komunitas Wong Sikep yang sekarang sebagian dari mereka masih bertahan sebagai anggota paguyuban penghayat kepercayaan Sangkan Paraning Dumadi di Blora.7 Saat ini keyakinan Samin sudah diakui sebagai penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.8 Selain aspek keyakinan, ada beberapa hal menarik yang bisa diungkap dari komunitas Wong Sikep antara lain ajaran budi pekerti, bahasa, sistem perkawinan dan kekerabatan, mata pencaharian, sumber ajaran Saminisme. Salah satu aspek sejarah yang bisa diteliti dari komunitas Wong Sikep adalah perlawanan tanpa senjata yang dilakukan warga Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Topik inilah yang dikaji dalam penelitian ini. Kajian ini meliputi deskripsi sosial ekonomi warga Wong Sikep di Blora sebelum munculnya perlawanan terhadap Belanda, sebab-sebab munculnya perlawanan, dan cara melawan Wong Sikep dan penumpasan perlawanan Wong Sikep.

Tokoh panutan Wong Sikep dikenal dengan nama Samin Surosentiko atau Samin Surontiko. Nama aslinya adalah Raden Kohar, seorang yang berdarah bangsawan, anak dari Raden Surowijoyo. Ada pula yang menyatakan bahwa Raden Kohar adalah keturunan dari Pangeran Kusumaningayu. Ia dilahirkan pada tahun 1859 di desa Bapangan, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pada mulanya ajaran ini berpusat di dua tempat yaitu Desa Bapangan Kulon dan Desa Kloppoduwur. Desa Bapangan Kulon berada dalam Kecamatan Mendenrejo, 54 kilo meter di sebelah selatan Kota Blora; dan desa Kloppoduwur merupakan bagian dari Kecamatan Banjarrejo, 10 km di selatan Blora. Kemudian Saminisme menyebar ke daerah-daerah lain, seperti ke daerah Rembang, Bojonegoro, Pati, Ngawi, dan lain-lain, di samping di daerah Kabupaten Blora sendiri.Mempertimbangkan pusat pergerakan Wong Sikep ini berada di Blora dan keberadaan warga penghayat kepercayaan Sangkan Paraning Dumadi, penelitian ini membatasi lokasi pengambilan datanya di wilayah Blora, terutama desa Klopoduwur dan sekitarnya.

___________________________

7       Disimpulkan berdasarkan video wawancara dengan Mbah Lasiyo, keturunan ketiga Mbah Engkrak, penyebar ajaran Saminisme & pengurus paguyuban Sangkan Paraning Dumadi di Blora dalam https://www.youtube.com/watch?v=UZfEY0hJirM

8          Lihat Kepercayaan Suku Samin Resmi Diakui  dalam https://nasional.tempo.co

9          M Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, hal 733

 

Perkembangan Wong Sikep memiliki cakupan waktu  yang sangat luas. Wong Samin sebagai sebutan warga Sedulur Sikep sebenarnya sudah ada sebelum Ki Samin Surosentiko. Perkumpulan Wong Samin ini semula dirintis oleh ayah dari Samin Surosentiko bernama Raden Surowijoyo yang dikenal dengan sebutan Samin Sepuh. Setelah berkembang pada masa kepemimpinan Ki Samin Surosentiko bersama pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Sedulur Sikep, warga Sedulur Sikep ini melakukan pembangkangan kepada pemerintahan Belanda. Setelah Ki Samin Surosentiko atau dikenal dengan sebutan Samin Anom ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto, Padang, perlawanan warga Sedulur Sikep tidak padam. Pengikut-pengikut Ki Samin Surosentiko terus mengobarkan perlawanan melawan Belanda dan melakukan politik isolasi (menutup diri dari pengaruh luar) hingga masa kemerdekaan. Warga Sedulur Sikep ini bahkan baru tahu kalau Indonesia sudah merdeka pada 1970-an.

Dengan cakupan waktu yang panjang tersebut, topik dari penelitian ini perlu dibatasi pada perlawanan Sedulur Sikep yang dipimpin Ki Samin Surosentiko pada 1890 hingga 1907. Perlawanan tersebut mulai berkobar pada 1890 ketika Ki Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran Saminisme di Klopoduwur dan Ploso Kediren (ada yang menyebut Bapangan Kulon), Blora. Perlawanan ini mencapai puncaknya ketika Ki Samin Surosentiko diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil Tanah Jawa bergelar panembahan Suryangalam pada Jumat, 8 November 1907 bertepatan dengan tanggal 2 Syawal 1325. Hanya bertahan 40 hari pada Rabu,18 Desember 1907 Ki Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan diasingkan di Bengkulu dan wafat di Sawahlunto, Padang pada 1914.

4. Tujuan Penelitian

Penilitian ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui keadaan sosial budaya warga Wong Sikep di Blora tahun 1890 hingga 1907. Deskripsi keadaan sosial budaya warga Wong Sikep ini membantu menjelaskan tumbuhnya sikap anti kolonialisme Belanda.
  2. Mengidentifikasi penyebab munculnya perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
  3. Mendeskripsikan bentuk perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan reaksi pemerintah Belanda dalam meredam dan memadamkan perlawanan Wong Sikep hingga ditangkap dan dibuangnya Ki Samin Surosentiko ke Bengkulu sampai wafat di Sawahlunto, Padang.

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi beberapa manfaat sbb:

  1. Hasil Penelitian ini diharapkan bisa melengkapi historiografi di Indonesia tentang sejarah sosial warga Wong Sikep di Blora pada 1890 hingga 1907.
  2. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar bagi pemerintah Kabupaten Blora untuk membuat kebijakan menyangkut keberadaan Wong Sikep. Mengingat perjuangan nyata dari Ki Samin Surosentiko dan hingga sekarang belum diakui sebagai pahlawan nasional, sudah selayaknya Pemerintah Kabupaten Blora berusaha untuk mengusulkan Ki Samin Surosentiko sebagai pahlawan nasional untuk menghargai jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
  3. Hasil penelitian ini bisa memberikan pemahaman yang benar atas bahasa dan penalaran sangkak yang dianggap tidak wajar dan sering digunakan untuk merendahkan derajad warga Sedulur Sikep sebagai ‘wong samin’ yaitu warga negara yang penalarannya tidak wajar.
  4. Hasil penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan citra positif dan pandangan yang benar kepada warga Wong Sikep yang mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi anti kolonialisme bangsa asing.

6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahap : heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.  Pada tahap heuristik peneliti mencari sumber dari arsip daerah dan buku-buku terkait Saminisme dan Wong Sikep yang meliputi 1). Kutipan Serat Jamus Kalimasada dan terjemahannya, 2) Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah karya Dra. Titi Mumfangati, dkk diterbitkan oleh Jarahnitra 2004, 3) Ensklopedia Suku Bangsa di Indonesia; Jilid L-Z, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1995.

Beberapa sumber dari media daring yang terkait dengan penelitian ini juga dikutip antara lain 1). Mitos Samin Surosentiko Tak Bisa Mati karya Edhie Prayitno (2016) dalam regional.liputan6.com, 2). Unik dan Halusnya Rakyat Samin Melawan Penjajah’ tulisan Thomas Koten (2017) dalam www.netralnews.com, 3). Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda karya Petrik Matanasi (2016) dalam https://tirto.id, 4). Belajar Toleransi dari Kampung Samin karya Pernando Anggara (2017) dalam kabar24.bisnis.com, 5). Sejarah perjuangan Samin Surosentiko dalam www.samin.id, 6). Samin Surosentiko (1859-1930): Panembahan Suryangalam dari Ploso Kediren’ dalam www.bloranews.com, 7). Biografi Samin Surosentiko dalam https://jawatimuran.wordpress.com, 8). Ajaran Samin dalam https://id.wikipedia.org, 9). Mbancik Agama Adam dalam https://plus.google.com, 9). “Sangkak”, Bahasa Ekspresi Perlawanan Wong Samin, tulisan Agus Setiawan dalam http://sikepedia.blogspot.co.id.

Di samping itu, penelitian ini juga mempertimbangkan pengambilan data dari film dan video wawancara yaitu 1). Film ‘Samin Surosentiko: Melawan Ketidakadilan’ seri 1, seri 2, & seri 3, 2). Video wawancara dengan Mbah Lasiyo (Keturuan ketiga Mbah Engkrek, penyebar Saminisme dari Klopoduwur, Blora) & Pengurus Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi dalam https://www.youtube.com/watch?v=UZfEY0hJirM.

Untuk melengkapi sumber yang ada dilakukan serangkaian wwawancara  data yang lebih lengkap perlu dilakukan wawancara langsung dengan keturunan Mbah Engkrek, penyebar ajaran Saminisme, yang tinggal di desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora. Wawancara mendalam juga perlu dilakukan pada pengurus paguyuban Sangkan Paraning Dumadi di Blora sebagai pewaris sekaligus pelestari ajaran Saminisme yang merupakan monument hidup Saminisme.

Kritik. Kritik sejarah dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap sumber sejarah pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan melakukan perbandingan sumber yang satu dengan sumber yang lain sehingga bisa ditentukan sumber data yang lebih valid. Setelah dilakukan kritik, data awal yang dianggap valid ditetapkan sebagai fakta-fakta.

Interpretasi. Pada tahap ini Peneliti memberikan makna terhadap fakta-fakta atau sumber data yang telah dikritik.  Data penelitian tersebut dikaitkan satu sama lain untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif atas data tersebut. Hasil interpretasi ini akan menjadi bahan utama penulisan pada penelitian sejarah ini.

Historiografi. Sebagai tahap akhir penelitian, Peneliti menuliskan kisah tentang perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasan pemerintah kolonial Belanda di Blora pada 1890 sampai 1907. Penulisan ini meliputi deskripsi sosial budaya warga Wong Sikep, sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep, cara Wong Sikep melakukan perlawanan dan rekasi perlawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Penulisan dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu sejarah.

7. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang komunitas Wong Sikep atau Wong Samin di Blora. Ada penelitian serupa yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sperti di bawah ini.

Titi Mumfangati et al (2004) dalam “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah” menyatakan masyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Identitas itu menunjukkan karakter dan perlengkapan mereka sesuai dengan ajaran saminisme yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu terutama di kalangan generasi tua. Mereka merasakan kebenaran dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran peninggalan Samin Surontiko sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna. Sikap perbuatan warga Samin selalu diikuti bukti-bukti nyata dan konsekuen sesuai dengan ajaran yang diterima. Simbol identitas masyarakat Samin antara lain terlihat pada pakaian yang dipakai dan juga bahasa. Mereka tidak mengenal tingkataan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah kakek atau nenek.

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu. Di daerah penelitian jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.

Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, kitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masayarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Saminmemiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi tidak urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain. Yang perlu dijaga agar tidak hilang adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal pada masyarakat Samin tersebut misal kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.

Muh Rosyid dalam “Upaya Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah dalam Mempertahankan Jati Diri di Tengah Problematika Kehidupannya” menyebutkan bahwa warga Samin di Kudus mempertahankan jati dirinya dengan beberapa cara, yakni pertama, membuat surat permohonan perlindungan pada pemerintah dan penyelenggara negara atas derita atau problem yang mereka hadapi. Kedua, melanggengkan sekolah rumah (homeschooling) di rumah warga Samin secara bergantian untuk mendapat petuah tentang ajaran Samin yang terwariskan secara lisan oleh tokoh adat(botoh). Ketiga, mengirim anak-anak mereka ke sekolah formal agar melek pengetahuan dan tidak inklusif. Keempat, membaur dengan lingkungan sekitar (non-Samin) hingga dipercaya sebagai Ketua RW. Kelima, mendokumentasikan ajaran Samin secara tertulis agar dapat diakses public sekaligus sebagai langkah menepis stigma dan mengantisipasi penafsiran yang salah. Keenam, bergabung dengan Komunitas Lintas Agama di Pantura Jawa agar mendapat wawasan kehidupan sosial yang luas. Ketujuh, selalu memenuhi undangan dari lembaga swadaya masyarakat dan lembaga formal atau nonformal dalam pelatihan sebagai narasumber dan lainnya untuk memberikan gambaran Samin masa kini. Selain berupaya mempertahankan jati dirinya, warga Samin di Kudus juga menaruh harapan pada pemerintah. Pertama, agama Adam yang dipeluknya diakui sebagai agama. Kedua, anak warga Samin yang mengikuti sekolah formal tidak diwajibkan menerima pelajaran agama “Pancasila”. Ketiga, pergantian status kepala keluarga dalam kartu keluarga dari istri menjadi suami. Selain itu, status lahir anak yang tertulis ‘anak di luar nikah’ dalam akta lahir agar diubah menjadi ‘anak sah’ karena mereka terlahir dari perkawinan sah menurut ajaran Samin. Keberadaan warga Samin diterima oleh tetangganya yang non-Samin karena perilakunya tidak bertentangan dengan norma sosial. Pemerintah Kabupaten Kudus pun tak mendiskriminasikan. Perihal akta nikah dan akta lahir belum dipenuhi pemerintah Kabupaten Kudus karena belum ada petunjuk pelaksanaan yang bersumber dari perundang-undangan untuk permohonan tersebut.

Agama Adam yang dipeluk warga Samin merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 bahwa beragama adalah hak tiap warga negara (jo. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan Pasal 71 yang menyatakan bahwa pemerintah wajib melindunginya). Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 bahwa negara tidak membatasi jumlah agama asalkan agama itu tidak melanggar undang-undang. Akan tetapi, pemerintah dan publik masih kukuh dengan pemahaman bahwa hanya enam agama yang disahkan negara. Konsekuensi dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah agama Adam yang dipeluk warga Samin harus (1) mendapat pelayanan negara dalam pendidikan agama Adam di sekolah formal. Hal ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Sudah saatnya permohonan warga Samin dipenuhi oleh negara dengan membuat produk hokum karena keberadaan warga Samin sebagi bentuk riil bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman akan sirna jika tidak terpenuhi. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang mengakui keragaman warganya hanya akan jadi sebutan saja, namun nihil dalam realita. Artinya, perbedaan atau keragaman tidak diuri-uri (dijaga) dan tak diayomi oleh Negara, tetapi dipaksakan agar sama atau tidak beragam dengan dalih adanya pemberlakuan perundangan, seperti undang-undang perkawinan undang-undang sistem pendidikan nasional, dan sebagainya.

Mukodi & Afid Burhanuddin (2016) dalam “Islam Abangan dan Nasionalisme Komunitas Samin di Blora” menyatakan bahwa Islam (Jawa) abangan, dan nasionalisme di komunitas Samin Surosentiko Blora menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Islam (Jawa) abangan di satu pihak, dipeluk, dan dipedomani sebagai agama formal. Nasionalisme di pihak lainnya, menjadi bagian dari spirit perjuangan anti penindasan yang hingga kini dijaga, dan ditumbuhkembangkan. Titik tolak Islam Abangan dan nasionalisme di kalangan komunitas Samin untuk sementara diasumsikan berasal nilai Islam dan ajaran Samin yang berakomodasi dalam proses budaya yang spesifik bagi komunitas Samin.

Konsistensi pengamalan ajaran Ki Samin Surosentiko yang dilakukan oleh komunitas Samin pada hakikatnya merupakan perekat antara Islam Abangan, dan nasionalisme. Titik temu Islam Abangan, dan nasionalisme adalah praktik keseharian komunitas Samin yang bertumpu pada ajaran Ki Samin Surosentiko, dan reproduksi nilai-nilai budaya lokal yang dibuat mereka berbasis pada si empunya ajaran. Pola reproduksi nilai-nilai budaya lokal yang berbasis pada nilai ajaran Ki Samin Surosentiko tersebut telah memunculkan kekuatan untuk bertahan di antara perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Ismail Yahya dalam “Identitas Kearifan Lokal ‘Islam Samin’ di Era Global” menyatakan bahwa Lebih dari dua abad eksistensi Saminisme masih terjaga turun temurun dari

generasi ke generasi. Walaupun dari segi kuantitas berkurang, namun masyarakat Samin sampai saat ini masih eksis ditengah-tengah kehidupan modern dan global. Identitas dan kearifan lokal mereka masih terpelihara. Identitas merupakan karakteristik yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Begitu pula dengan Saminisme. Identitas mencirikan ke “mereka” an ‘wong Samin’ yang meliputi identitas kesejarahan, pakaian, bahasa, tempat tinggal, perkawinan, dan dalam pertanian. Kearifan lokal merupakan khazanah batiniyah yang terpancarkan dalam level lahiriyah yang dimiliki oleh semua kelompok, begitu pula dengan ‘Wong Samin.’ Kearifan mereka tampak dalam etika kepribadian, etika keselarasan sosial, dan etika terhadap alam.

Sebagai suatu entitas sosial yang dinamis, masyarakat Samin juga tidak bisa terhindar dari perubahan. Faktor ekternal dan internal terlibat dalam proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Samin. Faktor eksternal meliputi diseminasi teknologi dan informasi, serta pendidikan. Faktor internal lahir dari pergulatan batin beberapa orang Samin untuk melakukan refleksi atas ajaran Samin. Beberapa pelaku (aktor) perubahan juga terlibat baik secara struktural dan kultural. Secara struktural yaitu aparat pemerintah Desa, sementara secara kultural dilakukan oleh tokoh agama, dan masyarakat.

Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu meskipun obyek penelitiannya sama yaitu Wong Samin atau Wong Sikep di Blora. Penelitian ini akan fokus pada penelitian sejarah masa awal tumbuh dan berkembangnya Saminisme untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda di Blora yang dipelopori oleh Ki Samin Surosentiko.

8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari 5 bab. Bab I mencakup latar belakang, permasalahan, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II mendiskripsikan keadaan sosial ekonomi komunitas Wong Sikep pada 1890 hingga 1907. Deskripsi ini mencakup keadaan fisik lingkungan desa Klopoduwur dan Bapangan Kulon, tempat berkembangnya Saminisme zaman awal. Di samping itu, deskripsi juga meliputi kehidupan perekonomian, mata pencaharian, dan kehidupan adat istiadat warga Wong Sikep.

Bab III mengungkapkan sebab-sebab munculnya perlawanan Wong Sikep terhadap kekuasan Pemerintahan kolonial Belanda di Blora. Ada beberapa faktor yang memicu perlawanan suatu kelompok atas otoritas pemerintahan yang melingkupinya. Faktor-faktor perlawanan itu bisa berasal dari keyakinan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Bab IV memuat cara-cara non kooperatif yang dilakukan warga Wong Sikep untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda. Perlawanan Wong Sikep dikenal dengan perlawanan senyap (tanpa senjata dan peperangan). Perlawanan tersebut mengundang reaksi pemerintah kolonial untuk menumpas perlawanan Wong Sikep. Bentuk-bentuk reaksi atas perlawanan Wong Sikep ini juga diungkapkan di bab IV ini.

Bab V menyimpulkan keseluruhan penelitian. Bab ini memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan di bagian awal bab I.

9. Bibliografi

Edhie Prayitno Ige. 2016. ‘Mitos Samin Surosentiko Tak Bisa Mati’ dalam regional.liputan6.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Ismail Yahya. 2009. ‘Identitas dan Kearifan Lokal ‘Islam Samin’ di Era Global’ dalam Jurnal Millah Volume VIII, Nomor 2, Februari 2009, halaman 209 – 222

Koten, Thomas. 2017. ‘Unik dan Halusnya Rakyat Samin Melawan Penjajah’ dalam http://www.netralnews.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Matanasi, Petrik. 2016. ‘Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda’ dalam https://tirto.id diakses tanggal 15 Januari 2018

Melalatoa, M Junus. 1995.  Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia; Jilid L-Z; Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Mukodi & Afid Burhanuddin. 2018. ‘Islam Abangan dan Nasionalisme Komunitas Samin di Blora’ dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, halaman 379-400

Munfangati, Titi, et al. 2014. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Janahnitra

Pernando, Anggara. 2017. ‘Belajar Toleransi dari Kampung Samin’ dalam kabar24.bisnis.com diakses tanggal 15 Januari 2018

Rosyid, Moh. 2016. ‘Upaya Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah dalam Mempertahankan Jati Diri di Tengah Problematika Kehidupannya’ dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 halaman 167 sampai 184

—— 2017. ‘Sejarah perjuangan Samin Surosentiko’ dalam http://www.samin.id diakses tanggal 15 Januari 2018

—— 2016. ‘Samin Surosentiko (1859-1930): Panembahan Suryangalam dari Ploso Kediren’ dalam http://www.bloranews.com diakses tanggal 15 Januari 2018

—— 2013. ‘Biografi Samin Surosentiko’ dalam https://jawatimuran.wordpress.com diakses tanggal 15 Januari 2018

—– ‘Ajaran Samin’ dalam https://id.wikipedia.org diakses tanggal 15 Januari 2018

 

PERKUMPULAN MAGELANG VOORUIT DI STADSGEMEENTE MAGELANG 1935-1942

BAB I   PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Pada tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan STADSGEMEENTE ORDONANTIE yang isinya mengubah status gemeente menjadi stadsgemeente dimana nantinya stadsgemeente ini dipimpin oleh walikotapraja (burgemeester), bukan Asisten Residen seperti pada Gemeente. Para burgemeester ini bertanggungjawab kepada pemerintah propinsi yang akan segera di bentuk, bukan pada pemerintah pusat secara langsung, sehingga pada tahun 1926 dikeluarkanlah PROVINCIE-ORDONANTIE yang mengatur pembentukan propinsi di Jawa, yaitu WEST-JAVA (Jawa Barat), MIDDEN-JAVA (Jawa Tengah) dan OOST-JAVA en MADOERA (Jawa Timur dan Madura).

Demikian juga dengan Magelang, sesudah terbentuknya Gemeente Magelang di tahun 1906 dan akibat adanya STADSGEMEENTE ORDONANTIE di tahun 1926 maka statusnya ikut berubah menjadi Staadsgemeente Magelang pada tahun 1929. Setelah dari tahun 1906-1929 dipimpin oleh Asisten residen Kedu, maka pada tahun 1929 secara resmi Staadsgemeente Magelang memiliki walikotapraja sendiri (burgemeester). Burgemeester yang pertama untuk wilayah Stadsgemeente Magelang bernama P.K.W LAKEMAN yang menjabat dari tahun 1929-1934 (kemudian di angkat menjadi Burgemeester Malang dan selanjutnya di Surabaya). Dan jabatan ini diteruskan oleh Ir. R.C.A.F.J. NESSEL VAN LISSA dari 1934 sampai tahun 1942.

Ketika Nessel van Lissa di angkat sebagai Burgemeester Magelang, Nessel membuat sebuah program dalam upaya memajukan Stadsgemeente Magelang. Program ini adalah membentuk sebuah perkumpulan yang bernama “MAGELANG VOORUIT”. Perkumpulan “Magelang Vooruit” didirikan pada 15 Oktober 1935 yang merupakan organisasi non pemerintah yang berisikan orang-orang yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi kemajuan dan kesejahteraan penduduk dan wilayah Stadsgemeente Magelang. Perkumpulan ini memiliki program-program dalam berbagai bidang seperti perdagangan, pendidikan, pertanian, peternakan, keindahan kota, pembangunan, olah raga, kerajinan, dll. Perkumpulan Magelang Vooruit menghindari hal-hal yang bersinggungan dengan agama dan politik.

2. PERUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang tersebut, pokok permasalahan penelitian ini lebih menekankan pada terbentuknya Perkumpulan “Magelang Vooruit” di Stadsgemeente Magelang dikaitkan dengan kebijakan Burgemeester Nessel van Lissa pada periode tahun 1934-1942 .

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka dirumuskan beberapa pokok pertanyaan penelitian diantaranya sebagai berikut :

  1. Mengapa Burgemeester Stadsgemeente Magelang Nessel van Lissa mendirikan Perkumpulan “Magelang Vooruit”?
  2. Bagaimanakah bentuk-bentuk kegiatan dan keanggotaan Perkumpulan “Magelang Vooruit” di wilayah Stadsgemeente Magelang?
  3. Bagaimanakah sikap dan tanggapan masyarakat terhadap dibentuknya perkumpulan “Magelang Vooruit” ini ?

 3. RUANG LINGKUP MASALAH

Ruang lingkup penelitian ini mencakup kurun waktu antara tahun 1935-1942. Pemilihan waktu tersebut dikarenakan pada tahun 1934 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Nessel van Lisa sebagai Burgemeester Magelang (walikota). Fokus penelitian ini pada kajian tentang Perkumpulan “Magelang Vooruit” yang didirikan pada 15 Oktober 1935 dan diketuai oleh Burgemeester Stadsgemeente Magelang Nessel van Lissa terhadap perkembangan pembangunan di wilayah Stadsgemeente Magelang. Penelitian sejarah ini di akhiri pada tahun 1942, tahun dimana koloni Belanda berakhir dan berganti dengan masa pendudukan Jepang.

Dalam rentang tahun 1935-1942, terdapat banyak sekali peristiwa yang terjadi, seperti perubahan kebijakan pemerintahan Belanda di wilayah Hindia Belanda, pasca depresi ekonomi di tahun 1930-an, tumbuhnya industri dan perdagangan, pembangunan sarana dan prasarana kota, pertumbuhan sarana transportasi, dll. Cakupan wilayah atau spasial penelitian ini mencakup wilayah Stadsgemeente Magelang [Kota Magelang saat ini].

 4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini nantinya bertujuan untuk :

  1. Mengidentifikasi latar belakang pendirian Perkumpulan “Magelang Vooruit” di Stadsgemeente Magelang.
  2. Menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan dan keanggotaan dari Perkumpulan “Magelang Vooruit” di Stadsgemeente Magelang di era tahun 1935-1942.
  3. Memahami faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dari kegiatan yang dilakukan oleh Perkumpulan “Magelang Vooruit”.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai :

  1. Melengkapi histiografi Indonesia tentang sejarah lokal Kota Magelang yang berkaitan dengan pendirian Perkumpulan “Magelang Vooruit” di Stadsgemeente Magelang terhadap Kota Magelang itu sendiri.
  2. Menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Kota Magelang saat ini dalam menyusun tahapan pembangunan kota melalui pembelajaran sejarah.

 5. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian sejarah, perlu memakai sebuah metode yang digunakan sebagai acuan. Metode tersebut adalah pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (analisis dan sintesis), kemudian penulisan sumber.

  1. Tahap pengumpulan sumber (heuristik)

Tahap ini digunakan sebagai langkah awal untuk mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan penelitian ini, yaitu mengumpulkan data tertulis yang didapatkan dari berbagai sumber. Beberapa arsip/sumber primer di tahun yang sejaman dengan era penelitian menjadi data valid yang bisa dijadikan sebagai materi penelitian sejarah ini.

Sumber primer tersebut antara lain adalah :

  • Majalah Magelang Vooruit edisi tahun 1935-1936 yang berisikan tentang pendirian, kegiatan dan keanggotaan dari Perkumpulan “Magelang Vooruit”.
  • Majalah Maanblaad Magelang “Middelpuunt van den Tuin van Java”, terbitan dari Stadsgemeente Magelang tahun 1936 yang berisikan tentang propaganda potensi, kondisi dan hal-hal yang menarik tentang Stadsgemeente Magelang.
  • Buku “Wetenswardigheden van Magelang” karya J. Sjouke edisi tahun 1935 yang berisikan tentang kondisi kemajuan dan hal-hal yang menarik tentang Stadsgemeente Magelang.
  1. Tahap kritik

Sumber-sumber yang telah didapatkan kemudian diverifikasi dengan sumber-sumber yang lain untuk mendapatkan sebuah sumber yang dapat dinyatakan keasliannya dan relevan dengan penelitian ini.

  1. Tahap interpretasi

Semua data dan sumber yang sudah didapatkan kemudian dilakukan analisa (penguraian sumber) dan sintesis (pengumpulan sumber). Hal ini sangat penting agar bisa didapatkan data yang lebih akurat.

  1. Tahap wawancara

Tahap ini tidak dilakukan mengingat minimnya narasumber yang bisa di wawancarai.

6. KAJIAN PUSTAKA

Karya-karya yang menulis secara langsung mengenai Perkumpulan “Magelang Vooruit” saat Nessel van Lissa menjabat sebagai Burgemeester Stadsgemeente Magelang di tahun 1934-1942 sangatlah minim. Bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Tetapi beberapa penelitian sejarah yang bersinggungan dengan Stadsgemeente Magelang dan perkumpulan serupa di tempat lain akan dipergunakan sebagai kritik atas penelitian sejarah yang sedang disusun ini.

Penelitian sejarah mengenai kondisi Stadsgemeente Magelang disinggung dalam beberapa karya sebagai berikut :

  1. Buku berjudul “Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kolonial Sampai Kemerdekaandengan karya Purnawan Basundoro, Ombak. 2009 yang menuliskan tentang awal mula terbentuknya gemeente dan stadsgemeente di Hindia Belanda.
  2. Solihin, Anton. 1994. “Bandoeng Vooruit; Lahir dan Peranannya dalam Perkembangan Kepariwisataan di Bandung dan Sekitarnya.” Jatinangor : Universitas Padjajaran Fakultas Sastra Jurusan Ilmu. Di Bandung juga terdapat perkumpulan yang mirip dengan “Magelang Vooruit” yaitu Bandung Vooruit. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 17 Februari 1925 oleh sejumlah orang yang memiliki minat yang sama untuk mempromosikan Bandung, khususnya dalam bidang pariwisata. Promosi dalam hal tidak hanya keluar (ke tempat jauh) juga promosi ke dalam (semua lapisan masyarakat). Pengurus klub Bandoeng Vooruit di antaranya Wali Kota Reitsma dan Wakil Wali Kota Biezeveld.

7. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan penelitian sejarah ini diawali dengan pengantar pada Bab I. Pada bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, metode penelitian serta kajian pustaka.

Pada Bab II membahas mengenai keadaan kondisi Stadsgemeente Magelang, yang memuat tentang keadaan geografisnya, kondisi penduduknya, perkembangan sarana dan prasarana kota dan latar belakang pembentukan Perkumpulan “Magelang Vooruit”.

Pada Bab III akan membahas tentang usaha dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Perkumpulan “Magelang Vooruit” di rentang waktu tahun 1935-1942. Perkumpulan “Magelang Vooruit” yang berdiri pada 15 Oktober 1935 berusaha memajukan kesejahteraan masyarakat di wilayah Stadgemeente Magelang melalui berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, kesehatan, olahraga, kerajinan, pertanian, peternakaan, dll.

Pada Bab IV akan membahas tentang dampak dan reaksi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Perkumpulan “Magelang Vooruit”. Dimana, kehadiran perkumpulan ini tidak serta merta mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya anggapan negatif dari masyarakat terhadap perkumpulan ini.

Pada Bab IV akan membahas tentang kesimpulan yang memuat tentang jawaban dari pokok permasalahan. Jawaban didapatkan dari proses penelitian yang termuat di bab I sampai dengan Bab IV.

8. DAFTAR PUSTAKA

Arsip

Maanblad voor Midden-Java. “Magelang Vooruit”. Edisi 1 Oktober 1935

Maanblad voor Midden-Java. “Magelang Vooruit”. Edisi 2 November 1935

Maanblad voor Midden-Java. “Magelang Vooruit”. Edisi 3 Desember 1935

Maanblad voor Midden-Java. “Magelang Vooruit”. Edisi 7 April 1936

Buku

Basundoro, Purnawan. “Dua Kota Tiga Jaman”. Ombak. 2009

Internet

http://poestahadepok.blogspot.co.id/2017/02/sejarah-bandung-32-bandoeng-vooruit.html#more

Kamis. 8 Maret 2018. Pukul 14.12

http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-71301-Sejarah-LAHIRNYA%20PEMERINTAH%20KOTA%20DI%20INDONESIA.html. Kamis. 8 Maret 2018. Pukul 14.27 WIB

Majalah, Artikel          

Wahyu Utami & Vini Widiniasih. “Hal-hal yang Menarik dari Magelang”. Terjemahan. H. J. Sjouke. Wetenswardigheden van Magelang. 1935

Skripsi

Solihin, Anton. 1994. “Bandoeng Vooruit; Lahir dan Peranannya dalam Perkembangan Kepariwisataan di Bandung dan Sekitarnya.” Skripsi.Jatinangor : Universitas Padjajaran Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

PERAN BAMBU RUNCING PARAKAN DALAM PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAH DI TEMANGGUNG TAHUN 1942-1949. Oleh Tri Sadono, S.Pd.SD., M.Pd

  1. Latar belakang Masalah

Temanggung adalah sebuah kota di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Sebuah kota kecil yang memiliki tanah yang subur dan hawa yang sejuk. Pada tahun 1942, rakyat Temanggung mengalami masa penjajahan Jepang. Sebagai rakyat yang terjajah tentu saja mengalami banyak penderitaan. Penderitaan rakyat menumbuhkan semangat untuk ikut mengangkat senjata dalam melawan penjajah. Para kyai membentuk laskar tersebut dengan tujuan melawan penjajah. Rakyat Parakan Temanggung membentuk Barisan Muslimin Temanggung yang dipelopori oleh para Kyai. Keterbatasan senjata dan keahlian militer tidak melunturkan semangat perjuangan BMT.

Dalam berjuang melawan penjajah melalui revolusi fisik tidak terlepas  dengan senjata. Senjata yang digunakan dapat berupa senjata modern misalnya tank, senapan, pistol dan senjata tradisional yaitu tombak, panah, pedang dan belati. Namun yang dilakukan oleh pejuang BMT di Temanggung khususnya dari Parakan sangatlah unik. Karena senjata yang digunakan adalah bambu runcing. Bambu runcing adalah bambu yang ujungnya diruncingkan.

Dengan bersenjata bambu runcing, para pejuang Temanggung mempertahankan wilayah Temanggung. Selain itu, mereka juga membantu perjuangan di daerah lain. Pasukan bambu runcing mengikuti front peperangan di daerah Magelang dan Ambarawa.

Oleh karena itu dalam penelitian ini akan membahas tentang peran bambu runcing Parakan dalam perjuangan di Temanggung. Keunikan Barisan Muslimin Temanggung yang menggunakan bambu runcing Parakan sebagai senjata ini tentu saja akan memberikan kontribusi dalam mempelajari sejarah lokal Temanggung.

2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Permasalahan yang akan dikaji adalah Peran Bambu Runcing Parakan dalam Perjuangan Melawan Penjajah di Temanggung Tahun 1942-1949. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana kondisi masyarakat Temanggung hingga akhir Tahun 1941?
  2. Mengapa masyarakat menggunakan bambu runcing sebagai senjata?
  3. Bagaimana keterlibatan Barisan Muslimin Temanggung dalam front pertempuran

3. Ruang Lingkup Masalah

Peran bambu runcing Parakan dalam memepertahankan perjuangan kemerdekaan di Temanggung. Lingkup spasial penelitian ini dibatasi pada wilayah Temanggung. Pemilihan lokasi Temanggung berdasarkan karena bambu rucing Parakan berasal dari Parakan yang merupakan salah satu bagian dari Kabupaten Temanggung. Sedangkan lingkup temporal dalam penelitian ini mengambil batasan waktu antara tahun 1942 – 1949. Hal ini dikarenakan pada tahun 1942 digunakan batas awal karena merupakan masa penjajahan Jepang. Sementara pada tahun 1949 merupakan akhir revolusi fisik.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan penelitian ini adalah:
  2. Mengetahui masyarakat Temanggung hingga akhir Tahun 1941
  3. Menjelaskan penggunaan bambu runcing dipilih sebagai senjata oleh Barisan Muslimin Temanggung
  4. Mengidentifikasi keterlibatan Barisan Muslimin Temanggung di front pertempuran

5. Manfaat penelitian ini adalah:

  1. Untuk melengkapi histiografi Indonesia tentang perjuangan bangsa Indonesia khususnya di Temanggung.
  2. Digunakan sebagai dasar pertimbangan pemerintah untuk pembuatan museum yang dapat memberikan pengetahuan tentang peran bambu runcing Parakan dalam perjuangan melawan penjajah di Temanggung tahun 1942-1949.

6. Metode Penelitian

Metode yang dilakuakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri 4 tahap

  1. Heuristik

Pada tahap ini pencarian sumber di berbagai tempat seperti arsip daerah, perpustakaan dan wawancara. Sumber yang ditemukan adalah Foto Kyai SUbchi sebagai tokoh ulama yang mempopulerkan bambu runcing sebagai senjata. Rekaman video yang menjelaskan Tutorial cara pembuatan bambu runcing (takeyari) ala militer jepang ditemukan di https://www.youtube.com/watch?v=r2QKfQYNSLA yang diakses pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 15:53. Rekaman video yang menjelaskan yang menjelaskan Berlatih dengan bambu runcing 1943 ditemukan di https://www.youtube.com/watch?v=kUts4qKYfBA  diakses pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 16:21

Buku yang berjudul Bambu Runcing Karya Muhaiminan Gunardho yang diterbitkan oleh penerbit Kota Kembang di Yogyakarta tahun 1986. Buku ini membahas tentang peristiwa penting di Parakan.

Untuk melengkapi sumber yang ada di lakukan dengan wawancara dengan saksi hidup atau pelaku sejarah yang tergabung dalam Barisan Muslim Temanggung yaitu Bapak Soleh.

  1. Kritik

Kritik sejarah dilakukan untuk melakukan pengujian pada tahap 1. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Dalam tahap ini, informasi yang didapat dari pelaku sejarah akan lebih diprioritaskan. Penulis juga melakukan wawancara dengan masyarakat sekitar supaya informasi yang didapat tidak subyektif.

  1. Interpretasi

Setelah dilakukan kritik adalah melakukan interpretasi. Dalam hal ini saya memberikan makna terhadap fakta hasil verivikasi dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Tahap terakhir dari metode ini adalah historiografi yaitu menuliskan tentang Peran Bambu Runcing Parakan dalam Perjuangan Melawan Penjajah di Temanggung Tahun 1942-1949 berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

7. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu-satunya tentang Peran Bambu Runcing Parakan dalam Perjuangan Melawan Penjajah di Temanggung Tahun 1942-1949. Ada  beberapa penelitian yaitu :

Pertama, Laporan Penelitian yang berjudul “Sejarah Bambu Runcing” karya Ahmad Adaby Darban, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, tahun 1987-1988. Laporan penelitan tersebut membahas mengenai perjuangan Barisan Muslimin Temanggung dalam mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan yang dilakukan adalah perlawanan fisik yang dikoordinir oleh para kyai dengan bersenjatakan bambu runcing. Namun bambu runcing yang di bahas tidak dijelaskan secara detail. Penelitian ini berupaya membahas sejarah dan bambu runcing secara detail.

Kedua, skripsi yang berjudul “Perjuangan Rakyat Parakan Temanggung dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia” karya Nur Laela, Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2014. Skripsi tersebut membahas mengenai perjuangan rakyat Parakan Temanggung yang tergabung dalam Barisan Muslimin Temanggung (BMT) yang bahu membahu bersama Hizbullah, Sabillilah dan TKR dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Senjata yang digunakan adalah bambu runcing yang telah disepuh oleh para kyai. Namun penjelasan tentang pemilihan bambu runcing sebagai senjata ini belum dijelaskan secara detail. Penelitian ini berupaya membahas tentang pertimbangan pemilihan bambu runcing sebagai senjata.

Ketiga, skripsi yang berjudul “Peranan Barisan Muslimin Temanggung Pada Masa Revolusi Fisik Di Temanggung Tahun 1945-1949” karya Dini Luqma Azani, Surakarta:Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi membahas tentang kondisi dan situasi di Temanggung pada masa perang kemerdekaan yang melibatkan seluruh organisasi perjuangan Temanggung. Selain organisasi militer pemerintah, perjuangan di Temanggung juga dimotori oleh para kyai dengan berdirinya Barisan Muslimin Temanggung. Namun di skripsi ini belum ada penjelasan tentang pembentukan Barisan Muslimin Temanggung yang berdiri mandiri padahal sudah ada laskar lain yaitu Hizbullah dan Sabillilah. Penelitian ini berupaya membahas tentang alasan berdirinya Barisan Muslimin Temanggung yang memiliki strutur organisasi sendiri dan tidak tergabung dengan organisasi lain tetapi bahu-membahu bersama Hizbullah, Sabillilah dan TKR melawan penjajah.

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya adalah Penelitian sebelumnya tidak mengulas tentang sejarah bambu runcing yaitu pembuat bambu runcing, pemilihan bambu runcing sebagai senjata dan alasan berdirinya Barisan Muslimin Temanggung yang tidak tergabung dengan laskar yang lain. Sedangkan penelitian saya membahas tentang pejuang bambu runcing yang menggunakan bambu runcing sebagai senjata melawan penjajah 1942-1949.    Dalam penelitian ini menggunakan konsep-konsep Peran Bambu Runcing Parakan dalam Perjuangan Melawan Penjajah di Temanggung Tahun 1942-1949.

8. Sistematika Penulisan

Untuk kepentingan ketertiban dan upaya mengarahkan penelitian, maka dalam proposal penelitian sejarah ini peneliti sertakan proyeksi pembahasan penulisan laporan penelitian yang dapat dilihat sebagai berikut:

  1. BAB I Merupakan Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, kajian pustaka, sistematika penulisan.
  2. BAB II membahas kondisi masyarakat temanggung hingga 1941yang berisi letak geografis, masyarakat dan mata pencaharian.
  3. BAB III membahas penggunaan bambu runcing dipilih sebagai senjata oleh barisan muslimin temanggung yang berisi Pembuat bambu runcing, Peran tokoh masyarakat.
  4. BAB IV membahas keterlibatan pasukan bambu runcing temanggung yang berisi Pasukan Bambu Runcing Barisan Muslim Temanggung (BMT), laskar yang berkerjasama dengan BMT, senjata yang digunakan BMT dan Front pertempuran yang diikuti oleh BMT.
  5. BAB V merupakan Kesimpulan menjawab pertanyaan penelitian dalam BAB I.

DAFTAR PUSTAKA

Albar, Muhamad Wasith dkk. 2018. Penulisan Sejarah. Jakarta: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Azani, Dini Luqma. 2017. Peranan Barisan Muslimin Temanggung Pada Masa Revolusi Fisik Di Temanggung Tahun 1945-1949.          Surakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Brahmantyo, Kresno. 2018. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Darban, Ahamad Adaby. 1988. Sejarah Bambu Runcing. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Irsyam, Tri Wahyuning M. 2018. Sejarah Lokal. Jakarta: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kanumoyoso, Bondan. 2018. Metode Sejarah. Jakarta: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Laela, Nur. 2014. Perjuangan Rakyat Parakan-Temanggung Dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1946). Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Gunardho, Muhaiminan. 1986. Bambu Runcing Parakan. Yogyakarta : Kota Kembang

PASANG SURUT KOPERASI UNIT DESA (KUD) SUBUR KECAMATAN GUNUNG PATI KOTA SEMARANG TAHUN 1980 – 2000 Oleh : Wahyu Istiyanti (BPSDM D Provinsi Jawa Tengah)

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Pengertian koperasi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang yang melandaskan kegiatannya berdasar prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asa kekeluargaan. Koperasi Unit Desa (KUD)  merupakan jenis koperasi yang anggotanya adalah petani yang ada di lingkup pedesaan.

Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD, Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa pengembangan KUD diarahkan agar KUD dapat menjadi pusat layanan kegiatan perekonomian di daerah pedesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan dibina serta dikembangkan secara terpadu melalui program lintas sektoral. Adanya bantuan dari pemerintah tersebut ditujukan agar masyarakat dapat menikmati kemakmuran secara merata dengan tujuan masyarakat yang adil makmur tercapai melalui pembangunan di bidang ekonomi.

KUD merupakan koperasi yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah untuk membantu warga desa. Perkumpulan kelompok tani bergabung di KUD agar kelompok tani tersebut saling membatu dalam bidang pertanian/peternakan, penyaluran sarana produksi pertanian/peternakan.

KUD dibentuk diharapkan dapat membantu para petani dalam hal :

  1. Menyediakan Permodalan
  2. Menyediakan alat-alat pertanian
  3. Menyediakan pupuk, bibit dan keperluan menaman dengan harga murah
  4. Memberikan penyukuhan dan bimbingan tentang bagaiman cara menanam yang baik agar hasil maksimal.

Jumlah KUD di Kota Semarang  ada 4 (empat) KUD Pangan dan 1 (satu) KUD Mina. Kejayaan KUD tahun 1990 – 2000  karena adanya fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah, tetapi setelah semua fasilitas ditiadakan diantaranya usaha penyaluran pupuk bersubsidi, Kredit Pangan, Kredit Usaha Tani, KUD mengalami penurunan baik dari sisi kelembagaan maupun usaha. Saat ini KUD yang ada di Kota Semarang hanya ada 3 (tiga) terdiri dari 2 (dua) KUD Pangan dan 1 (satu) KUD Mina. KUD Subur yang ada di wilayah kecamatan Gunungpati Kota Semarang merupakan salah satu KUD yang pada tahun 1980 mengalami peningkatan usaha tetapi periode tahun 2000 KUD mengalami penurunan karena kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada KUD.

2. RUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini tentang kegiatan KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang pada tahun 1980 – 2000

Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan pertanyaan penelitian :

  1. Mengapa KUD Subur Kecamatan Gunungpati didirikan di Kota Semarang ?
  2. Apa saja kegiatan usaha KUD Subur Kecamatang Gunungpati Kota Semarang ?
  3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan surutnya kegiatan usaha KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang ?

3. RUANG LINGKUP MASALAH

Ruang lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian  ini adalah  Koperasi Unit Desa (KUD) Subur Kecamatan Gunungpati  Kota Semarang. Dalam hal ini pembahasan dilakukan di Semarang. Batas waktu pemilihan tahun 1980 karena pada tahun tersebut KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang berkembang pesat, sampai tahun 2000 karena pada masa itu KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang mengalami penurunan.

4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

TUJUAN PENELITIAN

  1. Mengetahui awal pendirian KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
  2. Mengidentifikasi kegiatan usaha KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
  3. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan surutnya KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang

MANFAAT PENELITIAN

  1. Untuk melengkapi historiografi ekonomi Indonesia tentang sejarah ekonomi khususnya tentang sejarah KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
  2. Digunakan sebagai dasar pertimbangan pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan pembinaan terhadap KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang

5. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan  adalah metode sejarah

Ada  4 tahap sebagai berikut :

  1. Heuristik, pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti arsip daerah, perpustakaan kota Semarang, profil KUD yang ada di Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang. Untuk melengkapi sumber tertulis, dilakukan wawancara dengan Pengurus, para pendiri, anggota KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang juga petugas pembina koperasi dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang untuk wilayah Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
  2. Kritik sejarah digunakan untuk melakukan pegujian pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan yang lain.
  3. Interpretasi dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta, dan menghubungkan fakta yang satu dengan yang lain.
  4. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah historiografi tentang Pasang Surut KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang berdasarkan kaidah-kaidah  ilmu sejarah.

6. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang Koperasi Unit Desa (KUD) namun ada penelitian lain yang dituliskan oleh Khoirotunnisak (2008) tentang Analisis Kinerja Keuangan KUD Banyumanik di Kota Semarang, perbedaannya mengulas tentang keuangan dari KUD. Penulis lain Bunga Rosavinda (2013) tentang Peran KUD terhadap Peningkatan Pendapatan Anggota (Studi Kasus KUD Sri Among Tani Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, disini penulis meneliti bagaimana peran KUD dalam meningkatkan pendapatan anggota.

Penelitian yang saya kaji berbeda dari  penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada penelitian terhadap KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang secara keseluruhan dari awal berdirinya, masa kejayaan dan menurunnya kegiatan  KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.

Dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep tentang :

Pendirian KUD SUBUR

KUD  sebagai wadah pusat pelayanan kegiatan perekonomian pedesaan harus didirikan serta dikembangkan dengan perhitungan dan pertimbangan ekonomis. Untuk memajukan dan mengembangkan KUD sangat dibutuhkan pengelola yang ahli dan mempunyai pengetahuan tentang ilmu ekonomi dan terampil.[1]

Manajemen Profesional berdasarkan Nilai-Nilai dalam koperasi berkaitan dengan proses, fungsi-fungsi dan sistem-sistem koperasi dan memastikan kesinambungan koperasi yang berbasiskan anggota dan berorientasi   pada

komunitas dalam pasar yang kompetitif. Ada beberapa unsur penting terkait satu sama lain[2] :

  1. Bahwa manajemen koperasi selalu terkait dengan proses, fungsi-fungsi dan sistem yang berlaku dan melekat pada koperasi, artinya jati dirinya
  2. Bahwa kekuatan koperasi bersumber pada anggota-anggotanya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi, ekonomi, social dan budaya mereka.
  3. Bahwa Koperasi sebagai produk dari lingkungannya harus berorientasi kepada kepentingan lingkungannya atau komunitasnya
  4. Bahwa koperasi bekerja dalam pasar dan oleh karena itu harus memiliki daya saing cukup besar untuk dapat hidup berkesinambungan.

Kegiatan Usaha KUD Subur

Koperasi untuk dapat mewujudkan tujuan yang dicita-citakan dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang ini berbagai macam usaha telah dikembangkan dan terdapat berjenis-jenis koperasi yang terbagi menjadi 5 golongan, yaitu :

Koperasi Konsumsi

Koperasi konsumsi adalah koperasi yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam lapangan konsumsi. Koperasi konsumsi mempunyai fungsi sebagai penyalur tunggal barang-barang kebutuhan sehari-hari yang memperpendek jarak antara produsen ke konsumen, harga barang sampai ditangan pemakai menjadi lebih murah, ongkos-ongkos penjualan maupun pembelian dapat dihemat.

Koperasi Kredit atau Koperasi Simpan Pinjam

Koperasi kredit atau koperasi simpan pinjam adalah Koperasi yang bergerak dalam lapangan usaha simpan pinjam, pembentukan modal melalui tabungan para anggota secara teratur dan terus-menerus untuk kemudian dipinjamankan kepada para anggota dengan cara mudah, murah, cepat, tepat untuk tujuan produktif dan kesejahteraan. Ada berbagai tujuan diadakannya koperasi kredit yaitu: membantu keperluan anggota dengan syarat ringan, mendidik anggota agar giat menyimpan sehingga membentuk modal sendiri, mendidik anggota untuk hidup hemat, menambah pengetahuan tentang perkoperasian.

Koperasi Produksi

Koperasi produksi adalah koperasi yang bergerak dalam bidang kegiatan ekonomi pembuatan dan penjualan barang-barang baik yang dilakukan oleh koperasi sebagai organisasi maupun orang-orang anggota koperasi. Tujuan dari koperasi produksi untuk membantu para pengusaha kecil yang kekurangan modal untuk dapat berkembang dan menjangkau daerah pemasaran dan koperasi sebagai penyalur.

Koperasi Jasa

Koperasi jasa adalah koperasi yang berusaha dibidang penyediaan jasa tertentu bagi para anggota maupun masyarakat umum  Tujuan dari koperasi jasa untuk memberikan pelayanan yang mudah kepada para anggota atau masyarakat.

Koperasi Serba Usaha

Koperasi serba usaha adalah koperasi yang menyelenggarakan usaha lebih dari satu macam kebutuhan ekonomi atau kepentingan ekonomi para anggotanya. Tujuan diadakannya koperasi serba usaha ini agar anggota dan masayarakat lebih tertarik untuk berpartisipasi untuk lebih meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Koperasi jenis ini adalah KUD, KSU dan Koperasi yang ada dilingkungan karyawan (Widiyanti, 2012)

KUD Subur memiliki  beragam jenis usaha koperasi yang tengah berkembang diharapkan dapat membantu  meningkatkan kesejahteraan anggota dan koperasi dapat lebih memberi manfaat pada masyarakat umum.

Faktor-Faktor Menurunya Usaha KUD Subur

Usaha KUD dalam penyaluran pupuk mengalami penurunan setelah pada tanggal 1 Desember 1998, pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan subsidi pupuk.[3] Kebijakan penting lainnya yang merupakan topik bahasan dalam tulisan ini adalah kebijakan pemerintah melepaskan distribusi pupuk  sesuai mekanisme pasar.  Seperti diketahui bahwa selama ini distribusi pupuk di Indonesia merupakan monopoli PT. Pusri yang tergabung dalam satu holding company di mana Koperasi Unit Desa (KUD) terlibat dalam kegiatan distribusi pada Lini-IV.  Dengan kebijakan distribusi pupuk yang baru tersebut, setiap pelaku pasar bebas melakukan kegiatan impor dan distribusi pupuk hingga sampai ke petani.  Permasalahannya adalah KUD selama ini merupakan lembaga yang terlibat dalam sistem distribusi pada LiniIV akan menghadapi pesaing dari pelaku pasar lainnya dengan kemampuan modal dan manajemen yang relatif lebih baik dan berpengalaman.

Demikian juga usaha-usaha yang lain mengalami penurunan karena kebijakan pemerintah yang menghapus kredit-kredit untuk petani.

7. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian tentang “Pasang Surut  KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang tahun 1980 – 2000 “, Secara sistematis terdiri dari lima bab. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang penelitian ini, maka penulis akan memberikan gambaran singkat tentang sistematika penulisan sebagai berikut.

BAB I. Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode dan pendekatan penelitian serta sistematika pembahasan yang menjabarkan ringkasan dari bab yang akan disajikan dalam penelitian ini.

BAB II. Bab ini berisi tentang awal mula pendirian  KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang Tahun 1980 – 2000. Mengenai Badan Hukum, Anggaran Dasar,  keanggotan dan persyaratan keanggotaan.

BAB III. Bab ini berisi jenis-jenis usaha KUD Subur Kecamatan Gunungpati Kota Semarang dan perkembangan usahanya.

BAB IV. Bab ini berisi tentang penurunan usaha KUD Subur Kecamatan Gunungpati setelah tidak ada fasilitas pemerintah termasuk dalam penyaluran pupuk, KUT maupun kredit-kredit lain.

BAB V. KESIMPULAN. Dalam kesimpulan ini menjawab pertanyaan penelitian mengenai pasang surutnya KUD Subur Kecamatan Gunungpati  Kota Semarang.

DAFTAR PUSTAKA

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Pengembangan dan Pembinaan KUD

Ilham Nyak, 2001, Dampak Kebijakan Tata Niaga Pupuk terhadap peran KUD sebagai distributor pupuk, Jurnal,BPPP Bogor

Khoirotunnisak, 2008, Analisis Kinerja Keuangan KUD Banyumanik Kota Semarang, Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Rosavinda Bunga, 2013, Peran KUD terhadap Peningkatan Pendapatan Anggota, Jurnal Ilmiah, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang.

Soedjono Ibnoe, 2003, Manajemen Profesional Berdasarkan Nilai-Nilai dalam Koperasi, LSP2I.

Tim Prodi Ilmu Sejarah, 2013, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY, Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

Widiyati Ninik, 2012, Manajemen Koperasi, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Yuwanita Sari Fitria, 2005, Profitabilitas Ekuitas dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi, Skripsi, Fakultas Ekonomi Unika Sogiyopranoto, Semarang.

[1] Widiyati Ninik, Manajemen Koperasi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2012, halaman 58

[2] Soedjono Ibnoe, Manajemen Profesional Berdasarkan Nilai-Nilai dalam Koperasi, LSP2I,  2003, halaman14

[3] Nyak ilham, Dampak Kebijakan Tata Niaga Pupuk terhadap peran KUD sebagai distributor pupuk, Jurnal,BPPP Bogor,2001

PENGELOLAAN KEAMANAN PASCA PEMBERONTAKAN G30/S PKI 1965 DI KARESIDENAN SURAKARTA. OLEH : Putri Nur Indah L

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat (kekuasaan) negara yang mempunyai tugas untuk memelihara ketertiban dan keamanan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat suatu wilayah. Kehadiran mereka sangat penting artinya bagi masyarakat sipil guna menjamin kehidupan social yang lebih baik. Namun demikian, keberadaan TNI dan polisi tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan negara, karena sebagain institusi merupakan perpanjangan tangan negara. Semakin baik kwalitas anggota TNI dan polisi  maka semakin maju negara tersebut, tetapi persoalan ini tidak pernah diperhatikan baik di negara Indonesia. Apalagi ketika Indonesia masih berada dalam wilayah yang tidak stabil sebagaimana yang terjadi pada masa revolusi fisik, 1945-1950. Saat itu, TNI dan polisi memiliki banyak tugas penting yang kadang kala tumpang tindih dengan tugas pokoknya. Keberadaan militer pada periode tersebut, selain sebagai pengayom masyarakat, juga merasa dirinya sebagai bagian dari alat perjuangan masyarakat Indonesia, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari revolusi saat itu. Hal ini disampaikan Bambang Purwanto bahwa pada masa transisi, sekitar masa revolusi fisik itu, terjadi keragaman realitas sejarah. Ketika masyarakat berhadapan dengan krisis, perilaku dan tindakan mereka baik sebagai individu maupun kelompok tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang jadikan sebagai identitas umum. Kekerasan dan kriminalitas ternyata menjadi bagian dari realitas sejarah masyarakat di kota, walaupun memori kolektif dan sejarah yang mereka ingat mengingkarinya.[1] Dengan demikian, kebutuhan akan kehadiran TNI dan polisi  bagi sebuah negera, seperti Indonesia merdeka, Hindia Belanda dan Tentara Pendudukan Jepang.

Kenyataan sejarah Indonesia, dan juga Surakarta, menjelaskan bahwa negara sangat membutuhkan kekuatan pertahanan. Pada masa Hindia Belanda, terutama pada periode pergerakan, organisasi militer sangat berperan penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti pada masa pergerakan. Gerakan kaum pergerakan dianggap membahayakan negera Hindia Belanda sehingga dimunculkanlah aturan mengenai rust en orde. Imbasnya adalah banyak tokoh pergerakan yang ditangkap dan dipenjarakan. Selain itu, berbagai macam kejahatan selalu diselesaikan oleh korps ini, walaupun hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda saat Jepang tampil sebagai penguasa baru dan tangan besi pemerintah yang tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan terutama dikaryakan untuk tugas pemulihan ketertiban dan penjagaan kewibawaan pemerintah serta menjalankan tugas jaga dan pengawalan transportasi barang atau manusia (terutama narapidana atau tahanan).[2] Tujuan dibentuknya kepolisian pada zaman Hindia Belanda terkait dengan kepentingan Negara Belanda dan kepentingan orang – orang Belanda di Indonesia, maka tujuan kepolisian yang lebih erat untuk mengusahakan ketaatan penduduk terhadap peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda sehingga roda pemerintahan di tanah jajahan dapat berjalan lancar.

Pada situasi yang demikian itu, di Surakarta harus melihat dirinya sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan sekaligus sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di Surakarta. Sehingga Polisi Surakarta menjadi bagian terpenting dari masa revolusi di Jawa Tengah. Tidak hanya persoalan dengan Belanda, tetapi juga dengan Peristiwa Madiun 1948, wilayah Surakarta mengambil bagian sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Belum selesai dengan tuntas persoalan Madiun, Belanda kemudian melakukan Agresi Militer Belanda II menyebabkan keadaan Kota Surakarta sangat genting dan tidak aman, warga Kota Surakarta semakin resah. Pada tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta diduduki Belanda.[3] Keesokan harinya, pasukan Belanda memasuki Kota Surakarta. Mereka pun harus berhadapan dengan perlawanan para pejuang republik, maka dibentuklah strategi Perang Gerilya yang diperintahkan bagi pasukan TNI di Kota Surakarta. Wilayah Operasi Gerilya ini disebut Sub Wehrkreise 106 Arjuna (SWK 106) dengan pimpinan Mayor Achmadi.[4] Bentuk pemerintahan militer di Daerah Surakarta mulai berlaku sejak tanggal 25 Desember 1948 selang lima hari Belanda menguasai wilayah Surakarta. Golongan bekas Polisi Istimewa, PETA, Heiho dan Kaigun membentuk pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan perjuangan kemerdekaan merebut kekuasaan dari pihak Belanda. Situasi yang demikian membuat polisi republik pun ikut terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung tersebut.

Keadaan dimasa transisi menjadikan Surakarta memiliki persoalan dengan munculnya partai PKI terdahulu. Eksistensi keberadaan partai yang berhaluan komunis menjadi tolok ukur pada dekade 1960-an. Seiring situasi kemanan nasional yang semakin mencekam, maka pemerintah pusat pada tanggal 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit berisi peleburan Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi organisasi ketentaraan resmi yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).[5] Organisasi militer telah membentuk persatuan dan kesatuan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan seterusnya menjadi tugas penting untuk mengamankan situasi negara.

Perkembangan politik di Surakarta pada khususnya menjadi persoalan yang mencakup pemerintahan. Surakarta pada masa pemberontakan PKI 1965 cukup menarik untuk dilihat lebih jauh dalam perspektif sejarah. Berbagai peristiwa besar yang berskala nasional, dan mungkin juga internasional memberi pengaruh pada situasi dan kondisi Kepolisian Surakarta, baik sebagai institusi maupun sebagai alat negara. Oleh karena itu, topik ini perlu dikaji lebih mendalam lagi guna menjelaskan kontribusi penting Polisi Surakarta dalam sejarah Surakarta dan Sejarah Indonesia. Apalagi memang dalam sejarah Indonesia, aspek militer menjadi bagian pentingnya, namun Polisi sepertinya tidak banyak disebutkan dengan baik. Padahal konstribusi mereka cukup menentukan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Terlepas dari adanya pandangan miring yang selalu dialamatkan kepada intitusi yang satu ini, namun kepolisian merupakan bagian penting dari Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1950).

Mencermati latar belakang di atas maka penulis mengambil topik mengenai peran Polisi di Surakarta masa Perang Kemerdekaan tahun 1948-1949 dan pengaruh peran keamanan Kota Surakarta yang ditimbulkan karena adanya serangan Agresi Militer Belanda II saat itu Kepolisian juga membentuk organisasi-organisasi yang melibatkan peran polisi menjadi lebih penting.  Kemudian keterlibatan polisi dan TNI dalam aksi penumpasan PKI Madiun 1948, menjaga dan menertibkan keamanan di Surakarta.

Melalui perkembangan politik yang menjadikan kondisi keamanan tidak stabil khususnya di wilayah karisedenan Surakarta ( Klaten, Boyolali, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo dan Karanganyar). Wilayah yang menjadi basis kekuasaan PKI menjadi bukti bahwa wilayah tersebut mejadi tidak aman. Dari laporan-laporanitu disebutkan pula bahwa gangguan keamanan tersebut bersumber dari reaksi masyakrakat yang semakin resah. Sebagian besar kelompok-kelompok oposisi yang dilaporkan oleh gerakan-gerakan perlawanan yang memiliki hubungan dengan Tan Malaka yang merupakan guru politik bagi M. Khatta, Syahrir, serta BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia )sebagai organisasi yang dianggap radikal di bawah pimpinan Bung Tomo. Pengaruh terhadap gerakan yang terus dilakukan dalam perlawanan agenda-agenda pemerintahan kabinet syahrir yang mengalami jatuh bangun tiga kali.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini menemukan beberapa permasalahan yang layak diteliti. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana kondisi Surakarta era 1960-an ?
  2. Bagaimana peristiwa penumpasan G30/S PKI 1965 di Karesidenan Surakarta?
  3. Bagaimana peran militer dalam strategi perlawanan penumpasan G30/S PKI 1965.

3. Ruang Lingkup Masalah

Penelitian ini mengangkat pada pokok permasalahan yang terjadi di wilayah karesidenan Surakarta tahun 1965 pasca peristiwa pemberontakan G30/S PKI 1965. Karesidenan Surakarta mengalami situasi kurang aman dan mengakibatkan kondisi sosial maupun ekonomi mengalami perubahan. Disisi lain peran militer sebagai organisasi pertahanan negara yang sangat diperlukan. Sehingga di era 1960-an wilayah Karesidenan Surakarta menjadi basis utama pemberontakan G30/S PKI 1965.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan

  1. Sebagai pengembangan dan meningkatkan kemampuan untuk melatih penerapan metode sejarah secara logis, kritis, sistematis, analisis, dan objektif sesuai metodologi dalam proses peristiwa sejarah sehingga dapat mengerti peristiwa yang telah terjadi.
  2. Merekonstruksi kembali sejarah Indonesia.
  3. Untuk mengetahui keadaan Surakarta tahun 1960-an.
  4. Mendeskripsikan peristiwa penumpasan G30/S PKI 1965 di Surakarta.
  5. Menjelaskan peran militer masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju orde baru.

Manfaat Penelitian

  1. Mengetahui dengan jelas sejarah Surakarta era 1960-an.
  2. Mengetahui peristiwa penumpasan di Surakarta 1965 .
  3. Mengetahui peran militer dalam penumpasan PKI 1965 di Surakarta.
  4. Sebagai media untuk mengukur kemampuan penulis untuk merekonstruksi peristiwa sejarah dan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah.

5. Kajian Pustaka

 Kajian pustaka merupakan telaah terhadap literatur-literatur yang melandasi pemikiran dalam penelitian.[6] Telaah ini diperlukan untuk menjawab sementara dari rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Karya tulis ini menggunakan beberapa kajian pustaka yang berkaitan dengan Surakarta dekade 1960-an.

TNI merupakan salah satu ujungtombak pelayanan masyarakat yang melekat sebagai penegak hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kiprah TNI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia sendiri. Pentas sejarah di Indonesia mulai berubah semasa Perang Dunia II. Pada Masa Demokrasi Terpimpin dengan menggandeng beberapa program yang dikancahkan oleh Soekarno tahun 1959. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang merombak struktur pemerintahan di Indonesia pada ummnya. Keberadaan PKI Sepanjang mempengaruhi kehidupan petani, buruh sehingga tujuan menjadikan PKI ini menjadi tidak sejalan dengan tujuan dasar negara Pancasila. Sejarah Kepolisian Indonesia merupakan cikal bakal kepolisian didikan Jepang. Jepang mengubah segala bentuk pemerintahan yang didirikan masa kolonial Belanda menjadi negara yang militeristik. Salah satu kota penting yang menjadi tempat pemerintahan Jepang yaitu Surakarta. Segala bentuk perubahan pemerintahan dirombak oleh Jepang. Perubahan bentuk nama tempat hingga sistem pendidikan yang menekankan kemiliteran.

Tahun 1942, Jepang menggantikan posisi Belanda di Indonesia memberikan perubahan khususnya bidang militer. Jepang dengan jalan pintas mengganti semua sistem organisasi militer salah satunya kepolisian dengan tujuan menyempurnakan kepolisian untuk lebih efektif mengatasi permasalahan setiap wilayah. Pembentukan Tokubetsu Keisatsu Tai menjadi cikal bakal kepolisian menjadi lebih berkembang setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Beberapa bagian besar anggota polisi berasal dari Cianbu (Kepolisian Jepang) para simpatisan laskar rakyat dan anggota semi militer seperti Barisan Polisi Istimewa – Sekolah Menengah Tinggi (BPI–SMT) pimpinan Prakoso, Kompi Brigade Polisi dan beberapa anggota Tentara Pelajar.[7] Pada masa pendudukan Jepang, jenis kepolisian sipil hanya ada satu yang tidak tersusun sebagai organisasi terpusat, peraturan organisasi kepolisian juga ditiadakan.

Status kepolisian masa pendudukan Jepang tidak mendapat peraturan-peraturan landasannya. Secara formil hanya melanjutkan pada tiap korps polisi di Jawa dan Madura yang  dapat diketahui polisi itu ada dibawah pamong praja. Peristiwa heroik yang terjadi di Surakarta masa revolusi dari proses pemindahan kekuasaan di Surakarta dengan melucuti senjata Jepang dan sarana prasarana yang diduduki oleh serdadu Jepang. Hari pertama revolusi nasib para polisi berada dalam situasi yang dilematis dan mengkhawatirkan, polisi dianggap sebagai alat kekuaaan yang menjamin berlangsungnya pemerintahan sebelumnya baik dibawah Belanda maupun pendudukan Jepang.[8] Sistem dualisme pada zaman Hindia Belanda, kenyataan masih ada di masa Jepang, sebab kedudukan Ciang–Butyo tiap keresidenan sebagai Kepala Polisi Keresidenan merangkap sebagai Kepala Kejaksaan Keresidenan.[9]

Sebagai satu unit pasukan yang dididik dan dilatih ala kadarnya, bergaji rendah dan bertindak interdisipliner, kepolisian bersenjata kerap dipandang sebelah mata sehingga hal tersebut menjadi sebab untuk menunjukkan citra kepolisian yang baik.[10] 21 Desember 1948, merupakan hari kelabu bagi penduduk kota Surakarta karena Belanda menyerbu dan menduduki kota-kota penting di Jawa. Sebelumnya Tentara Belanda telah menyerbu Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta dengan pasukan payungnya dibawah Kolonel Van Langen. Usaha sebelum agresi yang telah dibentuk oleh para polisi dengan memusatkan bagian tata usaha, keuangan, perlengkapan dan organisasi yang terbentuk secara utuh.

Pada tiap-tiap Komando Distrik Militer (KDM) dibentuk detasemen, yang mempunyai bagian kriminil, dokumentasi, tatausaha, keuangan dan perlengkapan.[11]

Masa transisi semenjak pemerintahan terpimpin oleh Sukarno menjadi lebih penting disebabkan karena kondisi saat itu pasca pemberontakan G30/S PKI, saat itulah Soekarno memberikan mandat terhapa Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI. Kemudian keluarlah mandat SUPARSEMAR yaitu yang diberikan kepada Soeharto pada 11 Maret 1966, dengan ketiga pengawal Soeharto yaitu Basuki Rahmat, M. Yusuf dan Amir Mahmud.

6. Historiografi yang Relevan

Metode penelitian sejarah, historiografi merupakan tahap terakhir yang harus ditempuh seorang peneliti. Historiografi merupakan proses rekonstruksi imajinatif dari masa lampau. Rekonstruksi ini harus didasarkan pada data yang diperoleh dan sudah menempuh tahap uji validitas.[12] Historiografi yang relevan merupakan suatu penelitian historis yang mendahului penelitian yang akan ditulis.[13]

Tujuan dari pencantuman historiografi yang relevan dalam sebuah penelitian adalah untuk membuat penelitian yang ditulis lebih jelas. Selain itu, historiografi yang relevan juga akan menunjukkan perbedaan antara kajian yang dilakukan sebelumnya dan kajian yang akan ditulis. Karya sejarah yang ditulis diharapkan memiliki sisi orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pertama, karya penelitian Annisa Tri Wahyuni yang berjudul Perkembangan Polisi Pengawas Aliran Masyarakat (PAM) Di Indonesia Tahun 1945-1950. Skripsi ini menjelaskan tentang pembentukan Polisi PAM pada masa revolusi selain itu proses perubahan dari Polisi PAM ke DPKN dalam perpolitikan.  Tugas Polisi PAM juga melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat yang membahayakan negara. Jadi pembedaannya adalah penulis hendak membahas perkembangan kepolisian di masa revolusi.

Kedua, karya penelitian Koidah yang berjudul Sekolah Darurat Di Sendang Agung Pada Masa Agresi Militer Belanda II (1948 – 1949). Penelitian ini berisi cikal bakal didirikannya Sekolah Polisi Negara Republik Indonesia, yang melatarbelakangi berdirinya sekolah darurat polisi. Didirikannya sekolah darurat polisi di Sendang Agung berpengaruh pada Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta yang diprakarsai oleh Mohammad Suryopranoto. Perbedaan  dengan skripsi tersebut terletak pada sistem serangan Agresi Militer Belanda II di Surakarta dan organisasi pembentukan polisi tahun 1945 – 1948.

Ketiga, disertasi Genoveva Ambar Wulan yang berjudul Polisi Dan Politik: Peranan Bagian Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) Jawatan Kepolisian Negara RI pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Penelitian membahas mengenai Jawatan Kepolisian Negara yang terorganisasi ketika masa revolusi. Selain itu di dalamnya juga menguraikan arsip negara yang berkaitan dengan PAM. Peran PAM disebutkan sangat penting guna untuk mempekuat organisasi Kepolisian di Indonesia pada masa revolusi.

Keempat, karya ilmiah Genoveva Ambar Wulan yang berjudul Pengelolaan Keamanan dalam Negeri di Masa Revolusi (Tinjauan terhadap pelaksanaan fungsi Intelijen Kepolisian RI 1945-1949). Karya tersebut membahaspengelolaan fungsi militer di dalam negeri yang menjadi tugas pokok pengamanan negara di masa revolusi. Yang membedakan karya ini adalah keamanan pasca pemberontakan G30/S PKI di Surakarta tahun 1965. Sehingga keamanan yang diperankan oleh TNI maupun Polisi yang tergabung dalam kesatuan keamanan.

7. Metode Penelitian

Sejarah sebagai ilmu memiliki metode untuk mengungkapkan rekonstruksi agar menghasilkan karya sejarah yang ilmiah, kritis dan objektif. Metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.[14] Metode sejarah bertujuan untuk mengkaji dan menguji jejak-jejak sejarah yang tercecer dan menganalisanya secara kritis. Secara pengertian yang lebih luas, metode sejarah sebagai usaha untuk menyatukan data-data yang ada sehingga sebuah kisah sejarah dapat dipertanggungjawabkan.[15]. 

Heuristik

Heuristik merupakan kegiatan untuk mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, materi sejarah atau evidensi sejarah.[16]

Sumber primer adalah kesaksian seseorang dengan mata kepala sendiri, yaitu saksi dengan panca indera, atau alat mekanis.[17] Sumber tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu, tertulis dan tidak tertulis contohnya dokumen-dokumen, dan sumber tidak tertulis misalnya artefak. Pengumpulan sumber tertu   lis, penulis melakukan penelusuran data yang tersimpan antara lain:

ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 10.

ANRI, Arsip Kepolisian  Negara RI 1947-1949, No. 68

ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 1051.

Dephankam, Arsip Penetapan Dewan Pertahanan Negara 1946, No. 49.

Sumber Sekunder merupakan sumber kedua setelah sumber utama. Sumber sekunder adalah kesaksian yang bukan berasal dari pelaku melainkan berupa hasil penelitian sejarah atau jurnal-jurnal. Sumber ini bisa berupa buku, laporan penelitian, karya ilmiah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Penulisan skripsi ini, menggunakan buku, laporan penelitian, dan majalah sejaman.

Abdul Haris Nasution, Pokok – Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia masa yang lalu dan akan datang, Bandung : Angkasa, 1980.

Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, Jakarta: Sapdodadi, 2000.

Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2004.

Pusjarah TNI, Bahaya Laten Komunis Jilid I-V, Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 1998.

Pusjarah TNI, Badan-badan perjuangan, Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 1998.

Sumber sejarah lisan bapak Usman Amirudin, bapak Barjo, bapak Dwijo.

Kritik Sumber (Verifikasi)

Tahap verifikasi disebut juga sebagai tahap kritik sumber. Di sini, sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan akan diuji keabsahannya untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Verifikasi terdiri dari dua tahap, yaitu verifikasi autentisitas dan verifikasi kredibilitas. Verifikasi autentisitas merupakan verifikasi yang menguji keaslihan sumber terkait bukti bahwa sumber yang telah ditemukan benar-benar berasal dari zamannya atau tidak. Misalnya, dari aspek kertas, tinta, atau gaya bahasanya. Verifikasi autentisitas biasanya dikenal dengan kritik ekstern. Sementara itu, verifikasi kredibilitas mencoba untuk menganalisis mengenai keterpercayaan sumber tersebut. Sumber yang telah ditemukan dapat dipercaya atau tidak. verifikasi kresidbilitas disebut juga dengan kritik intern[18].

Kritik ekstern adalah krtitik sumber yang berupaya untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan sumber-sumber melakukan penelitian, sebagai hal terpenting untuk memastikan bahwa peneliti sejarah menggunakan sumber asli. Arsip yang didapatkan berupa dokumen dan artefak.

Kritik intern adalah penilaian terhadap sumber sejarah dari sumber yang terseleksi dan penyeleksiannya harus bisa dipertanggungjawbkan secara ilmiah. Kegiatan ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang satu dengan yang lain. Sumber yang ditemukan setelah diseleksi terhadap isi buku atau arsip yang diperoleh kemudian disaring terhadap opini untuk mencegah kesalahan mengungkap fakta yang terjadi sebenarnya.

Interpretasi

Interpretasi merupakan penafsiran seorang sejarawan atas sumber-sumber yang telah lolos dari tahap verifikasi. Menurut Kuntowijoyo, interpretasi sering dianggap sebagai faktor utama dari subjektivitas sejarah. Tanpa adanya interpretasi, data-data tidak akan dapat berbicara sendiri. Seorang sejarawan harus mampu menafsirkan data yang dimilikinya agar peristiwa sejarah dapat dipahami oleh pembaca.[19] Interpretasi terdiri dari dua macam yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Interpretasi yang akan digunakan ialah jenis interpretasi analisis. Artinya, data-data yang telah terkumpulakan diuraikan menggunakan berbagai pendekatan sehingga dapat diambil satu kesimpulan dari sebuah peristiwa sejarah.

Penulisan (Historiografi)

Penulisan sejarah dikenal juga sebagai historiografi. Pada tahap ini berisi penyusunan data-data yang ada sekaligus penafsiran seorang sejarawan. Tahap penulisan sejarah ini merupakan tahap akhir dari proses perekonstruksian peristiwa sejarah. Hasil analisis yang diperoleh dari  penelitian akan dituliskan secara kronologis. Setelah itu, hasil penelitian diwujudkan dalam bentuk tulisan sejarah. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial lain yang membahas permasalahan kontemporer, penelitian  sejarah fokus terhadap masa lalu. Bentuk penulisannya bersifat diakronis, yaitu menerangkan peristiwa dalam kurun waktu tertentu.[20]

Penelitian ini menggunakan model penulisan sejarah analitis. Penulisan ini berbeda dengan model penulisan sejarah naratif. Pada sejarah naratif, penulis berusaha untuk menguraikan masa lampau dengan cara bercerita. Fakta-fakta dihadirkan dan disusun sedemikian rupa, hanya kejadian-kejadian penting yang telah diseleksi yang dapat dimasukkan dalam tulisan. Pendeknya, sejarah naratif mencoba untuk menyusun cerita tentang masa lampau. Sejarah analitis merupakan sejarah yang berpusat pada pokok permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut yang kemudian akan diuraikan secara sistematis. Permasalahan inilah, maka sejarah analitis memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial dalam kajiannya.[21] Penelitian sejarah harus menjawab mengenai apa, siapa, kapan, bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, menjelaskan secara kritis dan mendalam tentang sebab musabab terjadinya suatu peristiwa. Sehingga historiografi menghasilkan sejarah kritis dan utuh mengenai objek studinya.[22]

7. Pendekatan Penelitian

Metodologi ilmu sejarah adalah masalah pendekatan (approach).[23] Proses rekonstruksi sejarah mengenai suatu peristiwa sejarah sangat tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam penelitian. Pendekatan penelitian untuk memperjelas dan mempertajam kajian masalah. Penulisan sejarah diperlukan teori-teori dari disiplin ilmu yang memiliki penjelasan lebih baik untuk menganalisis sejarah. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menggunakan beberapa pendekatan sebagai analisis dari penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi, militer dan politik.

  1. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi adalah suatu pendekatan yang menyelidiki persoalan umum  dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan dalam kehidupan mayarakat atau berusaha memahami kekuatan-kekuatan dasar yang berada dibelakang tata kelakuan sosial. Pendekatan sosoiologi untuk melihat dan menjelaskan keadaan sosial di Surakarta pada masa peralihan transisi Demokrasi Terpimpin 1960. Terjadinya peristiwa pembantaian  PKI 1965 di Surakarta yang melibatkan pribumi lokal dengan kubu PKI. Menganalisis interaksi sosial terhadap hubungan sosial antara rakyat Surakarta dengan TNI

  1. Pendekatan militer

Pendekatan militer ialah kebijakan pemerintah mengenai persiapan dan strategi militer yang menentukan potensi kekuatan perang negara sangat dipentingkan dengan berpedoman pada teori gerilya milik A.H Nasution dimana masa penumpasan PKI 1965 juga menggunakan strategi yang terstruktur dan memperkuat organisasi dengan membentuk detasemen atau KDM setiap daerah. Pendekatan ini digunakan sebagai peninjau untuk menganalisis kebijakan setiap jawatan dengan dibentuknya Komando Onder Distrik Militer (KODM).  Peneliti dapat melihat aktivitas militer yang terjadi di Surakarta tahun 1960 – 1966.

  1. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi digunakan untuk memecahkan masalah maupun dampak ekonomi yang terjadi dengan prinsip dasar ekonomi. Pendekatan ini untuk melihat keadaan ekonomi yang melatar belakangi sebagai kegiatan para gerilyawan untuk mendapatkan persenjataan amunisi untuk melawan PKI 1965 .

8. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

BAB I.  PENDAHULUAN

Bab pertama menjelaskan mengenai hal mendasar penulisan ini. Terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode yang digunakan, dan terakhir sistematika penulisan.

BAB II.  KEADAAN UMUM DI SURAKARTA ERA 1960-an

Bab ini membahas gambaran umum Kota Surakarta era 1960-an. Gambaran umum permulaan masa peralihan kepemimpinan Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin. Dimulai perkembangan masa revolusi hingga munculnya PKI sebagai ideologi yang beraluan komunis.

BAB III. PEMBANTAIAN KEDUNG KOPI OLEH PKI 1965

Bab ini membahas mengenai kesaksian peristiwa pembantian di Kedung Kopi tahun 1965 di Surakarta. Disisi lain keadaan sosial di Sureakarta pasca pembantaian di Kedung Kopi tahun 1965. Menjelaskan kehidupan masyarakat di sekitar wilayah yang menjadi peristiwa tersebut. Penyusupan partai politik PKI dan PNI pada masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru. Kesaksian-kesaksian peristiwa pahit yang masih menjadi dilema masyarakat Surakarta dan sekitarnya pada umumnya, pasca PKI 1965 di Surakarta.

BAB IV. PERAN MILITER (TNI POLISI) DALAM PENUMPASAN PKI TAHUN 1965 DI SURAKARTA

Bab ini menjelaskan tentang peran militer masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju orde baru di Surakarta. Pokok bahasan yang diteliti lebih pada peranan TNI dan Polisi ketika penumpasan pada peristiwa pembantian yang dilakukan oleh PKI tahun 1965, kemudian startegi militer yang di gunakan hingga perlawanan para anggota PKI yang terjadi di Kota Surakarta. Perlawanan dan pertahanan yang dilakukan oleh PKI di Surakarta, salah satunya peran militer yang ikut andil dalam peristiwa tersebut.

BAB V KESIMPULAN

Bab ini terdiri dari kesimpulan, yang isinya menjelaskan secara singkat mengenai jawaban dari rumusan masalah mengenai peran militer dalam penumpasan peristiwa G30/S PKI 1965 di Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA

ARSIP

ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 10.

ANRI, Arsip Kepolisian  Negara RI 1947-1949, No. 68.

ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 1051.

Dephankam, Arsip Penetapan Dewan Pertahanan Negara 1946, No. 49.

Buku-buku dan Artikel

Abdu Haris Nasution, Pokok-Pokok Gerilya, Bandung: Angkasa, 1980.

______, Sekitar Perang kemrdekaan Indonesia Jilid 2, Bandung: Angkasa, 1977.

______,Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10, Bandung: Angkasa, 1991.

______, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 11, Bandung: Angkasa, 1979.

Abrar Yusra, Ramadhan, Hoegeng Polisi: Idaman dan Kenyataan, Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Amrin Imran, Perebutan-Perebutan Kekuasaan Menegakkan Republik Indonesia 1945, Jakarta: Lembaga sejarah Hankam, 1967.

Atim Supomo, Djumarwan, Masqudori, Brimob Polri Jateng dan DIY dalam lintasan sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Atim Supomo, Djumarwan, Surya Putra, Masqudori, Brimob: Dulu, Kini dan Esok, Yogyakarta: Amazing Book, 2015.

Awaloedin Djamin, “Struktur Kelembagaan dan Profesionalisme Polisi”, dalam Banurusman (Ed), Polisi, Masyarakat dan Negara, Yogyakarta: Bigraf Publisihin, 1995.

Bambang Purwanto, “Historiografi Dan Legitimasi Peran Sosial Politik Militer Di Indonesia”, dalam Edward L. Poelinggomang dan Suriadi Mappangara, Dunia Militer Di Indonesia Keberadaan dan Peran Militer di Sulawesi, Yogyakarta: UGM Press, 2000.

______, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada Saat Transisi: Kotagede, Yogyakarta pada Akhir Masa Kolonial dan Awal Kemerdekaan”,  Makalah disampaikan pada Seminar “Kota-kota di Indonesia dalam Perubahan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya 22-25 Agustus 2004.

Barito Mulyo Ratmono, Polri Diantara Kultur, Konstruksi, dan Hegemoni, Yogyakarta: Tandabaca Press, 2014.

Bellamy, Richard, Teori Sosial Modern: Persepektif Itali, Jakarta: LP3ES, 1990.

Bloembergen, Marieke, Polisi Zaman Hindia Belanda dari Kepedulian dan Ketakutan, Jakarta: Kompas, 2011.

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.

Dani Srihandayani, Pergerakan Fujinkai di Surakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, Surakarta: Skripsi, 2004.

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1839, Yogyakarta: Taman Siswa, 1989.

Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, Surakarta: Sapdodadi, 2000.

Dephankam, 30 Tahun ABRI, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1976.

Diah, Menyingkap Pemberontakan PKI dalam Peristiwa Madiun, Jakarta: Merdeka Press, 1965.

Gottschalk, Louis, “Understanding History: A Primer “Historical Method”, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986.

Hadiman, Lintasan Perjalanan Kepolisian RI Sejak Proklamasi 1950, Jakarta: GPM, 1985.

Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

INKOPAK, 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta: Mabes Polri, 1967.

Iwa Kusuma Sumantri, “Analisa Tentang Peristiwa–Peristiwa disekitar Proklamasi Kemerdekaan Indoensia,” Penelitian Sejarah, 1 Maret 1961.

______, Sedjarah Revolusi Indoensia, Jakarta: Grafiti, 1970.

Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: bina Citra Pustaka, 2004.

Karkono Kamajaya, “Rovolusi di Surakarta, Temu Ilmiah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 28 Agustus 1993.

Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brig. 17, Pertempuran Empat Hari di Solo dan sekitarnya Bunga Rampai Cuplikan-Cuplikan Sejarah, Jakarta: Kerukunan Anggota Detasemen II Brig. 17, 1993.

Kerukunan Keluarga Besar Ex TentaraPelajar/TNI Detasemen II Brigade 17, Persembahan Monument Ex.Tp/ TNI Detasemen II Brigade 17 di Wonosido Solo. Jakarta: Sapdodadi, 1996.

Kurasawa, Aiko, Mobilisasi dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Grasindo, 1993

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

______, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.

Lucas, Anton, E, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah, Yogyakarta: Resist Book, 2004.

Mabes Polri, Ideologi, Mental, Moral (Doktrin ABRI), Jakarta: Dokumentasi Mabes Polri 1951.

______, Polri Mengisi Republik,  Jakarta: PTIK, 2010 .

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosussanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

Memet Tanumidjaja, Perkembangan Kepolisian RI, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1971.

Mohammad Jassin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2010.

Nagazumi, Akira, Pemberontakan Indonesia, Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Obor, 1998.

Nugroho Notosusanto, Sedjarah dan Hankam, Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Lembaga Sejarah Hankam, 1968.

Panitia Seksi Penggali Sejarah Monumen Sejarah Militer DAM VII/DIPONEGORO, Mengenang Palagan Empat Hari di Surakarta tanggal 7 s/d 10 Agustus 1949, (Surakarta: Panitia Peringatan Pertempuran Empat Hari di Surakarta, 1965.

Pono Fadlullah, “Peranan Polisi Jakarta dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI 1945-1950”, Tesis, Jakarta: UI, 1997.

Priyono, “Berbagai Nama Kesatuan-Kesatuan Polisi”, Bhayangkara, Edisi Agustus, 1950.

Pusjarah TNI, Sejarah TNI Jilid I, Jakarta: Markas Besar TNI Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000.

Ridhani, Bunga Pertempuran Serangan Umum 1 Maret 1949, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT.  Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Sidik Kartopati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Yayasan Pembaharuan, 1967.

Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Yogyakarta: Liberty, 1980.

Suparno, Sejarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern, Jakarta: Dephankam Pusat Sejarah ABRI, 1971.

Tim Penyusun Hari Lahir Kabupaten Sukoharjo, Naskah Sejarah Hari Lahirnya Kabupaten Sukoharjo, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Sukoharjo: Sukoharjo, 1986.

Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013.

Usep Ranuwidjaja, Swapraja Sekarang dan Dihari Kemudian, Jakarta: Djambatan, 1955.

Skripsi dan Disertasi

Annisa Tri Wahyuni, “Perkembangan Polisi Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) di Indonesia Tahun 1945-1950”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2011.

Genoveva Ambar Wulan,Polisi dan Politik: Peranan Bagian Pengawasan  Aliran Masyarakat (PAM) Jawatan Kepolisian Negara RI Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949, Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.

Koidah , “Sekolah Darurat di Sendang Agung Pada Masa Agresi Militer Belanda II (1948 – 1949)”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2010.

[1] Bambang Purwanto, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada Saat Transisi: Kotagede, Yogyakarta pada Akhir Masa Kolonial dan Awal Kemerdekaan”, Makalah disampaikan pada seminar Kota-kota di Indonesia dalam Perubahan yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya 22-25 Agustus 2004, hlm. 12.

[2] Bloembergen, Marieke, Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan, (Jakarta: Kompas, 2011), hlm. 65.

[3] Kerukunan Keluarga Besar Ex TentaraPelajar/TNI Detasemen II Brigade 17, Persembahan Monument Ex.Tp/Tni Detasemen II Brigade 17 di Wonosido Solo. (Jakarta: Sapdodadi, 1996), hlm. 1.

[4] Sub Wehrkreise 106 Arjuna dibentuk 21 Desember 1949, merupakan pimpinan Mayor Achmadi sebagai Komandan Pertempuran Sala (KMK). KMK Sala memindahkan markasnya ke luar kota, awalnya bermarkas di Polokarto (daerah Bekonang). Lihat Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, (Jakarta: Sapdodadi, 2000)

[5] Iwa Kusumasumantri, Sedjarah Revolusi Indoensia, (Jakarta: Grafiti, 1970), hlm. 43.

[6] Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013), hlm. 6.

[7] Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, (Wonogiri: bina Citra Pustaka, 2004), hlm. 116.

[8] Ibid., hlm. 115.

[9] Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: PTIK, 1972), hlm. 116.

[10] Bloembergen Marieke, op.cit., hlm. 77.

[11] Memet Tanumidjaja, Perkembangan Kepolisian RI, (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1971), hlm. 10.

[12] Gottschalk, Louis, Understanding History: A Primer Historical Method, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 29.

[13] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 99.

[14] Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. xii .

[15] Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 25.

[16]  Ibid., hlm. 29.

[17] Gottschalk, Louis, op.cit., hlm. 32.

[18] Kuntowijoyo (1994), op.cit., hlm. 100.

[19] Ibid.,

[20]  Kuntowijoyo, op. cit.,hlm. 5-7.

[21] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 9.

[22] Rahmad Hamid, Muhammad Saleh, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 52-53.

[23]  Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 4.

KONFLIK SOSIAL DI TIMOR TIMUR: DAMPAK SOSIAL PENGAMBILAN ANAK-ANAK TIMOR TIMUR 1975-1999. Oleh Muhammad Dito Alifa, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Timor Leste atau Timor Timur merupakan negara yang terletak di Asia Tenggara, menempati bagian timur pulau Timor dan berbatasan langsung dengan provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sejarah pra kolonial di Timor Leste sangat minim sumber (Braithwaite, Charlesworth, & Soares, 2012) dan hanya diketahui dari sumber sekunder seperti dari Portugal atau Tiongkok. Portugal mendarat di Oecusse pada 1511 kemudian memindahkan pusat koloni ke Dili pada 1771. Kehadiran Portugal dan pendirian koloni Timor Portugis pada 1702 pada awalnya tidak begitu banyak mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi penduduk asli Timor Portugis karena Portugal hanya menjadikan Timor sebagai pos perdagangan. Baru pada awal abad ke-20 Portugis mulai menguatkan pengaruhnya di Timor Portugis dengan perdagangan budak, penetapan pajak, tanam paksa serta konstruksi jalan, dan usaha-usaha kolonial lain hingga 1974 (Braithwaite, Charlesworth, & Soares, 2012, hal. 10).

Pasca perang dunia kedua, terjadi Revolusi Anyelir di Portugal pada 1974 yang memunculkan semangat dekolonisasi negara-negara jajahan Portugal, termasuk Timor Portugis. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Timor Portugis sehingga pada 28 November 1975 kemerdekaan secara unilateral dari Portugal dinyatakan. Kemerdekaan ini pun tidak seutuhnya didukung oleh seluruh partai yang ada di Timor Timur sehingga terjadi konflik internal dan—dengan berbagai pertimbangan, terutama keamanan dan identitas—maka Indonesia melancarkan Operasi Seroja sebagai bentuk tindakan integrasi wilayah Timor Timur ke wilayah Indonesia. Pada 1976, Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27.

Meskipun telah menjadi provinsi dan konflik mulai mereda, namun masih banyak gerakan-gerakan perlawanan terutama berupa gerilya dan gerakan klandestin lain seperti propaganda. Secara umum konflik masih tetap bergejolak bahkan hingga 1999 ketika terjadi perubahan rezim di Indonesia yang melunakkan kekuatan militer di Timor Timur dan membuka peluang bagi adanya referendum. Konflik selama 24 tahun tersebut telah memakan korban jiwa sekitar sepertiga penduduk Timor Timur (Hainsworth & McCloskey, 1999, hal. 14) dan ribuan masyarakat lain berpindah tempat, baik di dalam wilayah Timor Timur maupun ke luar wilayah Timor Timur. Korban jiwa, luka, dan pemindahan tidak hanya dari kombatan tetapi juga dari warga sipil, termasuk anak-anak. Anak-anak bukan saja menjadi korban jiwa namun juga mengalami eksploitasi berupa menjadi tenaga penunjang ekonomi pihak yang berkonflik, menjadi tentara anak, mengalami berbagai kekerasan seksual dan pernikahan dini, serta pemindahan paksa dari lingkungan dan pemisahan dari keluarga (International Committee of the Red Cross, 2009, hal. 2).

PBB melalui komisi Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Timur/Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR) menemukan kasus pemindahan/pengambilan paksa anak-anak Timor Timur yang masif selama konflik 1975-1999 berlangsung. Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak yang dipindahkan dan dipisahkan secara paksa dari keluarga dan lingkungan mereka di Timor Timur namun, menurut United Nations High Comissioner for Refugee (UNHCR), dari tahun 1976 hingga 1999 tercatat ada lebih dari 4500 anak-anak yang telah dipindahkan (Chega!, 2013, hal. 2143). Awalnya, anak-anak diambil untuk diperuntukkan sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO) TNI untuk membawa logistik, membawa amunisi, memandu tentara melalui wilayah yang tak dikenal, mengambil air, kayu bakar, dan keperluan lainnya (Menemukan Kembali Indonesia, 2014, hal. 134). Anak-anak ini biasanya diambil dari rumah sakit dan atau panti asuhan dalam keadaan sakit/terluka dan terpisah dari keluarga.

Selain mengambil anak yatim piatu, TNI juga meminta orang tua menandatangani surat keterangan bahwa anak mereka akan diadopsi oleh TNI dengan janji bahwa TNI yang akan menyejahterakan anak-anak mereka ketika dibawa keluar Timor Timur (Indonesia). Alasan “menyejahterakan anak-anak Timor” juga dipakai oleh berbagai lembaga lain seperti Departemen Tenaga Kerja dan yayasan amal seperti Yayasan Supersemar. Aksi pengambilan anak-anak ini dilandasi pada prinsip bahwa untuk memenangkan suatu konflik mencakup bagaimana upaya mengontrol anak-anak, meskipun alasan ini secara tersurat tidak pernah ditemukan dalam strategi TNI maupun kebijakan pemerintah Indonesia (Chega!, 2013, hal. 2141, 2151).

Hingga masa kini, anak-anak tersebut (yang kini tentu saja telah dewasa) banyak yang masih berada di Indonesia dan terpisahkan dari keluarga nya di Timor Leste, bahkan oleh keluarga di Timor Leste dianggap telah meninggal. Berbagai upaya telah berusaha dilakukan baik oleh pemerintah, organisasi internasional (PBB), maupun pihak ketiga (LSM) untuk melaksanakan program reuni/pengembalian anak-anak ini ke keluarga mereka di Timor Leste. Misalnya, pada 2008 Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste merilis “Per Memoriam Ad Spem”, sebuah laporan yang mendukung penyelidikan CAVR “Chega!” 2003. Merespon rekomendasi KKP tahun 2008, pemerintah Timor Leste pada 2009 mengajukan proposal sub-working group bilateral dengan Indonesia untuk membahas masalah anak hilang ini. Pada 2011, Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Implementasi Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste. Upaya lain seperti kegiatan reuni oleh sebuah LSM bernama Asia Justice and Rights (AJAR) dengan kerja sama LSM lain seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan , Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) juga memberi kontribusi bagi upaya pengembalian anak-anak tersebut (Sohuturon, 2016).

Meskipun bukan lagi merupakan wilayah Indonesia, namun peristiwa pengambilan anak-anak ini perlu diteliti dan menjadi tambahan khazanah sejarah nasional karena peristiwa tersebut terjadi ketika Timor Timur berada di bawah otoritas pemerintah Indonesia. Penelitian mengenai fenomena ini juga kemudian perlu dilakukan karena fenomena tersebut kemudian berdampak pada perubahan sosial anak-anak Timor Timur yang dipindahkan ke Indonesia tersebut. Apalagi, mayoritas anak-anak tersebut tidak pernah kembali ke Timor Leste lagi sehingga kemudian mereka tentu akan mengalami kehidupan sosial yang berbeda jika, misalkan, mereka tidak pernah dipindahkan ke Indonesia. Penelitian ini akan berusaha menggali dampak sosial dari fenomena perpindahan tersebut.

2. RUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Masalah yang muncul dan dapat menjadi bahan penelitian ini adalah mengenai pengaruh sosial pemindahan paksa anak-anak Timor Timur masa okupasi Indonesia di Timor Timur tahun 1975 hingga 1999. Permasalahan tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga pertanyaan yang akan dibahas satu per satu;

  1. Bagaimana dinamika konflik yang terjadi selama masa okupasi Indonesia di Timor Timur?
  2. Bagaimana kemunculan fenomena pengambilan anak-anak Timor Timur akibat konflik tersebut?
  3. Bagaimana dampak sosial yang dialami anak-anak yang mengalami pemindahan tersebut?

3. RUANG LINGKUP MASALAH

Ruang lingkup spasial yang dikaji adalah permasalahan ini adalah mengenai fenomena di Timor Timur berupa pengambilan anak-anak secara paksa dari keluarga mereka. Penulis juga memiliki ketertarikan dengan fenomena ini karena secara pribadi penulis masih belum menemukan karya tulisan maupun media lain yang menceritakan fenomena sejarah ini secara detail dan mendalam. Ruang lingkup tersebut dibatasi pada wilayah Timor Timur karena fenomena ini unik terjadi hanya pada masa konflik antara Indonesia dan Timor Timur.

Lingkup temporal dalam penelitian ini berkisar tahun 1975 hingga 1999. Batas awal tahun 1975 digunakan karena pada tahun itu dimulai masa kehadiran Indonesia diawali dengan Operasi Seroja yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan perpindahan penduduk termasuk anak-anak. Sementara itu, tahun 1999 menjadi tahun akhir dari penelitian karena pada tahun tersebut konflik di Timor Timur sudah secara formal berakhir dengan hasil referendum, kehadiran United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) dari PBB, dan pemulangan secara formal angkatan bersenjata Indonesia dari Timor Timur.

4. MANFAAT DAN TUJUAN PENELITIAN

  1. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan konflik antara Indonesia dan Timor Timur yang pernah terjadi sehingga menyebabkan anak-anak Timor Leste diambil dari keluarganya/dipindahkan ke Indonesia serta bagaimana fenomena pengambilan tersebut berdampak pada keadaan sosial anak-anak tersebut.
  2. Penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah masa Timor Timur menjadi wilayah Indonesia. Tulisan ini dapat dikategorikan menjadi tulisan mengenai sejarah politik dan sejarah sosial.

5. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap:

  1. Heuristik, berupa proses pengumpulan data dari berbagai sumber, utamanya sumber tertulis primer (dokumen pemerintah dan laporan organisasi internasional) dan sekunder (buku dan jurnal).
  2. Kritik, berupa proses menyelidik/memvalidasi data dengan kegiatan saling membandingkan data satu sama lain, sehingga didapatkan fakta yang lebih obyektif.
  3. Interpretasi, berupa proses memberi makna dan hubungan antar fakta; bagaimana sebuah fakta ditempatkan secara kronologis dan tematis serta dianalisa bagaimana keterkaitan antara satu fakta dengan fakta lain.
  4. Historiografi, berupa proses penyampaian hasil penelitian berupa karya tulisan sejarah.

6. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini bukan merupakan satu-satunya penelitian mengenai fenomena pengambilan anak-anak Timor Timor selama konflik. Salah satu hasil penelitian mengenai permasalahan ini adalah sebuah tesis doktoral oleh Helene van Klinken yang kemudian ditulis kembali menjadi buku berjudul “Making Them Indonesians: Child Transfers Out of East Timor” dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Anak-Anak Timtim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam”. Namun, penelitian ini akan memberikan perspektif baru mengenai dampak sosial yang ditimbulkan dari fenomena pengambilan anak-anak tersebut, yang sumbernya kemudian merujuk kepada dokumen-dokumen resmi seperti “Chega!” oleh PBB, “Per Memoriam Ad Spem” oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, dokumen hasil penelitian LSM, dan dokumen-dokumen lainnya.

7. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab 1 merupakan pendahuluan yang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian, serta kajian pustaka yang digunakan.

Bab 2 berisi tentang dinamika konflik yang terjadi selama masa okupasi Indonesia di wilayah Timor Timur tahun 1976-1999.

Bab 3 akan memaparkan kemunculan fenomena pengambilan anak-anak Timor Timur sebagai akibat konflik yang terjadi pada masa okupasi tersebut.

Bab 4 akan menjelaskan dampak sosial dari fenomena pengambilan paksa yang dialami oleh anak-anak tersebut.

Bab 5 berupa kesimpulan penelitian dan saran bagi penelitian serupa di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Braithwaite, J., Charlesworth, H., & Soares, A. (2012). Networked Governance of Freedom and Tyranny: Peace in Timor-Leste. ANU Press.

Hainsworth, P., & McCloskey, S. (1999, November). East Timor: Picking up the Pieces. Fortnight, hal. 14-15.

International Committee of the Red Cross. (2009). Children in War. Geneva: ICRC.

Klinken, H. v. (2014). Anak-Anak Timtim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam. (N. Katjasungkana, Penerj.) Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran. (2014). Menemukan Kembali Indonesia. Jakarta: Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran.

Sohuturon, M. (2016, Agustus 3). Pemerintah Didesak Satukan Anak Korban Penculikan Timor Leste. Diambil kembali dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830182315-20-154937/pemerintah-didesak-satukan-anak-korban-penculikan-timor-leste/

The Timor-Leste Commission for Reception, Truth and Reconciliation (CAVR). (2013). Chega! Jakarta: PT Gramedia.

Bencana alam dalam Lintasan Sejarah: Dampak sosial ekonomi Letusan Kawah Sinila, Dieng, Jawa Tengah pada 1979 terhadap masyarakat di Desa Kepucukan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. Oleh Mira Rachmalia

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah

Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk dari cincin api pasifik, dikelilingi berbagai pegunungan aktif yang memiliki berbagai potensi. Mulai dari potensi wisata, potensi sumber daya alam hingga potensi bencana alam yang kerap menimbulkan korban. Salah satu kawasan pegunungan aktif, yang masih menyimpan potensi ini adalah kompleks pegunungan Dieng yang terletak di perbatasan dua Kabupaten yakni Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah.

Sejarah mencatat, beberapa kali terjadi letusan di kawasan Pegunungan Dieng Jawa Tengah. Salah satunya terjadi pada 19 Februari 1979, diawali dari gempa bumi yang mengguncang kawasan pegunungan Dieng sekitar pukul 01.55, 02.40 dan 04.00 WIB. Gempa ini kemudian diikuti letusan dari kawah sinila pada pukul 05.05 WIB. Tanpa diketahui warga sekitar, letusan ini mengeluarkan hembusan gas beracun dari beberapa rekahan tanah, salah satunya dari Kawah Timbang.

Penduduk Desa Kepucukan, salah satu desa di Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah yang merasakan gempa kemudian bersama-sama berangkat mengungsi ke arah kota Kecamatan Batur. Namun, di tengah perjalanan mereka tewas karena menghirup gas beracun yang keluar dari kawah dan rekahan tanah. Total warga yang tewas mencapai 149 Jiwa.

Akibat persitiwa ini, 15.000 warga dari 6 Desa diungsikan selama berbulan-bulan. Wilayah bekas Desa Kepucukan kemudian ditutup dan dinyatakan terlarang bagi hunian bersama satu sekolah dasar. Bencana ini kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah.

Menurut keterangan saksi dan pelaku sejarah, mayoritas korban kurang mengetahui tentang adanya hembusan gas beracun di wilayah pegunungan Dieng. Masyarakat saat itu juga kurang mengetahui cara-cara evakuasi ketika terjadi bencana. Hal ini diduga kuat menjadi penyebab cukup banyaknya korban tewas pada peristiwa ini.

Sebagai negara agraris yang kaya sumber daya alam, mayoritas penduduk Indonesia masih memanfaatkan produk hasil pertanian dan perkebunan sebagai sumber penghidupan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak penduduk Indonesia memilih hidup di kaki gunung aktif yang memiliki lahan yang subur. National Geographic dalam artikelnya volcano mencatat di Pulau Jawa saja tidak kurang dari 120 Juta jiwa hidup dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung api.

Banyaknya pemukiman dan lahan pertanian yang menjadi pusat aktivitas penduduk, menjadi tantangan bagi pemerintah setempat untuk dapat menentukan langkah-langkah dalam rangka penanggulangan bencana yang mungkin dapat terjadi dan membahayakan masyarakat.

2. Rumusan masalah dan pertanyaan penelitian

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini tentang dampak sosial ekonomi Letusan kawah sinila pada 1979 terhadap masyarakat di Desa Kepucukan Kecamatan Batur, Jawa Tengah. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian antara lain:

  1. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Desa Kepucukan Kecamatan Batur sebelum terjadinya bencana kawah sinila pada 1979?
  2. Bantuan apa yang diberikan instansi terkait seiring terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat di Desa Kepucukan Kecamatan Batur setelah bencana terjadi?
  3. Apa kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah dan instansi terkait pasca terjadinya letusan kawah sinila pada 1979?

3. Ruang lingkup masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah meletusnya kawah sinila pada 1979 terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lingkup permasalahan spasial yang dikaji dalam penelitian ini adalah di wilayah yang terdampak letusan Kawah Sileri, sementara lingkup permasalahan spasialnya dibatasi oleh kawasan pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada peta terdampak bencana yang dikeluarkan instansi setempat pasca letusan kawah sinila pada 1979. Lingkup temporalnya berkisah pada bulan Februari hingga Desember 1979. Pembatasan awalnya didasarkan pada waktu terjadinya bencana di bulan Februari dan pembatasan akhirnya pada bulan Desember didasarkan pada waktu ketika masyarakat kembali dari pengungsian.

4. Tujuan dan manfaat penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

  1. Menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Kepucukan Kecamatan Batur sebelum terjadinya bencana.
  2. Mengindentifikasi bentuk-bentuk bantuan yang diberikan pihak terkait seiring dengan perubahan yang terjadi dalam bidang sosial ekonomi masyarakat pasca terjadinya bencana alam kawah sinila pada 1979.
  3. Memahami kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah dan instansi terkait pasca terjadinya bencana alam kawah sinila pada 1979.

Manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang geografi sejarah di Indonesia, khususnya tentang meletusnya kawah sinila yang terletak di Kompleks pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Penelitian ini diharapkan juga sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan di bidang penanggulangan bencana alam bagi masyarakat setempat yang rawan terdampak bencana.

5. Metode penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap. Tahap yang pertama adalah Heuristik. Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti Arsip Nasional, Perpustakaan dan juga melakukan wawancara. Pada tahap ini sumber yang ditemukan melalui internet adalah artikel yang ditulis oleh Ahmad Dwi Setiawan berjudul, “Konflik kepentingan berkaitan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosio-budaya di Tanah Tinggi Dieng, Indonesia” dalam jurnal Malaysia Journal of society and space 8.

Selain itu juga ditemukan sumber tertulis lain berupa beberapa artikel di media online, yaitu:

  1. 2 Kisah ‘Horor’ di Dieng: Tragedi Sinila dan Raibnya Lagetang ditemukan pada situs berita liputan6.com
  2. Kawah Timbang pernah menelan ratusan nyawa ditemukan pada situs berita sindonews.com
  3. Jejak Letusan Dieng dari Masa ke Masa ditemukan pada situs berita tempo.co
  4. Sejarah Tragedi Kelam Dieng Tahun 1979 ditemukan pada situs berita viva.co.id

Untuk melengkapi sumber-sumber yang ada, dilakukan wawancara dengan pelaku dan saksi sejarah yang mengalami kejadian, serta pejabat instansi terkait.

Tahap kedua adalah kritik. Kritik sejarah dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap sumber sejarah yang ditemukan pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Antara lain, sumber tertulis dengan sumber lisan yang didapatkan penulis ketika melakukan penelitian. Sumber tertulis berupa artikel dari jurnal dan media online terkait dengan bencana alam kawah sinila 1979. Sumber lisan berupa wawancara dengan pelaku sejarah dan saksi sejarah yang mengalami bencana alam.

Setelah melakukan kritik, tahap selanjutnya adalah melakukan interpertasi, dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta (sumber yang sudah diverifikasi), dan menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.

Tahap terakhir dari metode penelitian ini adalah historiografi atau menuliskan hasil yang diperoleh. Histografi menuliskan penelitian tentang dampak bencana alam terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

6. Kajian Pustaka

Penlitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang bencana gunung api di wilayah pegunungan dieng. Ada penelitian serupa yang sudah ditulis oleh peneliti atau penulis salah satunya, tesis Fuadhy Fahmi, mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta dengan judul Kajian dampak gas CO2 dan H2S hasil letusan kawah timbang terhadap permukiman Desa Sumberejo, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian sebelumnya. Pembedaannya terletak pada sudut pandang metode penelitian yang saya gunakan. Dalam hal ini, meletusnya kawah sinila yang mengakibatkan keluarnya hembusan gas beracun yang tergolong peristiwa bencana alam saya nilai sebagai salah satu peristiwa sejarah karena memberikan efek kepada umat manusia. Metode penelitian sebelumnya juga digunakan pendekatan sains, yakni dengan melakukan pengukuran gas berbeda dengan penelitian penulis yang menggunakan metode sejarah.

Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep. Konsep pertama adalah Bencana Alam. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana alam sebagai  bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Perubahan sosial ekonomi yang akan saya maksud dalam penelitian ini meliputi perubahan kehidupan sehari-hari masyarakat, mata pencaharian masyarakat, tempat tinggal masyarakat dan perubahan lain yang terjadi berkaitan dengan dampak bencana.

7. Sistematika penulisan

Sistematikan penulisan penelitian ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang isinya, Latar Belakang penelitian, permasalahan, lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.

Bab 2 membahas tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Batur sebelum terjadinya bencana alam.

Bab 3 akan membahas tentang bantuan-bantuan yang diterima masyarakat seiring dengan perubahan yang terjadi akibat bencana alam kawah sinila 1979.

Bab 4 akan membahas tentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan instansi terkait sebagai salah satu akibat dari terjadinya bencana.

Bab terakhir adalah bab 5 yang merupakan kesimpulan. Kesimpulan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam bab satu.

8. Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal:

Bencana Mengancam Indonesia. (2011). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wood, Gillen D’Arcy (2015). Tambora: the eruption that changed the world. (4th ed.). New Jersey: Princeton University Press.

Ahmad Dwi Setyawan. (2012). Konflik kepentingan berkaitan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosio-budaya di Tanah Tinggi Dieng, Indonesia. Geografia onlineTM Malaysia Journal of Society and Space 8, issue 4, 88-104.

 

Media Online

  1. 2 Kisah ‘Horor’ di Dieng: Tragedi Sinila dan Raibnya Lagetang diakses dari: http://global.liputan6.com/read/3009275/2-kisah-horor-di-dieng-tragedi-sinila-dan-raibnya-legetang
  2. Kawah Timbang pernah menelan ratusan nyawa diakses dari: https://daerah.sindonews.com/read/733717/29/kawah-timbang-pernah-menelan-ratusan-nyawa-1364898529
  3. Jejak Letusan Dieng dari Masa ke Masa diakses dari: https://nasional.tempo.co/read/337585/jejak-letusan-dieng-dari-masa-ke-masa
  4. Sejarah Tragedi Kelam Dieng Tahun 1979 diakses dari: https://www.viva.co.id/blog/sejarah/522487-sejarah-tragedi-kelam-dieng-tahun-1979

SUKU USING DI BANYUWANGI TAHUN 1997 – 1999. Oleh: Miftakhuddin

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suku Using di Banyuwangi adalah penghuni asli Banyuwangi yang merupakan sisa-sisa dari masyarakat Kerajaan Blambangan. Ketika Kerajaan Blambangan dijajah VOC, karena tertekan dan banyak dirugikan, rakyat Blambangan melakukan perlawanan kepada VOC dengan menggelar Perang Puputan Bayu (1771-1772) yang dipimpin oleh Pangeran Rempeg. Bagi masyarakat Blambangan, perang ini adalah perang habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Oleh karena kalah perang, masyarakat Blambangan kemudian terpecah. Ada yang melarikan diri ke Bali, menyerah menjadi budak jajahan, dan ada juga yang menetap sebagai penduduk asli dengan bertempat di dataran tinggi Ijen dan mempertahankan komunitasnya. Mereka yang tidak menyerah maupun melarikan diri inilah yang kemudian disebut masyarakat Using. Mereka adalah pewaris sah atas budaya dan tradisi Blambangan.
Akibat adanya konflik dengan VOC, membuat mereka menjadi trauma terhadap para pendatang dan pemerintah. Masyarakat Using menganggap pendatang adalah orang yang akan merebut hak mereka, sedangkan pemerintah adalah penjajah atau perpanjangan tangan dari Belanda. Setiap ajakan kerjasama yang diajukan kepada masyarakat suku Using, selalu ditolak dengan mengatakan “sing” atau “hing”, yang artinya “tidak”. Terminologi itu yang kemudian membangun identitas masyarakat ini sehingga disebut masyarakat Using, yang maknanya merujuk pada penarikan diri dari masyarakat pendatang dan penolakan-penolakan terhadap segala bentuk kerjasama. Praktis, sebutan ini menggambarkan rasa frustasi Belanda karena tidak pernah berhasil membujuk masyarakat Using untuk bekerja sama. Akhirnya, Belanda terpaksa mendatangkan orang-orang dari Jawa bagian tengah (etnik Mataraman) dan Madura untuk menjalankan pembangunan dan roda pemerintahan (feodalisme) di Banyuwangi. Sehingga bupati, wedana, camat, dan lurah selalu diduduki oleh orang Jawa, bukan Using.
Suku Using lebih memilih tinggal di daerah gunung, membentuk komunitas-komunitas kecil, dan berkomunikasi dengan sandi-sandi khas orang Using. Mereka hidup dengan cara lama dan mempertahankan tradisi Blambangan seperti folklore lisan, folklore setengah lisan, dan
folklore bukan lisan1. Atas kondisi tempat tinggalnya di dataran tinggi dan penolakan yang konsisten terhadap ajakan kerjasama dengan Belanda, hidup mereka didominasi oleh sektor pertanian. Sedangkan sentra-sentra ekonomi dan perkebunan tebu dan karet lebih didominasi oleh orang-orang pendatang (Jawa/Mataraman). Adapun di sektor kelautan lebih didominasi oleh orang Madura.
Stagnansi berupa penolakan terhadap sistem pemerintahan seperti itu tetap bertahan sampai memasuki Orde Baru. Tidak ada orang Using yang mau bekerjasama dengan pemerintah, apalagi menjadi pegawai negeri. Mereka lebih memilih untuk mengangkat tokoh adat sebagai pemimpin tradisional daripada menyerahkan hidup mereka untuk diatur oleh pemerintah. Mereka juga tetap menjalankan tradisinya sebagaimana leluhur melakukannya. Namun demikian, ada peristiwa menarik sekaligus mengerikan yang menimpa Banyuwangi (termasuk suku Using) pada tauhn 1998, yakni tragedi pembunuhan orang-orang „tertuduh‟ sebagai dukun santet. Berbeda dengan kerusuhan di Jakarta, Medan dan Surakarta yang mengobrak-abrik etnis Tionghoa, konflik yang ada di Banyuwangi lebih menyasar tokoh tradisional yang diduga mempuyai kekuatan supranatural (dukun), bahkan kadang merembet ke tokoh agama islam, yangmana dalam hal ini kalangan ulama NU.
Memang ada indikasi kuat bahwa masyarakat suku Using adalah masyarakat yang masih secara masif menjalankan tradisi mantra (sihir), sebab karakteristiknya yang kolot, konservatis, dan primordialis. Namun rupanya pembunuhan ini juga menyasar pada orang yang bukan Using dan bukan pelaku ilmu santet. Kerusuhan itu membuat Banyuwangi menjadi daerah dengan korban paling banyak daripada kabupaten lain. Diantara 235 korban jiwa yang tersebar di tujuh kabupaten di Jawa Timur (Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang), 148 korban jiwa adalah warga Banyuawngi (data dari Tim Pencari Fakta NU). Adapun menurut Pemkab Banyuwangi, jumlah korban jiwa adalah 115.
Tidak sedikit penelitian dan teori konspirasi yang berusaha mengungkap siapa dalang perisitiwa ini, apa motif yang melandasi, dan siapa saja algojo yang mengeksekusi korban. Suatu contoh, penelitian
1 Folklore lisan ialah sastra lisan, baik berbentuk prosa maupun puisi. Prosa lisan Using meliputi legenda, mitos dan dongeng. Puisi lisan Using meliputi basanan, wangsalan, sanepan, batekan, syair, dan mantra. Folklore setengah lisan meliputi seni pertunjukan dan upacara ritual. Sedangkan folklore bukan lisan adalah bangunan rumah adat dan peninggalan situs (Danandjaja, 1984).
Winandi (2001) dalam tesisnya, yang meneliti masalah ini untuk merekonstruksi sejarah dari sudut pandang hukum dan Hak Asasi Manusia. Begitu juga dengan riset Brown (1999) yang lebih menekankan pada aspek politik dan budaya mistik masyarakat Using Banyuwangi. Berbeda dengan dua riset di atas, Sukidin (2005) dalam disertasinya mengkaji masalah ini dari perspektif konstruktivistik, dimana tujuan dari penelitiannya adalah untuk mendapat pemahaman tentang apa yang dipikirkan, diketahui, dan dibayangkan oleh subjek penelitian.
Menilik pada penelitian Sukidin (2005), objek penelitian didekati dengan masuk melalui ingatan dan argumentasi subjektif responden. Hal ini berbeda dengan Brown (1999) yang menggunakan tradisi mistik masyarakat Using Banyuwangi dan situasi politik nasional sebagai pintu masuk. Brown menggunakan aspek budaya dengan pertimbangan bahwa Banyuwangi merupakan tempat terkonsentrasinya kebudayaan Using, yang paling terkenal dengan tradisi mantra ketimbang daerah lain di Tapal Kuda. Sementara aspek politik dipilih karena sesuai dengan situasi politik pada masa itu, dimana terjadi perseteruan antara Soeharto dengan petinggi NU (Gus Dur).
Tidak ada diantara tiga dari penelitian di atas yang membahas secara khusus pengaruh atau perubahan sosial di masyarakat suku Using Banyuwangi. Sejauh penelusuran dokumen secara digital oleh peneliti pun, belum ditemukan pula laporan hasil penelitian yang berusaha menjelaskan kondisi masyarakat suku Using di Banyuwangi sebelum dan sesudah peristriwa pembunuhan tahun 1998. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini peneliti bermaksud mengungkap dan menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Using di Banyuwangi sebelum dan sesudah peristiwa pembunuhan dukun santet tahun 1998. Penelitian ini akan dilakukan di Banyuwangi, terkhusus pada tujuh kecamatan dimana masyarakat Using tersebar setelah peristiwa pembunuhan 1998. Tujuh kecamatan tersebut antara lain; Kecamatan Giri, Glagah, Rogojampi, Kabat, Songgon, Singojuruh, dan Srono. Sebab tidak semua warga Banyuwangi adalah etnik Using. Sebagian yang lain adalah Mataraman, Pendalungan dan Madura.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku Using sebagai akibat
terjadinya peristiwa pembunuhan dukun santet 1998. Guna menjawab permasalahan tersebut, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1) Bagaimana kondisi sosial Banyuwangi dan masyarakatnya hingga tahun 1998?, 2). Bagaimana terjadinya konflik tahun 1998?, dan 3) Apa dampak dari konflik tersebut terhadap masyarakat di Banyuwangi?
C. Ruang Lingkup Masalah
Lingkup masalah yang akan dikaji dalam masalah ini terbatas pada seputar kondisi sosial masayarakat Using di Banyuwangi sebelum peristiwa pembunuhan dukun santet 1998, terjadinya konflik sosial, dan dampak atau kondisi masyarakat Banyuwangi sesudah peristiwa pembunuhan dukun santet 1998.
Ruang lingkup spasialnya adalah Banyuwangi. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada fakta bahwa meski ada masyarakat Banyuwangi yang di luar kabupaten akibat Perang Puputan Bayu, namun hanya masyatakat Using Banyuwangi saja yang mengalami tragedi paling parah daripada kabupaten di kawasan Tapal Kuda lainnya.
Ruang lingkup temporal dalam penelitian ini adalah 1997 hingga 1999. Tahun 1997 digunakan sebagai batas awal pengkajian karena pada tahun tersebut, sudah ada peristiwa serupa yang terjadi di daerah Tapal Kuda lainnya, seperti Jember, Situbondo, dan Bondowoso. Sepanjang tahun tersebut peristiwa pembunuhan dukun santet makin melebar ke timur dan memakan korban paling banyak di Banyuwangi pada 1998. Sedangkan 1999 digunakan sebagai batas akhir karena pada tahun tersebut konflik ini sudah mereda dan dimulai resolusi atau penanganan hukum bagi para pelaku-pelaku atau tersangka pembunuhan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah; 1) mendeskripsikan situasi sosial masyarakat Banyuwangi sebelum tahun 1998, 2) mengidentifikasi latar belakang dan dampak yang ditimbulkan dari adanya konflik sosial tahun 1998, 3) menjelaskan dampak atau perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi sesudah terjadinya peristiwa dukun santet 1998.
Manfaat penelitian ini adalah; 1) untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah sosial, khususnya masyarakat Using di Banyuwangi. 2) sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah setempat
untuk merumuskan kebijakan dalam bidang hukum dan HAM. 3) mengedukasi masyarakat/pembaca tentang penyebab dan bagaimana mengantisipasi kejadian serupa.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap; 1) Heuristik. Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber seperti arsip daerah, perpustakaan, surat kabar, wawancara kepada narasumber (pelaku dan saksi sejarah), dan penelusuran sumber sekunder. Sejauh dijalankannnya tahap ini, telah ditemukan dokumen berupa surat kabar (daring) bertanggal 25 Januari 1997, hasil penelitian Jason Brown (1999) yang dapat diakses online, Herriman (1999) yang dapat ditemukan di artsonline.monash.edu.au, tesis milik Winandi (2001) yang ditemukan di eprints.undip.ac.id, disertasi milik Sukidin (2005) yang ditemukan di repository.unair.ac.id. Untuk melengkapi sumber yang ada, dilakukan pula wawancara dengan narasumber yang dapat ditemukan di lokasi penelitian, yakni tujuh kecamatan di Banyuwangi dimana suku Using terkonsentrasi. 2) Kritik. Kritik sejarah digunakan untuk menguji sumber sejarah yang ditemukan pada tahapan heuristik. Kritik (intern) dilakukan dengan membandingkan suatu sumber dengan sumber lainnya. Ini perlu dilakukan demi kredibilitas sumber, sehingga informasi atau data yang diperoleh dari dokumentasi dan interview dapat digeneralisasi dan menjadi fakta.
3) Interpretasi. Tahap ini harus dilakukan pemberian makna terhadap fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain. Melalui tahap ini fakta-fakta yang telah terkumpul disusun secara kronologis dan tematik. Peneliti, dalam tahap ini, akan menggabungkan pengetahuan yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder untuk melakukan interpretasi. 4) Historiografi. Tahap ini dilakukan penulisan hasil penelitian tentang pembunuhan dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.
F. Kajian Pustaka
Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang pembunuhan dukun santet di Banyuwangi tahun 1998. Sebelumnya, telah ada penelitian-penelitian yang dilakukan oleh periset lain. Pertama, Manan, dkk., (2000) dalam bukunya berjudul Geger Santet Banyuwangi (kalau sudah
menemukan bukunya, langsung bahas). Kedua, Brown (1999) dalam penelitiannya berjudul Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembunuhan (Terror maut di Banyuwangi). Sedikitnya ada dua hal pokok yang dibahas dalam penelitian itu, yakni; 1) ilmu sihir, peran dan pelakunya di Banyuwangi. 2) pembunuhan sebagai fenomena sosial dan propaganda politik. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan pembunuhan dukun santet, hasil penelitian Brown ini hanya mengulas tentang bagaimana cara kerja ilmu sihir dan konspirasi atau dugaan-dugaan tentang aktor di balik layar atas peristiwa itu.
Ketiga, Sukidin (2005) dalam disertasinya berjudul Pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, Studi Kekerasan Kolektif dalam Perspektif Konstrutivistik. Secara umum memang juga membahas tentang pembunuhan dukun santet, akan tetapi kajian Sukidin hanya berorientasi pada apa yang dipikirkan, diketahui dan dibayangkan oleh subjek penelitian. Sukidin tidak mengkaji soal perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada masyarakat pasca peristiwa itu. Keempat, Winandi (2001) dalam tesisnya berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalaml Kerusuhan Massal pada Kasus Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi. Meski membahas soal korban penganiayaan atau pembunuhan, tapi apa yang menjadi objek penelitiannya adalah tentang hukum dan pelanggaran HAM, bukan perubahan sosial yang terjadi seusai peristiwa itu. Kelima, paper milik Herriman (2008) yang berjudul Sorcerer Killings in 1998 East Java: An Analysis of Press and Academic Reports. Paper milik Herriman ini hanya menguraikan tentang intrik politik yang berada dibalik pembunuhan dukun santet 1998.
Objek penelitian yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada objek penelitian yang dikaji, meskipun sumber dan metode penelitian yang dipakai adalah sama. Praktis, historiografi yang disajikan oleh peneliti di atas belum menyajikan apa yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, digunakan konsep-konsep kesukuan/etnik masyarakat dan konsep spasial (kewilayahan).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang kondisi sosial masyarakat Banywuangi sampai tahun 1998. Bab tiga akan membahas tentang peristiwa pembunuhan dukun santet di kalangan suku Using sebagai suatu konflik sosial. Bab empat akan membahas tentang dampak atau perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi sesudah terjadinya tragedi pembunuhan. Bab terakhir, yakni kesimpulan, berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan dalam bab satu.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Jason. 1999. Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian (Terror maut di Banyuwangi 1998). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Herriman, Nicholas. 2008. Sorcerer Killings in 1998 East Java: An Analysis of Press and Academic Reports. Melbourne: Monash Asia Institute.
Sukidin. 2005. Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi, Studi Kekerasan Kolektif dalam Pespektif Konstruktivistik. Disertasi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Winandi, Woro. 2001. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Sejarah Kesusastraan Indonesia Awal Sebelum Kemerdekaan: Pandangan Sosio-Historis dan Jejak Kontribusi Orang Tionghoa Peranakan di Batavia 1870-1940-an. Oleh: Yose Rizal Triarto

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya dapat dibagi menjadi Tionghoa “Peranakan” yang biasanya tidak bisa berbahasa Tionghoa dan Tionghoa “Totok” yang masih mempertahankan bahasa Tionghoa dan dialek Cina. Tionghoa peranakan berdomisili di Indonesia selama beberapa abad. Pada zaman sebelum PD II, ada Tionghoa peranakan yang menerima pendidikan bahasa Belanda atau bahasa Indonesia; ada juga yang masuk sekolah Tionghoa (Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan). Namun, bahasa ibu Tionghoa peranakan, pada dasarnya masih berbahasa Indonesia atau bahasa daerah Nusantara.

Orang Tionghoa peranakan hadir di Indonesia pada masa sulit penjajahan kolonial Belanda. Dari sanalah muncul berbagai karya-karya sastra yang mendasari ungkapan etnis Tionghoa akibat penjajahan kolonial Belanda. Karya etnis Tionghoa peranakan lebih berdasarkan kehidupan nyata yang dialaminya, kemudian diungkapkan dalam bentuk cerita, misalnya novel. Ini merupakan ciri khas yang dimiliki Melayu Tionghoa dalam menghadirkan karya sastra di khasanah Indonesia. Salah seorang sastrawan yang muncul pada masa itu adalah Kwee Tek Hoay dengan berbagai karya sastranya yang sangat tenar pada masa itu. Bahkan Melayu Tionghoa tidak lepas dari kaitannya dengan Balai Pustaka, karena Balai Pustaka merupakan Lembaga yang didirikan pemerintahan Belanda yang bergerak dalam bidang penerbitan bacaan rakyat. Oleh karena itu, sebuah karya sastra yang diciptakan harus melalui Balai Pustaka.

Kesusastraan peranakan Tionghoa, dalam hal ini adalah Melayu Tionghoa atau Melayu Lingua Franca (atau Melayu Rendah/ Melayu Pasar, yaitu bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa dagang dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di Hindia Belanda – dalam penelitian ini, penulis memilih menggunakan istilah yang dipakai Pramoedya Ananta Toer, yaitu “Melayu Lingua Franca”) adalah sebuah tiang pancang sejarah sastra yang agaknya memang telah terlupakan di bumi Nusantara. Melayu Tionghoa merupakan sastra melayu yang masih mencari penerimaan negara dan masyarakat luas sebagai sebuah bentuk karya sastra. Selama hampir seabad (1870-1960) dihasilkan tidak kurang dari 3.005 karya sastra dengan mengikutsertakan 806 penulis yang jauh melampaui jumlah karya dan penulis dalam sastra Indonesia Modern. karya Sastra Melayu Tionghoa merupakan suatu pandangan dan cerminan kritis terhadap perubahan sosial, politik, pendidikan, dan sejarah kemasyarakatan yang terjadi pada semasa puncak Pac Neerlandica (masa keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia, yaitu pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa, tergambar dalam karya-karya tersebut. Keadaan etnis Tionghoa itu sendiri tidak seragam, ada yang berorientasi ke negeri leluhur, berpihak pada Indonesia, atau memuja kolonialisme Belanda, terekam dalam rangkaian karya tersebut.

2. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pandangan sosio-historis dan jejak kontribusi orang Tionghoa peranakan di Batavia 1870-1940-an. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian antara lain:

  1. Bagaimana asal-usul dan posisi sosio-historis orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an?
  2. Bagaimana sebaran bentuk dan genre karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an dalam konteks kesejarahan sastra Indonesia?
  3. Bagaimana isi pandangan sosio-historis dari karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan terhadap perubahan sosio-historis kemasyarakatan di Batavia sendiri pada rentang tahun 1870-1940-an?

3. RUANG LINGKUP MASALAH

Ruang lingkup masalah penelitian dan penulisan ini adalah Indonesia masa kolonialisme dan setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan yakni pada rentang tahun 1870-1940-an dengan mengkaji hasil-hasil karya kesustraan orang Tionghoa peranakan pada saat itu di Batavia. Pemilihan sejarah sastra Indonesia awal dipilih karena masih minimnya publikasi dalam negeri yang terkait sejarah sastra Indonesia. Kontribusi orang Tionghoa peranakan dipilih karena selain masih sedikitnya pengakuan dan penerimaan negara dan masyarakat luas dalam bentuk bukti-bukti tertulis akan sumbangsih orang Tionghoa peranakan. Rentang tahun 1870-1940-an dan Batavia dipilih karena, menurut sumber-sumber tertulis yang sebagaimana akan disebutkan dalam telaah dan daftar pustaka, selama hampir seabad (1870-1960) telah dihasilkan tidak kurang dari 3.005 karya sastra dengan mengikutsertakan 806 penulis yang jauh melampaui jumlah karya dan penulis dalam sejarah sastra Indonesia Modern, namun justru pada rentang tahun 1870-1940-an itulah terdapat masa Indonesia sebelum kemerdekaan dengan peristiwa-peristiwa sosio-historis yang signifikan dan terekam dalam hasil-hasil karya kesustraan orang Tionghoa peranakan pada saat itu di Batavia yang telah lama dikenal sebagai pusat pemerintahan, administrasi, dan perdagangan.

4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

  1. Mengetahui asal-usul dan posisi sosio-historis orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an.
  2. Mengetahui sebaran bentuk dan genre karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an dalam konteks kesejarahan sastra Indonesia.
  3. Mengetahui isi pandangan sosio-historis dari karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan terhadap perubahan sosio-historis kemasyarakatan di Batavia sendiri pada rentang tahun 1870-1940-an.

Manfaat penelitian ini adalah untuk:

  1. Melengkapi historiografi Indonesia khususnya tentang Sejarah Kesusastraan Indonesia Awal Sebelum Kemerdekaan: Pandangan Sosio-Historis dan Jejak Kontribusi Orang Tionghoa Peranakan di Batavia 1870-1940-an.
  2. Digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk pertimbangan kebijakan-kebijakan nasional berikutnya khususnya yang terkait dengan keberadaan orang Tionghoa peranakan di Jakarta dan Indonesia saat ini.

5. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap. Tahap pertama heuristik yang berupa pencarian sumber dari beberapa tempat. Pada tahap ini sumber yang ditemukan adalah 8 sumber tertulis yang berupa 5 buku dengan judul yakni: Sastera Indonesia-Tionghoa, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa di Nusantara, Pucuk Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia, dan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 1. Dan 3 papers hasil penelitian dengan judul: Chinese Malay literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942., Stereotip Terhadap Masyarakat Tionghoa Dalam Ca-Bau-Kan, dan The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature. Tahap selanjutnya adalah kritik sejarah yang digunakan untuk menguji tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Setelah kritik tahap berikutnya adalah interpretasi. Dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta-fakta, hasil verifikasi, menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain. Tahap terakhir dari metode penelitian ini dalah historiografi atau menuliskan tentang penelitian Sejarah Sejarah Kesusastraan Indonesia Awal Sebelum Kemerdekaan: Pandangan Sosio-Historis dan Jejak Kontribusi Orang Tionghoa Peranakan di Batavia 1870-1940-an berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

6. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini bukan satu-satunya penelitian tentang sejarah sastra Indonesia Awal yang terdokumentasikan melalui karya-karya kontribusi orang Tionghoa peranakan pada rentang tahun 1870-1960. Ada beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya yakni buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa karya Claudine Salmon yang mengulas tentang, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005 buah karya., namun tidak menjelaskan secara rinci akan bagaimana pandangan sosio-historis dan jejak kontribusi orang Tionghoa peranakan di Batavia 1870-1940-an.

Penelitian yang penulis lakukan berbeda denngan penelitian sebelumnya. Penelitian yang penulis lakukan berfokus pada pandangan sosio-historis dan jejak kontribusi orang Tionghoa peranakan di Batavia 1870-1940-an.

Dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep pendekatan sastra dan sejarah untuk memberi jawab pada rumusan masalah di atas.

7. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama pendahuluan yang berisikan permasalahan, lingkup masalah, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penelitian.

Bab dua membahas tentang asal-usul dan posisi sosio-historis orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an.

Bab tiga membahas tentang sebaran bentuk dan genre karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan di Batavia pada rentang tahun 1870-1940-an dalam konteks kesejarahan sastra Indonesia.

Bab empat membahas tentang isi pandangan sosio-historis dari karya-karya sastra orang Tionghoa peranakan terhadap perubahan sosio-historis kemasyarakatan di Batavia sendiri pada rentang tahun 1870-1940-an.

Bab lima tentang kesimpulan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam bab pertama.

 

DAFTAR PUSTAKA

Kwee, John B. 1977. Chinese Malay literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942. Thesis, PhD Asian Languages and Literature, University of Auckland.

Nio Joe Lan. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung.

Prasnowo, Sukojati. 2007. Stereotip Terhadap Masyarakat Tionghoa Dalam Ca-Bau-Kan. Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sweeney, Amin. 2011. Pucuk Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Tan Teng Kie, Lie Kim Hok & Gouw Peng Liang. 2000. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 1. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Teeuw, A, 1972. The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 35, No. 1.

Kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Pendidikan di Yogyakarta Tahun 1908-1923. Oleh : Candra Daty Novitasari, S.Pd. Museum Pendidikan Indonesia UNY

  1. Latar Belakang

Pada abad 19, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan politik etis. Politik Etis dicetuskan oleh C. Th Van Deventer pada tahun 1901 dikenal dengan istilah Trias Van Deventer. Trias Van Deventer meliputi tiga hal yaitu irigasi, imigrasi, dan edukasi. Adanya politik etis tersebut tentunya memberikan beberapa perubahan besar di Indonesia. Edukasi dilakukan dengan memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan sehingga hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap pendidikan di Indonesia.

Politik etis memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia karena pada masa ini pemerintah Belanda mulai memberikan perhatian mengenai pendidikan dan pengajaran bagi rakyat Indonesia. Pemerintah Belanda mulai memperluas pendidikan dengan memperbanyak sekolah bagi rakyat Indonesia diantaranya dengan mendirikan beberapa sekolah. Adapun bentuk pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda setelah berlakunya politik etis antara lain :

  1. Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS,HCS,HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS,VS,VgS), dan sekolah peralihan.
  2. Pendidikan lanjutan meliputi pendidikan umum (MULO,HBS,AMS) dan pendidikan kejuruan.
  3. Pendidikan tinggi.1

 

1Budi Darmoko, Tinjauan Historis Hak Pendidikan di Hindia-Belanda pada Masa Kolonial Tahun 1908-1928, ( Lampung: Universitas Lampung: 2016), hlm. 14.

Politik etis ternyata juga berpengaruh terhadap pola pikir bangsa Indonesia. Hal ini berdampak pada munculnya sekolah partikelir yang ada di Indonesia. Salah satu sekolah partikelir yang didirikan setelah politik etis adalah madrasah ibtidaiyah dan madrasah diniyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan  pada tahun 1908-1909 di Yogyakarta.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Peranan  Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam pendidikan di Yogyakarta dalam kurun waktu 1908-1923”.

Berdasarkan masalah tersebut, dapat ditentukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Bagaimana pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan tentang pendidikan untuk pribumi?
  2. Upaya apa yang dilakukan Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk mewujudkan sekolah Muhammadiyah?
  3. Bagaimana dampak keberadaan sekolah muhammadiyah bagi masyarakat di Yogyakarta?

3. Ruang Lingkup Masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pendidikan di Yogyakarta pada tahun 1908-1923. Ruang lingkup permasalahan spasialnya adalah daerah Kauman Yogyakarta.  Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada keberadaan komunitas warga Muhammadiyah di Yogyakarta. Ruang lingkup temporal berlangsung pada tahun 1908-1923. Tahun 1908 digunakan sebagai batas awal penelitian karena pada tahun 1908 Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang pertama secara formal yaitu madrasah ibtidaiyah dan madrasah diniyah. Tahun 1923 digunakan sebagai batas akhir penelitian karena pada tahun 1923, Kyai Haji Ahmad Dahlan meninggal dunia.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan peneltian ini adalah:

  1. Menjelaskan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan tentang pendidikan untuk pribumi
  2. Mengidentifikasi upaya yang dilakukan Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk mewujudkan sekolah Muhammadiyah
  3. mengetahui dampak keberadaan sekolah Muhammadiyah bagi masyarakat di Yogyakarta

Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

Melengkapi historiografi Indonesia tentang kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Pendidikan

5. Metode Penelitian

Metode yang dugunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

  1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pertama dalam metode sejarah.  Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti arsip daerah, perpustakaan. Sumber yang ditemukan di perpustakaan Museum Pendidikan Indonesia adalah  buku Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif  Perubahan Sosial karangan Abdul Munir Mulkhan dan buku Muhammadiyah  Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha yang dihimpun oleh Tim Pembina Al Islam dan kemuhammadiyahan.

  1. Kritik

Kritik sejarah digunakan untuk melakukan pengujian sumber sejarah pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Dalam tahap ini dilakukan dengan membandingkan sumber yaitu buku Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif  Perubahan Sosial karangan Abdul Munir Mulkhan dengan buku Muhammadiyah  Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha yang dihimpun oleh Tim Pembina Al Islam dan kemuhammadiyahan

  1. Interpretasi

Tahap ketiga dari metode sejarah adalah interpretasi. Pada tahap ini, peneliti memberikan makna terhadap fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Tahap terakhir peneltian ini adalah historiografi atau menuliskan kisah tentang kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

5. Kajian Pustaka

Penelian ini bukan satu-satunya tentang kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ada penelitian serupa yang sudah ditulis oleh peneliti lain diantaranya:

  1. Penelitian yang dilakukan oleh Maya Putri yang berjudul Peran K.H Ahmad Dahlan dalam Pembentukan Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta Tahun 1911-1922 (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Lampung : 2017). Penelitian ini mengulas mengenai pembentukan kelembagaan sekolah Muhammadiyah serta peranan Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam memodernisasi kurikulum.
  2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Puspa Kharunnisa yang berjudul Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Kyai Haji Ahmad Dahlan ( Fakultas Usluhudin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta : 2017). Penelitian ini mengulas mengenai pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam pendidikan yaitu mengintegrasikan ilmu dan amal, serta ilmu umum dan ilmu agama.
  3. Penelitian yang dilakukan oleh Leny Marlina yang berjudul Kajian Terhadap Perkembangan Sekolah Muhammadiyah ( Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang). Penelitian ini mengulas mengenai lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah. Dalam penelitian tersebut dipaparkan perkembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1913 hingga tahun 2010.

Peneltian yang saya tulis berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada dampak keberadaan sekolah Muhammadiyah bagi masyarakat Yogyakarta pada kurun waktu 1908-1923. Selain itu, dalam penelitian ini banyak ditekankan pada sekolah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan setelah adanya kebijakan politik etis yaitu madrasah ibtidaiyah dan madrasah diniyah.

6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab. I adalah bab Pendahuluan yang isinya adalah beberapa ulasan mengenai yang berisi latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan. Bab dua dalam penulisan ini membahas mengenai pemikiran  Kyai Haji Ahmad Dahlan tentang pendidikan untuk pribumi. Bab tiga dalam tulisan ini membahas mengenai upaya yang dilakukan Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk mewujudkan sekolah Muhammadiyah. Bab empat membahas mengenai dampak keberadaan tersebut untuk masyarakat di Yogyakarta. Bab terakhir adalah bab lima  yaitu  kesimpulan. Dalam bab ini akan diuraikan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah diajukan pada bab I

UPAYA PENCEGAHAN BENCANA LONGSOR SAWAH LABURAN DI DESA KANDANGAN KEC. BAWEN TAHUN 1980 SAMPAI TAHUN 2005. Oleh : Sobikah, S.I.Pust. SMP NEGERI 2 BAWEN KAB. SEMARANG

  1. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1980 di Dusun Krajan, Desa Kandangan, Kec. Bawen mendapat program penghijauan dan saluran irigasi tepatnya di sekitar sawah laburan. Sawah Laburan merupakan area persawahan yang medannya berupa tanah lumpur karena sering longsor dan labil. Sehingga pemerintah memberikan Bibit tanaman keras kepada warga masyarakat sekitar dan melakukan penghijaun secara serentak. Tujuan kegiatan tersebut adalah mencegah terjadinya tanah longsor mengingat medan persawahan di laburan berupa tanah lembek dan berlumpur. Upaya pemerintah tersebut mulai berjalan dan warga menyambut  antusias dengan menanam bibit tanaman keras yang diberikan oleh pemerintah.

Namun Pada tahun 1986 ada sebuah hambatan, saat tanaman keras baru berusia 6 tahun tanah berada dalam kondisi labil dan tertutup oleh lumpur. Sehingga tidak digunakan warga untuk bercocok tanam atau untuk kegiatan lainnya. Akhirnya pada tahun 1988 ada seorang investor yang tertarik untuk membeli tanah lumpur tersebut karena memiliki warna yang unik dengan corak yang bervariasi. Ada yang berwarna putih yang berfungsi sabagai campuran kapur bahan bangunan dan warna kuning sebagaai bahan gerabah (kerajinan tangan dari tanah). Tanah tersebut  mulai digali pada tahun 1988 sampai awal tahun 2005. Lambat laun tanah yang digali mengalami kerusakan yang cukup parah.

Pada tahun 2005 proses penggalian dihentikan. Melihat keadaan tersebut pemerintah kembali memberikan bantuan berupa tanaman untuk ditanam di sekeliling persawahan serta dibuatkan bronjong penahan longsor di lokasi tersebut.

 

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “penanggulangan bencana tanah longsor  Sawah Laburan di Desa Kandangan, Kec. Bawen Tahun 1980 sampai tahun 2005 ”.

Pertanyaan penelatian:

  1. Bagaimana kondisi di Sawah Laburan Desa Kandangan hingga tahun 1980?
  2. Apa upaya pemerintah dalam menanggulangi fenomena tanah seperti itu?
  3. Apa dampak penghijaun tersebut bagi masyarakat sekitar Desa Kandangan secara umum?

 

  1. Ruang Lingkup Masalah

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah upaya penanggulangan tanah longsor di Sawah Laburan Desa Kandangan pada tahun 1980 sampai 2005. Ruang lingkup permasalahan spasialnya adalah Sawah Laburan Desa Kandangan pada tahun 1980 sampai 2005. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada kedekatan lokasi dengan peneliti. Ruang lingkup temporal beralangsung pada tahun 1980 – 2005. Tahun 1980 digunakan sebagai batas awal penlitian karena pada tahun itu kegiatan penghijauan di Sawah Laburan Desa Kandangan dimulai. Tahun 2005 digunakan sebagai batas akhir penelitian karena pada tahun tersebut kegiatan penghijauan telah selesai.

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui kondisi Sawah Laburan Desa Kandangan hingga tahun 1980.
  2. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menanggulangi bencana tanah longsor di Sawah Laburan Desa Kandangan pada tahun 1980 sampai 2005?
  3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut.

Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

Melengkapi historiografi  Indonesia tentang sejarah lingkungan khususnya di Sawah Laburan Desa Kandangan.

  1. Metode Penelitian

Metode yang dugunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap. Adapun tahapan – tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber lisan pada masyarakat setempat yang mengalami kejadian kegiatan penghijauan di sawah Laburan Desa Kandangan pada tahun 1980 sampai tahun 2005. Untuk melengkap sumber yang ada dilakukan wawancara dengan Bapak Muh Sodik, Bapak Suparmin dan bapak Demulur  Dusun Krajan, Desa Kandangan.

  1. Kritik

Kritik sejarah digunakan untuk melakukan pengujian sumber sejarah pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. dengan wawancara.

  1. Interpretasi

Pada tahap ini, peneliti memberikan makna terhadap fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi

Historiaografi adalah menuliskan kisah tentang upaya pencegahan tanah longsor di Sawah Laburan Desa Kandangan, Kec. Bawen Tahun 1980 sampai tahun 2005 ”  Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

 

  1. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu-satunya penlitian tentang upaya pencegahan tanah longsor. Ada penelitian serupa yang sudah ditulis oleh peneliti lain dengan lokasi dan tata cara penanggulangan yang berbeda sesuai fenomena yang berbeda pula, antara lain sebagai berikut:

  1. Website http://pusatkrisis.kemkes.go.id/strategi-dan-upaya-penanggulangan-bencana-tanah-longsor, mengulas penanggulangan bencana tanah longsor.
  2. Website http://pusatkrisis.kemkes.go.id/upaya-pencegahan-untuk-mengurangi-dampak-bencana-tanah-longsorFajrie, Mahfudlah. 2012. Strategi Dakwah Muhammadiyah di Kabupaten Demak Periode 2006-2011: Studi Analisis Strategi dan Metode Dakwah. Tesis. IAIN Walisongo Semarang, mengulas tentang upaya pencegahan untuk mengurangi dampak bencana tanah longsor.
  3. http://blog.act.id/upaya-penanggulangan-tanah-longsor

Peneltiian yang saya tulis berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada upaya penanggulanagan, karena penanggulangan atau pencegahan didasarkan pada fenomena realita di lapangan.

 

  1. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan bab Pendahuluan yang isinya latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.  Bab dua membahas mengenai bagaimana kondisi Sawah Laburan Desa Kandangan hingga tahun 1980. Bab tiga akan membahas Upaya pemerintah dalam menanggulangi fenomena tanah di Sawah Laburan Desa Kandangan hingga tahun 1980. Bab empat akan membahas manfaat penghijaun sawah Laburan bagi masyarakat secara umum. Bab terakhir adalah bab enam tentang kesimpulan. Pada bab ini akan dijawab pertanyaan penelitian yang dirumuskan pada bab 1.

DAFTAR PUSTAKA

http://pusatkrisis.kemkes.go.id/upaya-pencegahan-untuk-mengurangi-dampak-bencana-tanah-longsorFajrie, Mahfudlah. 2012. Strategi Dakwah Muhammadiyah di Kabupaten Demak Periode 2006-2011: Studi Analisis Strategi dan Metode Dakwah. Tesis. IAIN Walisongo Semarang.

http://blog.act.id/upaya-penanggulangan-tanah-longsor

http://pusatkrisis.kemkes.go.id/strategi-dan-upaya-penanggulangan-bencana-tanah-longsor

ARYA PENANGSANG DAN KEBIJAKAN KERAJAAN DEMAK TAHUN 1521 s.d 1546. Oleh: NANI PUSPITA SARI, SMA NEGERI 2 CEPU

BAB I.

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Kisah Kadipaten Jipang Panolan dengan Arya Penangsang atau Arya Jipang sebagai rajanya, banyak ditulis di Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Babad Tanah Jawi menjadi buku babon bagi penulis-penulis buku sejarah tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hampir semua buku sejarah yang penulis baca semenjak belajar di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas menempatkan sosok Arya Penangsang sebagai tokoh antagonis. Beliau disebutkan sebagai penghianat dan perebut kekuasaan. Beliau disebut sebagai tokoh yang tidak terima ketika kekuasaan Demak diserahkan kepada Hadiwijaya, yang kemudian mendirikan kerajaan Pajang.

Dalam pentas-pentas kesenian tradisional seperti kethoprak dan sandiwara-sandiwara radio,  tokoh Arya Penangsang digambarkan sebagai bupati yang mbalela pada penguasa saat itu. Penggambaran tokoh Arya Penangsang adalah seorang pemberontak yang sakti mandraguna, teguh pada pendirian, dan memegah teguh kebenaran yang diyakini tetapi temperamental dan sering bertindak tergesa-gesa. Kesaktiannya membuat banyak musuhnya berpikir dua kali ketika harus menghadapinya. Namun, pada akhirnya, Arya Penangsang diceritakan terbunuh oleh kerisnya sendiri karena sifatnya yang temperamental dan bertindak tergesa-gesa.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan dibukanya kran demokrasi di era reformasi, sumber cerita mengenai Arya Penangsang makin bervariasi. Dalam beberapa artikel disebutkan bahwa Arya Penangsang adalah pewaris sah tahta Demak. Ensiklopedi Blora Buku 1 (2011:97) menyebutkan bahwa dia adalah anak dari Raden Kikin atau pangeran Sekar. Pangeran Sekar adalah putra kedua dari Raden Patah, Raja Demak pertama. Pangeran Sekar mempunyai seorang kakak laki-laki yaitu Adipati Kudus (Pati Unus) dan adik laki-laki Raden Trenggono.

Ketika Raden Patah wafat, beliau digantikan oleh Pati Unus, yang tidak lama berkuasa karena gugur dalam peperangan dengan Portugis. Perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar dengan Raden Trenggono tak bisa terelakkan. Disinilah dimulai babak saling membunuh demi tahta. Pangeran Sekar dibunuh oleh anak Raden Trenggono bernama Sunan Prawoto demi memuluskan jalan ayahnya naik tahta. Raden Prawoto dibunuh Arya Penangsang karena hutang nyawa. Perebutan itu berlanjut ketika Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggono, yang diangkat sebagai Raja ketika Sultan Trenggono lengser. Arya Penangsang yang mempunyai ikatan darah langsung dengan Kerajaan Demak merasa lebih berhak daripada Hadiwijaya yang hanya seorang menantu.

Membaca uraian diatas, jargon ‘JAS MERAH’,  jangan sekali-kali melupakan sejarah, yang pernah dilontarkan Presiden pertama Republik Indonesia pantas untuk kita renungkan kembali. Mengapa kita tidak boleh melupakan Sejarah? Sebab, keberadaan kita saat ini karena masa lalu. Tanpa masa lalu, tidak mungkin ada masa kini. Kita menatap masa depan dengan melihat sejarah masa lalu. Harapannya, apabila masa lalunya kelam, tidak terulang di masa depan. Hari ini lebih baik dari kemarin karena belajar dari Sejarah. Sejarah menjadi pijakan untuk melangkah lebih baik di masa depan.

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah sepak terjang Arya Penangsang di Kadipaten Jipang dalam menyikapi kebijakan Pemerintah Kerajaan Demak pada tahun 1521-1546. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Siapakah Arya Penangsang?
  2. Apa kegiatan Arya Penangsang dan bagaimana bentuknya?
  3. Apa dampak kegiatan Arya Penangsang terhadap masyarakat Jipang dan Kerajaan Demak?
  4. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang Arya Penangsang dan kegiatan yang dilakukan sehingga berdampak pada masyarakat Jipang dan Kerajaan Demak. Adapun ruang lingkup spasial dari permasalahan yang dikaji adalah tokoh Arya Penangsang sebagai penguasa sebuah Kadipaten besar bernama Jipang yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak pada tahun 1521 – 1546. Periodisasi ini digunakan sebagai ruang lingkup penelitian karena pergantian kepemimpinan di Kerajaan Demak setelah raja pertama didahului dengan konflik yang sampai menumpahkan darah.

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mengidentifikasi siapakah sebenarnya tokoh Arya Penangsang.
  2. Mengetahui apa dan bagaimana bentuk kegiatan Arya Penangsang pada masa berkuasa sebagai Adipati Jipang.
  3. Mengetahui dampak kegiatan Arya Penangsang pada masyarakat Jipang dan Kerajaan Demak.

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah Kerajaan Demak. Pergantian kekuasaan di Kerajaan Demak ternyata menyimpan berbagai konflik internal yang menimbulkan korban jiwa sehingga penelitian sejarah ini bisa digunakan sebagai sarana untuk mawas diri bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan suksesi kepemimpinan.

Manfaat yang kedua adalah dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai referensi dalam mengembangkan potensi budaya lokal baik untuk keperluan pendidikan karakter maupun pariwisata.

  1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap yaitu:

  1. Pada tahap ini peneliti melakukan pencarian sumber di kantor arsip dan perpustakaan daerah Blora, Bojonegoro dan Perpustakaan Nasional. Selain itu, peneliti juga menggunakan Buku Sejarah koleksi perpustakaan SMA Negeri 2 Cepu dan koleksi pribadi. Pada tahap ini, peneliti menemukan Babad Dipanegara terjemahan sebagai sumber primer. Meskipun babad ini merupakan karya sastra, namun tetap bisa peneliti gunakan karena bisa memunculkan ‘jiwa’ masayarakat pada era tersebut. Selain itu, peneliti juga menggunakan Sejarah Nasional Indonesia Buku III karya Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto.
  2. Tahap kedua dari metode sejarah yang peneliti lakukan adalah melakukan kritik sejarah. Kritik ini digunakan untuk melakukan pegujian data yang peneliti dapatkan pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan yang lain.
  3. Tahap berikutnya adalah interpretasi. Pada tahap ini peneliti memberikan makna terhadap fakta yang peneliti dapatkan dan menghubungkan fakta yang satu dengan yang lain.
  4. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah historiografi. Pada tahap ini peneliti menuliskan tentang Arya Penangsang dan Kebijakan Pemerintah Kerajaan Demak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah yaitu heuristic, kritik, interpretasi, dan historiografi.
  5. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan penelitian satu-satunya tentang Arya Penangsang namun ada penelitian lain yang dituliskan oleh I.C. Sudjarwadi dari Universitas Jember. Penelitian I.C. Sudjarwadi bertumpu pada drama balada Arya Penangsang, sedangkan penelitian yang peneliti kaji menitik beratkan pada kontroversi tentang kegiatan Arya Penangsang. Bisa dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya dari segi sudut pandang peneliti.

Dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep tentang:

  1. Arya Penangsang.

Menurut Habib Mustopo dalam Sejarah Indonesia (2013:106), Arya Jipang adalah keturunan langsung dari Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak. Raden Patah berputra tiga orang yaitu Pati Unus, Pangeran Sekar, dan Pangeran Trenggono. Arya Jipang adalah putra dari Pangeran Sekar.

Andi Setiono dalam Ensiklopedi Blora Buku 1 (2011:97) menyebutkan bahwa Arya Penangsang adalah anak dari Raden Kikin atau pangeran Sekar. Pangeran Sekar adalah putra kedua dari Raden Patah, Raja Demak pertama. Pangeran Sekar mempunyai seorang kakak laki-laki yaitu Adipati Kudus (Pati Unus) dan adik laki-laki Raden Trenggono.

Tamar Jaya (1976:141) menyebutkan bahwa pada saat Demak di bawah kekuasaan Raden Patah, ada sebuah kadipaten  yaitu Kadipaten Jipang yang mempunyai hak otonom. Penguasa kabupaten itu adalah Sunan Ngudung. Arya Penangsang atau Arya Jipang adalah keturunan langsung Sunan Ngudung yang berkuasa di Jipang. Putri Sunan Ngudung adalah istri dari Pangeran Sekar. Sepeninggal ayahnya yang dibunuh oleh Sunan Prawata, Arya Penangsang dibawa ke Jipang oleh Sunan Kudus. Dia menjadi murid terkasih dari Sunan Kudus.

Dari sumber-sumber tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Arya Penangsang mempunyai pertalian darah langsung dengan penguasa Demak pertama yaitu Raden Patah. Dari segi aturan suksesi kerajaan pada waktu itu, Arya Penangsang berhak atas tahta Demak karena dia merupakan cucu pertama dari Raden Patah.

  1. Kegiatan Arya Penangsang dan bentuknya.

Dalam terjemahan Babad Diponegara (2016:58) disebutkan rasa sakit hati Arya Jipang, keponakan Sultan Demak, atas dilantiknya Jaka Tingkir di Pajang dan bubarnya Keraton Demak. Demikian terusik hatinya, dimanapun bertemu Jaka Tingkir, kalau berhadapan akan dilawan.

Dalam buku yang sama (2016:60) dikisahkan, yakni Arya Penangsang dipanggil Sunan Kudus dan ditantang, “Dirimu aku tantang anakku Jipang, bermusuhan dengan Sultan Pajang dan Sunan Prawata dengan mengambil keduanya.”

Sumber di atas menyatakan bahwa Arya Penangsang melakukan tindakan perlawanan karena menuntut haknya sebagai pewaris tahta dan mendapat dukungan dari Sunan Kudus. Pada saat itu, suksesi di Kerajaan mendapatkan legitimasi apabila sudah mendapatkan dukungan dari para Wali atau Wali Songo.

  1. Dampak kegiatan Arya Penangsang bagi Masyarakat Jipang dan Kerajaan Demak.

Dalam Babad Jipang Panolan (2010:…) disebutkan bahwa di daerah Bang Wetan, terdapat sebuah Kadipaten yang makmur, subur, dan menjadi pelabuhan penyeberangan barang antara daerah barat dengan timur yang sangat ramai. Diperintah seorang Adipati yang membuat bengawan (parit) mengelilingi daerah kekuasaannya untuk melindungi rakyatnya.

Hamid Akasah (2007:….) menyebutkan bahwa kemakmuran Kadipaten Jipang membawa keuntungan bagi Demak. Namun di sisi lain, menimbulkan kekhawatiran tersendiri dikaitkan dengan suksesi kepemimpinan di Demak.

Dari sumber tersebut didapatkan data bahwa kegiatan Arya Penangsang membawa dampak baik kepada rakyat Jipang maupun Kerajaan Demak. Dampak tersebut bisa berupa dampak baik ataupun buruk bagi kedua belah pihak.

  1. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari enam bab, yaitu:

  1. Bab I tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
  2. Bab II membahas tentang sang tokoh Arya Penangsang mulai dari silsilah dan masa –masa beliau sebagai pemimpin kadipaten yang mempunyai kewenangan sebagai daerah perdikan (daerah otonom).
  3. Bab III membicarakan tentang kegiatan dan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Arya Penangsang.
  4. Bab IV berisi tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan oleh Arya Penangsang terhadap masyarakat Jipang dan Kerajaan Demak.
  5. Bab V adalah Kesimpulan. Pada bagian kesimpulan ini dituliskan jawaban-jawaban dari pertanyaan penelitian.

 

Daftar Pustaka

——-. 1834 M. Babad Tanah Jawi (Pajajaran dumugi Senapati). Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Akasah, Hamid. 2007. Arya Penangsang (Perebutan Tahta Kasultanan Demak). Demak: Cipta Adi Grafika.

Arya Penangsang. 2010. Arya Penangsang-Sejarah yang (mungkin) dibelokkan. Artikel yang diakses dari http://blog.ugm.ac.id/2010/05/04/arya-jipang-sebuah-sejarah-yang-di-belokkan/, pada Kamis, 1-2- 2018.

Dipanegara. 2016. Manuskrip Bersejarah. Babad Dipanegara. Karya Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.

Gunawan, Restu. Amuwarni dan Sardiman. 2013. Sejarah Indonesia. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Hoeri, J.F.X. 2010. Babad Jipang Panolan (Wuludomba Pancal Panggung). Bojonegoro: Pamarsudi Sastra Jawi.

Kartodirjo, Sartono. Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Buku III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mustopo, Habib. 2013. Sejarah Indonesia Program Wajib Kelas X. Bogor: Yudhistira.

Setiono, Andi. 2011. Ensiklopedi Blora: Alam, Budaya, dan Manusia Buku 1. Yogyakarta: The Heritage foundation.

Sudjarwadi, I.C. 1992. Kajian mimetic drama Balada Arya Penangsang. Laporan penelitian. Jember: Pusat Penelitian, Universitas Jember.

Pengaruh Tembakau Terhadap Perubahan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Temanggung Pada Tahun 1980-2000. Oleh : Ibnu jarir

  1. Latar Belakang Masalah

Tembakau mulai dikenal luas masyarakat Kabupaten Temanggung dan mulai diusahakan untuk memenuhi  kebutuhan keluarga. Sejak tahun 1956 petani beramai-ramai membuka lahan ilalang pada ketinggian 1100 m diatas permukaan laut untuk ditanami tembakau. Penanaman dilakukan guna memenuhi permintaan masyarakat setempat dengan mengolah menjadi tembakau garangan yang dirokok dengan campuran klembak dan kemenyan. Permintaan ini terjadi karena mulai dikenalnya tembakau Temanggung yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh daerah lain, sehingga permintaan akan tembakau mulai meningkat. Hal ini dibuktikan dengan mutu tembakau Temanggung terdiri dari 6 tingkatan, dimulai dari mutu terendah (A) hingga tertinggi (F). Penentuan mutu dengan uji sensori didasarkan pada kenampakan warna, pegangan, dan aroma

Sebagian besar penduduk Kabupaten Temanggung  bermata pencaharian sebagai Petani yang mengandalkan komoditi utama tembakau, Pada tahun 1990an tembakau merupakan Komoditi utama penduduk Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung, Sehingga kota Temanggung di kenal sebagai “Negeri Tembakau”, hal tersebut tentu saja berpengaruh kepada pola pikir dan tingkah laku kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung dengan adanya komoditi unggulan yang mempunyai nilai jual yang tinggi.

Dengan adanya nilai jual yang tinggi berbanding lurus dengan perubahan tingkat sosial ekonomi dan tingkah laku sosial masyarakat Temanggung pada Tahun 1980-2000 mendorong untuk hidup serba mewah dalam pepatah jawa masayarakat Kabupaten Temannggung menyebutkan dengan istilah “Pung nak pung no” arti dalam Bahasa Indonesia adalah “selagi enak selagi ada”, yang merupakan istilah bagi masyarakat Temanggung yang kurang berhati hati dalam mengolah keuangan dalam kehidupannya, karena masyarakat Temanggung pada tahun 1980-2000 memiliki komoditi unggulan berupa daun emas tembakau yang membuat mereka memiliki penghasilan lebih sehingga mampu mempengaruhi perubahan sosial ekonomi mereka.

Mobilitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan, walaupun hal itu dalam lingkup kecil. Di Kabupaten Temanggung ini sebagian besar penduduknya memilih untuk tetap tinggal di wilayahnya karena tanah merupakan harta mereka yang berharga. Luas kepemilikan tanah yang dimiliki penduduk dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka, sehingga mereka lebih memilih tinggal dan menggarap tanah mereka. Namun hal ini bukan berarti tidak ada penduduk yang keluar wilayah Kabupaten Temanggung. Biasanya penduduk yang meninggalkan wilayah ini ialah karena pernikahan. Selain itu mereka yang keluar wilayah dikarenakan sekolah dan tinggal di pondok pesantren akan tetapi pada akhirnya akan kembali lagi ke desanya masing masing.

Berdasarkan uaraian di atas penulis berminat untuk meneliti permasalahan tersabut dengan judul “Pengaruh Tembakau Terhadap Perubahan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten  Temanggung Pada Tahun 1980-2000”

  1. Rumusan Masalah dan Pernyataan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini adalah Komodit tembakau dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Temanggung Tahun 1980-2000

Untuk menjawab permasalahn tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian antara lain :

  1. Kondisi penduduk Kabupaten Temanggung hingga tahun sebelum 1980
  2. Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  3. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000

 

  1. Ruang lingkup masalah

 

Lingkup permasalahan yang dikaji dalam hal ini adalah    Kabupaten Temanggung, Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada wilayah Kabupaten Temangung  merupakan penghasil Komoditi tembakau yang unggul yang  terletak di Jawa Tengah Indonesia, Serta letak penyimpanan hasil produk yang telah dioleh petani tembakau yaitu pabrik Gudang Garam, Djarum, Bentoel sebagai Gudang tempat penyimpanan hasil tembakau yang telah diolah di jual petani ke pabrik terletak di Kabupaten Temanggung.

Tahun 1980 digunakan sebagai batas awal penelitian dan tahun 2000 sebagai batas akhir penelitian di karenakan pada tahun tersebut komoditi tembakau mencapai puncak emas kejayaan komoditi dan mempunyai peranan yang sangat penting yang mempengaruhi tatanan sosial ekonomi pada masyarakat Kabupaten Temanggung. Sebagai batas akhir tahun 2000 dikarenakan komoditi tembakau sudah menurun kualitasnya.

 

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian
  2. Tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :
  3. Untuk mengetahui kondisi penduduk Kabupaten Temanggung hingga tahun sebelum 1980
  4. Untuk mengetahui Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  5. Untuk mengetahui Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000

 

  1. Manfaat Penelitian ini antara lain sebagai berikut :
  2. Untuk melengkapi histiorogafi Indonesia tentang sejarah komoditi tembakau dalam mempengaruhi perubahan tatanan sosial ekonomi, khususnya Kabupaten Temanggung.
  3. Dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan Pemerintah Kabupaten Temanggung untuk membuat kebijakan di bidang pertanian khususnya komoditi tembakau.
  4. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini penulisan penelitian lebih ilmiah, data, tujuan, dan kegunaannya. Penulis menggunakan metode historis (Sejarah), yang memiliki empat langkah, Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Histiografi.

Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpu pada empat langkah kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi,dan Histiografi. (Dudung Abdulrahman: 2007: 53)

Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah sejarah yang terdiri dari 4 tahap, Hueristik pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat seperti Kantor arsip Perpustakaan daerah, koran, majalah media online dan juga wawancara dengan penduduk setempat, Pada tahap ini buku yang di temukan adalah laporan hasil Penelitian yang di lakukan oleh Eni rahmawati (2016) Dengan judul Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau di temukan di media Perpustakaan UNY. Skripsi Laporan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2007) Dengan judul Dampak panen raya tembakau  terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung di temukan di Perpustakaan UNNES, Laporan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Fatma artati anisa (2011) Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung ditemukan di Perpustakaan UGM.

Untuk melengkapi data yang ada agar lebih konkret dan valid peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat  di Kabupaten Temanggung yang hidup pada masa tahun 1980-2000 yang menjadi saksi sejarah kejayaan komoditi tembakau pada tahun tersebut.

Kritik sejarah di gunakan untuk melakukan pengujian dalam pengujian tahap pertama, kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Melakukan interpretasi dalam hal ini peneliti memberikan makna terhadap fakta yang sudah di ferivikasi menjadi fakta dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain

Tahap terakhir adalah histiorogafi atau menuliskan hasil yang di peroleh  tentang Pengaruh komoditi tembakau terhadap sosial ekonomi masyarakat. Judul Pengaruh Tembakau Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Temanggung Pada Tahun 1980-2000 berdasarkan kaidah kaidah ilmu sejarah.

 

  1. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu satunya tentang Penelitian sejarah yang berkaitan dengan Pengaruh Komoditi tembakau pada masyarakat Temanggung, Ada penelitian serupa yang sudah di teliti oleh peneliti lain antara lain :

  1. Penelitian yang di lakukan oleh Eni rahmawati (2016) Dengan judul Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau.
  2. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2007) Dengan judul Dampak panen raya tembakau terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung
  3. Penelitian yang dilakukan oleh Fatma artati anisa (2011) Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung

Penelitian yang saya kaji berbeda dengan penelitian sebelumnya perbedannya terletak pada keadaan gaya hidup sosial ekonomi petani tembakau pada saat panen raya tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 1980-2000 , yang berbeda dari ketiga peneliti sebelumnya adalah Penelitian ini lebih fokus pada Gaya hidup sosial ekonomi pada saat panen raya tembakau yang tidak bisa mengolah keuangan dengan baik dalam bahasa setempat di istilahkan dengan “pongnak pong no” dalam bahasa indonesianya selagi enak selagi ada. Dan bagaiamana perubahan tata niaga komoditi tembakau di Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000 yang merubah perilaku sosial ekonomi masyarakat setempat.

 

  1. Sistematika Penulisan

Untuk kepentingan ketertiban dan upaya mengarahkan penelitian, maka dalam proposal penelitian sejarah  ini peneliti sertakan proyeksi pembahasan penulisan laporan penelitian yang dapat dilihat sebagai berikut :

  1. BAB I Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, lingkup masalah, tujuan dan manfaat metode penelitian kajian pustaka dan sistenatika penulisan.
  2. BAB II Membahas kondisi penduduk Kabupaten Temanggung sebelum tahun 1980
  3. BAB III Membahas Pengaruh Komoditi tembakau terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000
  4. BAB IV Membahas kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada saat panen raya tembakau pada tahun 1980-2000
  5. BAB V Merupakan kesimpulan dari jawaban penelitian yang diajukan pada BAB 1.

Daftar Pustaka

Eni rahmawati Pengaruh Pertanian tembakau rakyat terhadap sosial ekonomi masyarakat kecamatan ngadirejo Kabupaten Temanggung Tahun 1970-1997, Mengulas Tentang Pendapatan keuangan petani tembakau Kecamatan Ngadirejo pada saat panen tembakau.2016 Skripsi . Yogyakarta Universitas Yogyakarta.

Munawaroh Dampak panen raya tembakau  terhadap tingginya perceraian di kecamatan Bulu Temanggung.2017 Skripsi . Semarang  : Universitas Negeri Semarang.

Fatma artati anisa Analisis Pendapatan petani tembakau di desa menggoro kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung.2011 Skripsi . Yogyakarta : Universitas Gajah mada.

BANJIR DI KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1861 DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Oleh : Heni Purwono

A. Latar Belakang
1861 merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Banyumas karena terjadi suatu bencana banjir yang paling dahsyat. Masyarakat sekitar menamakan peristiwa ini dengan sebutan Blabur Banyumas atau dalam bahasa Indonesia adalah Banjir Banyumas. Peristiwa ini bukan hanya menjadi sejarah yang dikenang, tetapi juga menimbulkan mitos-mitos yang dikaitkan dengan Blabur Banyumas. Mitos yang berkembang disana adalah ramalan seorang sesepuh tentang kedatangan peristiwa tersebut dan mitos mengapungnya Pendopo Si Panji1. Apapun mitos yang berkembang menjadi suatu kekayaan budaya bagi masyarakat Banyumas. Akan tetapi, sejarah terjadinya Blabur Banyumas pun perlu ditelusuri karena hal tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat sekitar.
UU Agraria yang disahkan pada tahun 1870 menjadi sebuah tanda bahwa kegiatan tanam paksa sudah berakhir. Hal ini menjadi kunci bahwa pada saat banjir terjadi Kabupaten Banyumas masih dalam kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. M. Koderi dalam bukunya “Banyumas Wisata dan Budaya” menyebutkan residen pada masa itu adalah Residen Salomon van Deventer.
1 M. Koderi, Banyumas Wisata dan Budaya, CV Metro Jaya, Purwokerto, 1991, Hlm. 107-108
Informasi ini sekaligus membuka pikiran kami untuk menelurusi jejak pemerintah Hindia-Belanda pada saat peristiwa Blabur Banyumas ini terjadi.
Dalam setiap peristiwa yang terjadi pasti akan menimbulkan suatu dampak. Begitupun dengan peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas pada tahun 1861. Berkenaan dengan keberadaan pemerintah Hindia-Belanda pada masa itu tentu menjadi isyarat bagi kami untuk menelusuri dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya Blabur Banyumas.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah banjir di Kabupaten Banyumas yang pada tahun 1861. Untuk menjawab permasalahan tersebut penulis akan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian diantaranya :
a. Bagaimana kondisi geografi Kabupaten Banyumas pada tahun 1861?
b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya banjir di Kabupaten Banyumas pada tahun 1861?
c. Bagaimana dampak yang ditimbulkan bagi pemerintah Hindia-Belanda maupun masyarakat akibat peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas tahun 1861?
C. Ruang Lingkup Masalah
Lingkup dari permasalahan yang kami kaji meliputi lingkup permasalahan, lingkup spasial, dan lingkup temporal. Lingkup tersebut adalah peristiwa banjir yang melanda Kabupaten Banyumas pada tahun 1861.
D. Tujuan Penelitian
Banyumas yang kaya akan kisah-kisah sejarah menjadi salah satu daya tarik bagi para penulis sejarah untuk menelurusurinya. Begitupun dengan peristiwa banjir tahun 1861 yang sampai saat ini masih dikenang oleh masyarakat Banyumas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini antara lain :
a. Mengetahui kondisi geografi Kabupaten Banyumas pada tahun 1861.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya banjir di Kabupaten Banyumas pada tahun 1861.
c. Menguraikan dampak yang ditimbulkan bagi pemerintah Hindia-Belanda maupun masyarakat akibat peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas tahun 1861.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi Historiografi Indonesia tentang Sejarah Bencana khususnya mengenai topik banjir di Kabupaten Banyumas yang terjadi tahun 1861. Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya mengenai Sejarah Banyumas maupun Sejarah Bencana.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang kami gunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah. Metode tersebut terdiri dari empat tahap, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
a. Heuristik
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan sumber di berbagai tempat seperti Pondok Pesantren Miftahussalam Banyumas, Arsip Nasional Republik Indonesia, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah, serta Kantor Perpustakaan, dan Arsip Daerah Kabupaten Banyumas. Sumber yang kami temukan diantaranya :
1. Prasasti Blabur Banyumas,
2. Babad Banyumas, Buku “Menuju Keemasan Banyumas” karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum. yang dipublikasikan tahun 2015,
3. Buku “Wisata dan Budaya Banyumas” karya M. Koderi yang dipublikasikan tahun 1991, dan
4. Buku “Bijdragen tot de kennis van het landelijk stelsel op Java” karya Salomon van Deventer yang dipublikasikan tahun 1865.
b. Kritik
Kritik digunakan untuk menguji valid atau tidaknya suatu sumber sejarah. Dalam tahap ini kami melakukan kritik sumber dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sumber-sumber itu adalah yang kami sebutkan di atas.
c. Interpretasi
Dalam hal ini kami memberikan makna terhadap fakta-fakta sejarah yang dihasilkan melalui hasil verifikasi serta menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lainnya.
d. Historiografi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap ini kami menghasilkan sebuah tulisan yang berjudul “Banjir di Kabupaten Banyumas Tahun 1861 Dalam Perspektif Sejarah”, berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu sejarah.
G. Kajian Pustaka
Penelitian ini bukanlah satu-satunya yang menjelaskan tentang peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas pada tahun 1861. Akan tetapi, ada satu peneliti yang telah menuliskan hal serupa yakni termaktub dalam Buku “Menuju Keemasan Banyumas” oleh Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum. yang menceritakan tentang peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas beserta mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat tetapi masih sangat sedikit keterangan tentang peristiwa tersebut. Selain itu, M Koderi juga telah menuliskan sejarah dari peristiwa Blabur Banyumas ini di bukunya yang berjudul “Banyumas Wisata dan Budaya”. Sayangnya jejak-jejak pemerintah Hindia-Belanda masih belum dijelaskan dalam penelitian mereka.
Penelitian yang kami kaji memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis lainnya. Dalam penelitian ini kami akan menjelaskan kondisi geografi Kabupaten Banyumas pada masa itu, faktor-faktor yang menyebabkan banjir di Kabupaten Banyumas, serta dampak-dampak yang ditimbulkan bagi pemerintah Hindia Belanda mauoun masyarakat akibat dari peristiwa banjir di Kabupaten Banyumas ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memahasi isi dari hasil penelitian ini, maka kami membuat sistematika penulisan. Penelitian ini ditulis dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
a. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
b. Bab II Kondisi Geografi Kabupaten Banyumas 1861
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana kondisi geografi Kabupaten Banyumas pada tahun 1861 tepatnya sebelum bencana banjir melanda.
c. Bab III Peristiwa Banjir di Kabupaten Banyumas 1861
Dalam bab ini akan diterangkan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bencana banjir di Kabupaten Banyumas.
d. Bab IV Dampak yang ditimbulkan Akibat Peristiwa Banjir di Kabupaten Banyumas 1861
Bab ini akan menjelaskan tentang dampak bagi pemerintah Hindia-Belanda maupun masyarakat Kabupaten banyumas setelah terjadinya banjir bandang pada tahun 1861.
e. Bab V Kesimpulan
Di dalam bab kesimpulan beiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian kan kami ajukan di Bab I.
f. Daftar Pustaka
Berisikan daftar pustaka-pustaka yang kami gunakan sebagai rujukan untuk melakukan penelitian ini.
g. Lampiran
Dalam lampiran akan ditampilkan sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan dan dikaji.

Dampak Keberadaan Kawasan Kota Lama Bagi Perkembangan Kota Semarang (Abad 18 – Awal Abad 20). Oleh: Dwi Klarasari

 

  1. Latar Belakang Masalah

Kawasan Kota Lama merupakan bagian tak terpisahkan dalam perkembangan kota Semarang. Bagian kota ini tidak sepenuhnya tumbuh secara alami melainkan dibentuk dengan konsep perkotaan tertentu oleh penguasa VOC pada awal abad 18 (tahun 1700-an). Kawasan kota lama tersebut diberi batas (boundaries) jelas berupa kanal-kanal dan dibangun dengan struktur kawasan serta konsep dan gaya arsitektur menyerupai kota-kota yang ada di negeri Belanda. Di kemudian hari “embrio kota lama” tersebut tampil sebagai “Belanda kecil” di dalam kota Semarang, sehingga dikenal sebagai “Little Netherland”.

Keberadaan kota lama tidak sekadar menjadi jejak penguasaan VOC dan pendudukan pemerintahan kolonial Belanda di kota Semarang. Kawasan kota lama yang berada di wilayah utara (pesisir) Semarang juga menjadi embrio koloni masyarakat Eropa yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terbentuknya koloni masyarakat beberapa etnis lain di dalam dan sekitar kawasan. Dengan demikian Kawasan Kota Lama membawa dampak perubahan pada kondisi sosial budaya masyarakat Semarang. Selain itu Kota lama juga menjadi pusat pemerintahan (VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda) dan tumbuh sebagai pusat perdagangan.

Memperhatikan jejak-jejak peradaban tersebut, kawasan Kota Lama Semarang adalah objek penelitian yang sangat potensial. Berbagai penelitian dari berbagai sudut pandang telah dilakukan. Penelitian ini ingin mengungkap dampak kawasan kota lama bagi perkembangan kota Semarang pada abad 18 hingga awal abad 20— dari kota Semarang yang tradisional menjadi kota perdagangan yang modern pada masanya.

 

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah yang dikaji dari penelitian ini adalah apa dan bagaimana dampak keberadaan Kawasan Kota Lama terhadap perkembangan Kota Semarang? Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

  1. Kapan dan bagaimana embrio Kawasan Kota Lama Semarang mulai ada?
  2. Kapan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi sehingga embrio kota lama diubah (oleh VOC) menjadi kawasan khusus dan diberi batas fisik?
  3. Aktivitas apa saja yang terjadi di Kawasan Kota Lama (abad 18 s/d awal abad 20) dan bagaimana aktivitas tersebut berlangsung?
  4. Apa dampak ekonomi, politik, dan sosial budaya yang ditimbulkan oleh aktivitas di kawasan kota lama bagi perkembangan kota Semarang (abad 18 s/d awal abad 20)?
  5. Bagaimana gambaran perubahan Semarang sebelum dan setelah keberadaan (terbentuknya) kawasan kota lama?

 

  1. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah dampak keberadaan kawasan kota lama bagi perkembangan kota Semarang pada tahap awal. Ruang lingkup spasialnya adalah Kawasan Kota Lama Semarang yang memiliki luas sekitar 40 hektar dengan batas-batas tertentu. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada sejarah pembentukan dan karakteristik kawasan serta dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan kota Semarang.

Lingkup temporalnya berkisar antara abad 18 (tahun 1700-an) sampai dengan awal abad ke-20 (tahun 1900-an). Abad 18 digunakan sebagai batas awal penelitian karena merupakan masa embrio kota lama. Sementara itu, batas akhir dipilih awal abad 20 karena masa tersebut menjadi masa-masa kejayaan Kota Lama dan puncak perkembangan Kota Semarang pada tahap awal—sebelum akhirnya pusat kota bergeser ke arah selatan dan kawasan kota lama perlahan menjadi kota yang cenderung mati suri.

 

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan awal dan proses terbentuknya kawasan kota lama; mengidentifikasi perubahan dan perkembangan perekonomian kota Semarang sebagai dampak keberadaan kawasan kota lama.  Penelitian ini juga bertujuan memahami kondisi sosial budaya masyarakat kota Semarang terkait keberadaan kawasan kota lama.

Manfaat penelitian adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang Kota Semarang khususnya terkait dengan perkembangan kota dan perubahan sosial budaya oleh pengaruh keberadaan kawasan kota lama.

 

  1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap berikut.

  • Pertama adalah tahap heuristik. Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber di berbagai tempat, seperti perpustakaan (luring/daring). Sumber yang didapat pada tahap ini, antara lain berita-berita tentang Kawasan Kota Lama Semarang yang ditemukan di internet; beberapa buku yang menyinggung keberadaan Kawasan Kota Lama Semarang yang didapat dari perpustakaan (luring/daring); abstrak dari beberapa penelitian sebelumnya yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah (luring/daring); video penjelasan ahli terkait sejarah kota lama yang ditemukan secara daring (youtube); dan sebagainya.
  • Kedua adalah tahap kritik. Kritik sejarah dilakukan terhadap sumber sejarah yang ditemukan pada tahap pertama. Kritik dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dan yang lain.
  • Ketiga adalah tahap interpretasi. Dalam hal ini penulis memberikan makna terhadap fakta-fakta (sumber yang telah diverifikasi) dan menghubungkan satu fakta dengan fakta yang lain.
  • Terakhir adalah tahap historiografi, yaitu menuliskan hasil penelitian tentang peran penting kawasan kota lama bagi perkembangan kota Semarang berdasarkan kaidah-kaidah ilmu sejarah.

 

  1. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu-satunya penelitian tentang Kota Lama Semarang. Ada beberapa penelitian serupa yang telah ditulis oleh peneliti lain, misalnya:

  • Buku berjudul Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang karangan L.M.F. Purwanto dan R. Soenarto, yang mengulas tentang tempat-tempat dan jalan-jalan di kawasan kota pada abad 18 s/d awal abad 19 dari Jaman VOC sampai Gemente Van Semarang.
  • Buku berjudul Semarang Tempo Dulu: Teori dan Desain Kawasan Bersejarah, karangan Wijanarka, yang mengulas tentang penerapan dan pembuktian teori-teori desain kawasan pada kawasan Kota Lama Semarang.

 

Penelitian ini nantinya akan berbeda dengan beberapa penelitian lain yang telah ada sebelumnya. Perbedaan terletak pada kajian topik tentang “Kawasan Kota Lama”. Pada tulisan ini kajian tentang Kawasan Kota Lama terutama dikaitkan dengan peran pentingnya terhadap perkembangan kota Semarang pada tahap awal. Perkembangan kota yang dimaksud selain berhubungan dengan perekonomian juga sosial budaya masyarakat. Dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep tentang kawasan dan kota. Kawasan kota lama yang dimaksud dalam judul adalah suatu area dengan batas-batas tertentu yang terletak di wilayah kota Semarang bagian utara yang dibangun pada abad ke-18 di zaman kolonial Belanda.

 

  1. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan dalam penelitian “Dampak Keberadaan Kawasan Kota Lama pada Perkembangan Kota Semarang (Abad 18 s/d Awal Abad 20)” ini terdiri dari 5 bab sebagai berikut.

Bab I     merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II    membahas tentang sejarah kedatangan Portugis dan VOC ke Semarang hingga terbentuknya koloni masyarakat Portugis/VOC di kawasan “Embrio Kota Lama” dan koloni etnis lain di dalam dan sekitar kawasan.

Bab III   membahas tentang pembangunan “kawasan kota lama” atas inisiatif VOC dengan berbagai maksud dan tujuan, mencakup alasan politik, sosial, dan ekonomi. Pada bab ini juga dibahas pertumbuhan kawasan “Embrio Kota Lama” di bawah Kekuasaan VOC s/d Pemerintah Kolonial Belanda.

Bab IV  membahas tentang dampak keberadaan Kawasan Kota Lama bagi perkembangan kota Semarang—dari kota tradisional hingga tumbuh menjadi kota perdagangan yang modern. Dalam bab ini juga dibahas perubahan sosial budaya masyarakat sebagai dampak dari keberadaan kawasan Kota Lama.

Bab V    merupakan penutup berisi kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan pada Bab I.

 

  1. Daftar Pustaka

Referensi Buku/Jurnal:

  1. Budiman, Amen. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu Jilid Pertama. Semarang: Penerbit Tanjung Sari.
  2. Colombijn, Freek, et al. (Editor). 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  3. Joe, Liem Thian. 1931. Riwajat Semarang. Semarang: Boekhandel Ho Kim Joe.
  4. Oemar, Sudarjo, dan Abu Suud. 1931. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan.
  5. Purwanto, L.M.F. 2005. Kota Kolonial Lama Semarang (Abstrak Disertasi). Dimensi – Journal of Architecture and Built Environment. Vol. 33, No. 1, July 2005.
  6. Purwanto, L.M.F dan R. Soenarto. 2012. Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang. Jakarta: Bina Manggala Widya.
  7. Raap, Oliver Johannes. 2015. Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
  8. Sadono, Bambang. 2001. Semarang dalam Kenangan. Semarang: Penerbit Mandiri.
  9. Stockdale, John Joseph & John Bastin. 1995. Island of Java. Singapore: Antiques of the Orient Pte Ltd.
  10. Thorn, Major William. 1993. The Conquest of Java. Singapore: Antiques of the Orient Pte Ltd.

 

Media Daring:

  1. Kota Lama Semarang (https://id.wikipedia.org)
  2. Kota Lama Semarang (http://wisatajateng.com)
  3. Kota Semarang (https://id.wikipedia.org)
  4. Sejarah Kota Lama Semarang dari Masa ke Masa (https://semarangpedia.com)
  5. Sejarah Kota Semarang Lengkap beserta Peninggalan Bersejarah (http://sejarahlengkap.com)
  6. Sejarah Semarang (https://sejarahsemarang.wordpress.com/)
  7. Semarang Old Town (http://whc.unesco.org)

 

Sumber Lain yang Relevan:

  1. Film Dokumenter Kawasan Kota Lama Semarang (youtube)
  • Kota Lama dalam Balutan Sejarah Semarang (Interview Badan Pengelola Kawasan Kota Lama)
  • Misteri Benteng Kota Lama Semarang (Balai Arkeologi D.I Yogyakarta)
  1. Foto-foto Semarang Tempo Dulu (dari referensi yang ada)
  2. Foto-foto Kota Lama Semarang Tempo Dulu (dari referensi yang ada)
  3. Foto-foto Kota Lama pada Masa Kini (koleksi pribadi)

Sisi Gelap dalam Kejayaan Rempah: Perebutan Rempah Antara Penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda Maluku Tahun 1602-1621. Oleh MIFTAHUL AKHYAR GHOFARI

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Sebelum Kedatangan bangsa barat, kegiatan perdangan di Indonesia sudah menjadi jalur perdangan internasional, jalur perdangan darat dimulai dari china melalui asia tengah, Turkestan hingga laut tengah dimana jalur ini juga berhubungan dengan jalur kafilah dari india dan juga jalur ini juga disebut sebagai jalur sutra “Silk Road”.  Selain itu pula Adapun jalan perniagaan melalui jalur laut juga dimulai dari Cina malalui laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk s, melalui Syam (Suriah) sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir, lalu menuju Laut Tengah Pada waktu itu komoditas ekspor dari wilayah Nusantara yang sampai di pasaran India dan Kekaisaran Romawi (Byzantium), antara lain; rempah rempah, kayu wangi, kapur barus, kemenyan, gaharu (lignum aloes), kayu manis hijau, cengkeh yang biasa disebut oleh orang Tiongkok “dupa kayu[1].

Zaman perekonomian Asia yang telah maju, berkembang dengan baik dan berkuasa luas, perekonomian Eropa belum mencapai taraf yang demikian. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia pada abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 adalah imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium. Penguasaan wilayah-wilayah itu sekaligus meyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat. Akibatnya, barang-barang dagangan dari Timur menjadi langka dan mahal. Para pedagang Eropa akhirnya mencari jalan alternatif ke tempat penghasil rempah-rempah (Ricklefs 1986) setelah Perang Salib, rute perdagangan ke Timur ditutup Kesultanan Otoman bagi pedagang Eropa sehingga Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda bertekad untuk menemukan sendiri kepulauan yang menjadi sumber rempah-rempah dimana dalam sastra arab[2].

Maluku merupakan daerah yang telah dikenal sebagai jalur perdangan yang sangat luar biasa sejak jaman lampau. Wilayah ini masuk ke dalam jaringan perdangan yang terkenal karena Jaringan perdagangan masa lampau menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi utama. Dalam konteks ini, wilayah Maluku dikenal sebagai surga rempah-rempah, karena dua komoditi utama yang dihasilkan yaitu cengkih (Sysgium aromaticum; Eugenia aromaticum) dan pala (Myristica fragrans).[3]

Sejak awal kedatanganya bangsa eropa yang utamanya adalah belanda hanya untuk berdagang rempah rempah. Hal ini ditandai dengan adanya ekspedisi-ekspedisi belanda pada akhir abad ke 16 yang berhasil untuk menjalin kerjasama dengan pusat perdangan yang ada di daerah Maluku (khususnya di daerah Hitu dan Banda). Setelah kedatangan bangsa eropa mereka mulai mendirikan loji-loji atau gudang gudang yang akan digunakan untuk menampung komuditi rempah tersebut. Loji inilah yang kemudian dikembangkan sebagai banteng-benteng pertahanan dalam upaya menguasai rempah di Maluku.[4]

Cukup banyaknya bangsa eropa yang mendirikan kongsi kongsi dagang di Indonesia seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)-Belanda, EIC (East India Company)-Inggris, CDI (Compagnie des Indes)-Perancis, Portugis East India Company – Portugis. Membuat semua kongsi tersebut berusaha untuk memonopoli pasar rempah-rempah yang ada di Maluku dan juga mencoba meningkatkan produksi rempah-rempah (lada dan pala) dengan memusatkan perkebunan rempah tersebut. Kongsi dagang tersebut juga melakukan program program yang merugikan penduduk local di Maluku seperti perebutan Pulau Banda,

Kongsi dagang yang ada di daerah tersebut saling berlomba lomba untuk memonopoli rempah yang ada disana. Sebelum pasukan  Belanda dating Masyarakat Banda saat itu telah menjalin relasi dengan Inggris yang juga menghendaki surga rempah-rempah di Maluku. Kehadiran VOC atau Belanda di Banda membuat situasi memanas yang dapat membuat pecahnya Peperangan di daerah tersebut. Perebutan sekaligus pembantaian di pulau banda oleh Belanda dipimpin oleh JP Coen pada tahun 1921 dengan ribuan pasukan dan membunuh lebih dari 13 000 penduduk pulau banda.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang TSB, maka penelitian ini mengkaji  perebutan rempah di pulau banda banda pada tahun 1602-1621. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan yaitu ;

  1. Mengapa terjadi perebutan rempah di pulau banda antara penduduk asli dan Belanda?
  2. Bagaimana reaksi dari fenomena tersebut?
  3. Bagaimana dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi masyarakat banda maupun Belanda?
  4. Ruang Lingkup

Lingkup permasalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah perebutan Rempah yang terjadi dipulau banda, Secara geografis penelitian ini mengambil lokasi di daerah Kepulauan Banda. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Kepulauan Banda tersebut merupakan penghasil rempah. Tahun  1602 digunakan sebagai batas awal penelitian karena pada tahun tersebut diyakini adalah waktu awal kehadiran  VOC. 1621 Karena pada tahun tersebut perdagangan rempah di Pulau Banda telah dikuasai oleh VOC.

 

  1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

  1. Mengidentifikasi kejadian perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda.
  2. Menjelaskan reaksi kejadian perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda.
  3. Menjelaskan bagaimana dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi masyarakat banda maupun Belanda.
  4. Manfaat
  5. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah Maluku khususnya tentang perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda.
  6. Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini metode sejarah yang terdiri dari 4 yaitu ; heuristic, kritik sejarah, intrepretasi dan histioriografi.

  1. Metode Heuristik , Peneliti melakukan pencarian terhadap sumber sumber sejarah baik sumber primer maupun sumber sekunder dalam bentuk tulisan atau lisan. dimana pada tahap ini dilakukan pencarian sumber ke Perpustakaan Daerah dimana ditemukan berupa Jurnal yang berjudul  “Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” oleh Syahruddin Mansyur dalam Jurnal Kapata tahun 2014., Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” oleh John A Patty Kayhatu dalam jurnal Kapata tahun 2012.,  Buku Karangan Giles Nilson “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000., Buku karangan  Des Alwi “Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon” terbitan Dian Rakyat tahun 2005., Jurnal yang berjudul,“Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku”oleh John A. Pattikayhatu, terbitan
    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31., Buku, “Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala” oleh Willard Anderson Hanna terbitan Gramedia tahun 1983., , Buku berjudul “Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:111” oleh R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina terbitan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1999., Website  “Genosida VOC”, historia.id, Hendri F. Isnaeni 2010

 

  1. Kritik Sejarah, Kritik Sejarah dilakukan untuk menguji keabsahan dari sumber sejarah yang diperoleh pada tahap heuristik. Kritik sejarah dilakukan dengan membandingkan dengan membandingkan Jurnal “Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” oleh John A Patty Kayhatu dalam jurnal Kapata tahun 2012 dengan Buku Karangan Giles Nilson “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000., serta Buku karangan  Des Alwi “Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon” terbitan Dian Rakyat tahun 2005.,  

Membandingkan Jurnal yang berjudul,“Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku”oleh John A. Pattikayhatu, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31 dengan Buku berjudul  “Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” oleh Syahruddin Mansyur dalam Jurnal Kapata tahun 2014 serta Buku “Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala” oleh Willard Anderson Hanna terbitan Gramedia tahun 1983 dan website  “Genosida VOC”, historia.id, Hendri F. Isnaeni 2010

 

  1. Intrepretasi, Peneliti memberikan makna terhadap sumber-sumber sejarah dengan menghubungkan sumber sumber yang satu dengan sumber sumber sejarah yang lain
  2. Historiografi, Menuliskan kisah tentang Sisi Gelap dalam Kejayaan Rempah: Perebutan Rempah Antara Penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda Maluku Tahun 1602-1621 berdasarkan kaidah kaidah ilmu sejarah.

 

  1. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu satunya tentang Pembantaian Banda  dalam perebutan Rempah di Maluku Tahun 1602-1621 ada beberapa penelitian serupa yang telah di tulis oleh peneliti lain yaitu:

  1. id/pembantaian-orang-orang-banda dan ambisi JP Coen

menceritakan tentang pembantaian orang orang banda yang disebabkan oleh ambisi JP Coen untuk menguasai pusat dari rempah yang berupa pala.

  1. Jurnal Syahruddin Mansyur “SISTEM PERBENTENGAN DALAM JARINGAN NIAGA CENGKIH MASA KOLONIAL DI MALUKU” menceritakan tentang colonial yang ada di Maluku yang dibentuk dengan menggunakan benteng sebagai pusat perdagangan sekaligus perdangan rempah. Penggunaan benteng sebagai pusat perdagangan sekaligus perdagangan digunakan karena benteng dianggap dapat menunjukan eksistensi dan juga dapat memusatkan kekuatan.
  2. Jurnal John A Patty Kayhatu “BANDAR NIAGA DI PERAIRAN MALUKU DAN PERDAGANGAN REMPAH-REMPAH” menceritakan tentang Kepulauan Maluku yang termasuk dalam jaringan perdagangan di Nusantara sejak masa lampau, dimana para pedagang mancanegara telah berhubungan dengan penduduk Maluku dalam perdagangan berbagai jenis komoditi terutama rempah-rernpah (cengkih dan pala). Penduduk menanam cengkih dan pala karena mendatangkan hasil dan keuntungan yang melimpah. adanya perdagangan rempah rempah tersebut, penduduk Maluku dapat membeli atau menukarkan dengan bahan pakaian, sutera dan porselen atau keramik.
  3. Jurnal “Syahruddin Mansyur” PERDAGANGAN CENGKIH MASA KOLONIAL DAN JEJAK PENGARUHNYA DI KEPULAUAN LEASE

Menceritakan tentang perdagangan cengkeh yang terpusat di Kepulauan Lease dimana  kebijakan monopoli cengkih yang diterapkan oleh bangsa Eropa khususnya Belanda merupakan periode penting dalam historiografi lokal Kepulauan Maluku. Kebijakan tersebut telah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Kepulauan Maluku hingga saat ini baik kebijakan maupun aspek social budaya.

 

Penelitian yang saya tulis berbeda dengan tulisanya yaitu pada penelitian tentang dampak yang terjadi  dan  penelitian ini digunakan konsep konsep perdagangan rempah

 

7, Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan diawali dengan pendahuluan pada bab 1 yang berisi tentang latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka , dan sistematika penulisan. Bab 2  akan membahas tentang latar belakang terjadinya perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda. Bab 3 akan membahas tentang reaksi dari fenomena perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda baik dalam sudut pandang penduduk asli maupun belanda. Bab 4 akan membahas dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi penduduk asli maupun Belanda dan  Bab 5 merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Alwi Des.2005.Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon. Dian Rakyat .,

A Patty kayhatuu.2012.”Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” jurnal Kapata tahun 2012.,

A Patty kayhatuu.2012.Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31.,

Hanna Willard Anderson. 1983.Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala. Gramedia

historia.id,  “Genosida VOC”,  Hendri F. Isnaeni 2010

Leirissa RZ dan Latuconsina Djuariah.1999.Sejarah Kebudayaan Maluku.Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan

Mansyur Syahrudin.2011.Jejak Tata Niaga Rempah Rempah dalam Jaringan Perdangan Masa Kolonial” Jurnal Kapata

Mansyur Syahrudin.2014.Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” Jurnal Kapata

Mansyur Syahrudin.2013.Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan jejak Pengaruhnya di kepulauan  Lease” Jurnal Kapata

Nilson Giles “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000.,

[1] Syahrudin Mansyur,Jejak Tata Niaga Rempah Rempah dalam Jaringan Perdangan Masa Kolonial, (Ambon: Kapata 2014) hlm 30.

[2] Sem Touwe, Maluku Pusat Rempah-Rempah dan Pengaruhnya dalam Era Niaga Sebelum Abad 19, hlm 6

[3] Syahrudin Mansyur..Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan jejak Pengaruhnya di kepulauan  Lease” (Ambon: Kapata 2013) hlm 43

DAMPAK KEBERADAAN PUSKESMAS BAGI KESEHATAN MASYARAKAT PUNGGELAN, 1967-1985

Oleh: Hendi Setiyanto

Puskesmas Punggelan l, Banjarnegara, Jawa Tengah tahun 2018 Tahun 2018

BAB l

  1. LATAR BELAKANG

 

Berawal dari adanya keinginan dari beberapa tokoh masyarakat Punggelan untuk membentuk sebuah Balai Pengobatan bagi masyarakat sekitar maka pada tahun 1967 terbentuklah cikal bakal dari Puskesmas seperti sekarang ini yang berada di Dusun Ribug, Punggelan.

Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas adalah satu unit pelaksanaan fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, di mana pendekatan yang digunakan memperhatikan berbagai aspek kehidupan dari para pemakai jasa pelayanan kesehatan tersebut.

Program-program kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas terdiri atas beberapa upaya di antaranya adalah Upaya Kesehatan Perseorangan  (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) atau bisa disebut dengan istilah promotif dan preventif (promosi dan pencegahan).

  1. PERMASALAHAN

Permasalahan tentang peranan puskesmas bagi peningkatan kesehatan masyarakat dari tahun 1967-1985. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka diajukan beberapa pertanyaan antara lain:

  1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.
  2. Bagaimana peran Puskesmas dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Punggelan?
  3. Apa manfaat keberadaan Puskesmas bagi masyarakat sekitar?

 

  1. RUANG LINGKUP MASALAH
  2. Puskesmas dan peningkatan kesehatan masyarakat yang dimulai dari tahun 1967-1985 di Punggelan.
  3. Mengapa Punggelan dipilih sebagai lokasi penelitian?
  4. Mengapa menentukan tahun 1967 sebagai batas awal penulisan dan tahun 1985 sebagai batas akhir tahun penelitian
  5. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui latar belakang dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.
  2. Untuk mengetahui bagaimana peran Puskesmas dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Punggelan.
  3. Untuk mengetahui apa manfaat dari keberadaan Puskesmas bagi masyarakat sekitar Punggelan.

 

  1. MANFAAT PENELITIAN 

Manfaat penelitian ini adalah:

  1. Untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang masalah kesehatan di Kecamatan Punggelan.
  1. METODE PENELITIAN

 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah yaitu:

  1. Heuristik

Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber secara lisan maupun tulisan di berbagai tempat di antaranya melalui arsip dokumen pendirian Puskesmas Punggelan di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, Koran yang terbit pada tahun 1967 tentang berita yang berisi pendirian Puskesmas Punggelan serta sumber lisan berasal dari tokoh masyarakat dan anggota LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Punggelan yaitu Bapak Mardhan.

  1. Kritik

Kritik sejarah didapat melalui beberapa sumber dari hasil wawancara antara Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan ibu Endang Margiyati sebagai saksi hidup dari berdirinya Puskesmas Punggelan untuk memperoleh informasi dan membandingkannya sehingga didapat kesimpulan yang menunjukan kesamaan sumber informasi.

  1. Interpretasi

Pada tahap interpretasi dilakukan dengan cara menafsirkan suatu peristiwa, fakta sejarah, dan merangkainya dalam kesatuan yang masuk akal,  makna terhadap fakta-fakta yang sudah ditemukan dan fakta tersebut dihubungkan antara satu dengan yang lain.

  1. Historiografi

Merupakan tahapan terakhir yaitu melakukan penulisan kisah sejarah Puskesmas Punggelan berdasar pada kaidah yang berlaku dalam ilmu sejarah.

 

  1. KAJIAN PUSTAKA

 

Penelitian ini merupakan bukan satu-satunya yang membahas tentang sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan, sebelumnya sudah ada penelitian lain yang serupa akan tetapi kontennya berbeda, di antaranya:

Dokumen-dokumen yang dipergunakan berupa arsip dokumen pendirian Puskesmas Punggelan yang berada di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, Koran yang terbit pada tahun 1967 tentang berita yang berisi pendirian Puskesmas Punggelan.

 

 

  1. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan  terdiri dari 5 bab antara lain:

Bab 1 – Pada bab 1 akan dibahas mengenai pendahuluan, atar belakang, permasalahan, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan kajian pustaka.

Bab 2 – Dalam bab 2 akan dibahas tentang apa yang melatarbelakangi dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.

Bab 3 – Dalam bab 3, akan dibahas tentang penelitian tentang peran, fungsi, dan manfaat Puskesmas bagi masyarakat Punggelan.

Bab 4 –  Membahas dampak dari adanya Puskesmas sebelum dan sesudahnya terhadap masalah kesehatan masyarakat Punggelan.

Bab 5  – Kesimpulan, merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini

 

  1. DAFTAR PUSTAKA

 

Dinus.ac.id, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf (2010). Fungsi dari Puskesmas.

Wawancara dengan Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan Ibu Endang Margiyati

Arsip Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Surat keputusan pendirian Puskesmas Punggelan 1.

File Admen Akreditasi Puskesmas Punggelan 1 tahun (2016). Sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan 1.

Wikipedia Bahasa Indonesia, 25 Maret 2017. Punggelan, Kabupaten Banjarnegara.

BAB ll

 

 

 

Kecamatan Punggelan adalah sebuah kecamatan yang berada di barat laut pusat kota Banjarnegara. Sebagian besar wilayah Kecamatan Punggelan berada pada daerah yang berkontur tanah berbukit-bukit dan penyebaran penduduknya yang terpencar-pencar. Sementara itu akses untuk pelayanan kesehatan saat itu belum ada sama sekali. Akses kesehatan terdekat berada di Kecamatan Wanadadi dan pusat Kota Banjarnegara.

Sebagian besar mata pencaharian dari penduduk di Kecamatan Punggelan adalah dengan cara bertani. Metode pertanian yang digunakan mengikuti dengan kontur tanah yang banyak ditemui di sini. Jarang sekali ditemukan area persawahan karena keterbatasan lahan. Karena alasan itulah maka pertanian yang dilakukan adalah dengan cara menamam tanaman yang memiliki ekonomis tinggi pada saat itu yaitu tanaman ketela pohon, dan jagung.

Selain karena faktor geografisnya, mata pencaharian penduduknya, di Kecamatan Punggelan juga mempunyai masalah lain yaitu keberadaan institusi pendidikan. Lagi-lagi karena faktor geografis dan jauh dari pusat kota Banjarnegara membuat kesempatan penduduknya untuk mengenyam pendidikan terbilang terhambat. Karena rata-rata penduduknya berprofesi sebagai buruh tani maka kemungkinan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya boleh dibilang sangat kecil. Jangankan untuk bersekolah, sekedar mencukupi kebutuhan pokok kesehariannya saja masih kurang.

Pada tahun 1960-an, akses jalan di Kecamatan Punggelan tidaklah seperti sekarang ini. Jalan utama yang menghubungkan kota Banjarnegara-Wanadadi hingga ke Punggelan masih berupa jalan berbatu. Jadi bisa dibayangkan, keberadaan transportasi umum pastilah sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Keberadaan klinik dan rumah sakit hanya ada di Ibu kota Kabupaten Banjarnegara dan jaraknya lebih dari 25 kilometer. Dengan kondisi demikian, banyak penduduk Punggelan yang akhirnya memilih pengobatan non medis ketika ada anggota keluarganya yang sakit. Berangkat dari fakta-fakta tadi maka beberapa orang di Kecamatan Punggelan berinisiatif untuk membentuk Balai Pengobatan Umum bagi masyarakat di sekitar.

Faktor-faktor tadi membuat semacam efek domino hingga berdampak pada akses pelayanan kesehatan yang mudah dan terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu perlu secepatnya dibangun semacam Balai Pengobatan Umum yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.

 

BAB lll

 

Untuk mengetahui sejarah didirikannnya Puskesmas Punggelan, dapat dibagi dalam beberapa periode waktu yaitu:

Periode tahun 1960

Kecamatan Punggelan pada waktu itu adalah daerah yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan. Letaknya yang berjarak lebih dari 25 kilometer dari pusat Kota Banjarnegara dan sarana infrastruktur yang masih sangat terbatas menyebabkan masyarakat kesulitan mengakses berbagai macam fasilitas umum lebih khususnya akses terhadap layanan kesehatan umum.  [1]

Keberadaan tenaga kesehatan pun belum ada karena pemerataan serta terbatasnya sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sehingga apabila masyarakat Punggelan membutuhkan pelayanan kesehatan, mereka harus pergi ke Kecamatan tetangga yaitu Wanadadi. Sementara itu untuk beberapa kasus gawat darurat dan perlu penanganan lebih lanjut, mereka harus pergi lebih jauh lagi yaitu ke pusat Kota Banjarnegara.

Atas dasar itulah maka beberapa kelompok masyarakat yang peduli dengan akses layanan kesehatan masyarakat berinisiatif mendirikan bangunan sederhana di atas tanah milik perseorangan yang terletak di Dusun Ribug, Punggelan dan difungsikan sebagai Balai Pengobatan.

Periode 1960-1963

Pada periode ini, setelah adanya keberadaan Balai Pengobatan yang didirikan oleh beberapa kelompok masyarakat sudah berjalan beberapa tahun maka terdapat bantuan tenaga kesehatan berupa Mantri Kesehatan yang didatangkan dari Kecamatan tetangga yaitu Wanadadi.

 

 

Periode 1970

Pada periode ini, karena semakin berkembangnya Balai Pengobatan maka diputuskan untuk memindahkannya ke Dusun Loji, Desa Punggelan yang saat itu menempati tanah sementara milik pemerintah Desa Punggelan. Alasan lainnya adalah karena faktor geografis, lokasi Balai Pengobatan yang lama letaknya jauh dari keramaian sehingga perlu adanya pemindahan mendekati Pasar Manis yang menjadi pusat keramaian serta mobilitas warga Punggelan.

Pada tahun 1970, Balai Pengobatan ini juga mendapat tenaga tambahan lagi dari 1 orang pendatang tenaga Mantri Kesehatan dari Solo yaitu Bapak Sumadi. Lengkaplah sudah Balai Pengobatan saat itu karena mendapat tambahan tenaga kesehatan yang benar-benar kompeten yaitu Mantri dan Bidan.

Periode 1972

Pada periode ini, Balai Pengobatan yang sudah menempati lahan sementara di Dusun Loji atas izin dari pemerintah Desa Punggelan, akhirnya harus dipindahkan lagi menuju Desa Sidarata yang lokasinya tak jauh dari Dusun Ribug (awal mula didirikannya Balai Pengobatan) sekarang menjadi kantor KORAMIL Kecamatan Punggelan.

Pada periode inilah antusias masyarakat Punggelan akan adanya Balai Pengobatan semakin terkenal sehingga diubahlah namanya menjadi PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat). Selain itu juga PUSKESMAS ini mempunyai beberapa karyawan tambahan untuk membantu proses kelancarannya yaitu: Bapak Sugeng (Mantri Kesehatan), Ibu Yuni (Bagian Administrasi) dan Ibu Endang Margiyati (Bidan).

Periode 1980

Pada periode ini, Kecamatan Punggelan masih berkutat dengan masalah kesehatan karena kesadaran penduduknya untuk berperilaku hidup bersih dan sehat masihlah rendah, faktor rendahnya tingkat pendidikan serta faktor kemiskinan sehingga munculah kasus busung lapar atau Honger Oedem. Tercatat ada kurang lebih 30 orang yang menderita busung lapar ini sehingga membuat Balai Pengobatan semakin sibuk melayani pasien yang hendak berobat. Atas inisiatif Bapak Sumadi, untuk menampung kelebihan pasien tersebut maka beliau menyediakan rumahnya untuk dijadikan sebagai lokasi pengobatan yang letaknya berada di sebelah SDN 3 Punggelan dan tak jauh dari Balai Pengobatan tadi.

Periode 1983-1985

Pada periode ini, pemerintah Kabupaten Dati ll Banjarnegara hendak melaksanakan kegiatan proyek Puskesmas Inpres terutama di Wilayah Kecamatan Punggelan. Namun proyek tadi memberikan sebuah syarat yaitu harus tersedianya tanah yang akan dijadikan sebagai lahan pembangunan proyek Puskesmas Inpres. Karena kendala dana yang terbatas, saat itu pemerintah daerah hanya menggelontorkan dana untuk mengakomodasi kebutuhan mebeler dan bangunannya saja, sementara untuk pembelian tanah tidak ditanggung.

Atas permasalahan tadi maka pemerintah Kecamatan mengumpulkan 17 Kepala Desa untuk bermusyawarah menentukan lokasi yang disetujui untuk pembangunan Puskesmas dengan mempertimbangkan faktor geografis dan kemudahan akses.

Hasil dari musyawarah tadi menghasilkan kesepakatan yaitu lokasi Puskesmas berada di sekitar Pasar Manis Punggelan akan tetapi tanah yang digunakan adalah tanah milik Desa Punggelan dan Kepala Desa saat itu merasa keberatan. Namun ada seorang Kepala Desa Kecepit yang menawarkan tanahnya untuk dijadikan lokasi pembangunan Puskesmas. Usul tersebut ternyata ditentang oleh mayoritas Kepala Desa yang saat itu mengikuti musyawarah tadi karena beralasan lokasinya semakin menjauh. Desa Kecepit sendiri berada hampir di ujung perbatasan dengan Kabupaten Purbalingga sehingga sudah barang tentu aksesnya tidak berada di tengah-tengah masyarakat Punggelan.

Karena keterbatasan waktu, sementara proyek Puskesmas Inpres dari pemerintah Kabupaten Dati ll harus terus berlangsung maka proyek tersebut dialihkan ke Kecamatan Sigaluh (timur kota Banjarnegara).

Setelah perwakilan Kepala Desa, LKMD dan Kepala Desa Punggelan maka ditetapkan untuk mendirikan Puskesmas di atas tanah bengkok (tanah garapan desa) milik Desa Punggelan. Saat itu ditandatanganilah kesepakatan tadi oleh beberapa orang di antaranya adalah:

  1. Bapak Yusuf (Kepala Desa Punggelan),
  2. Bapak Mardhan (Ketua LKMD),
  3. Bapak Darmo (Camat Punggelan),
  4. Bapak Sumadi (Mantri)
  5. Bapak Sutikno (Kepala Desa Danakerta)
  6. Bapak Jarmono (Kepala Desa Karangsari)
  7. Bapak Tarom (Kepala Desa Klapa)
  8. Bapak Kamso (Kepala Desa Kecepit)

Beberapa orang yang hadir dalam musyawarah tadi (Bapak Yusuf, Mardhan, Darmo dan Sumadi) kemudian menghadap ke Kabupaten Dati ll Banjarnegara untuk menagih  kembali proyek pembangunan Puskesmas Inpres di Desa Punggelan. Pihak pemerintah mengeluarkan surat pernyataan bahwa Desa Punggelan menyediakan tanah untuk pendirian Puskesmas, namun tidak ada pernyataan bahwa tanah itu disewa atau dibeli jadi masih abu-abu status hukumnya.

Tercatat ada 3 orang yang memimpin Puskesmas Punggelan dalam periode waktu antara tahun 1967-1985 yaitu dr.Arif, dr.Poppy dan dr.Harjanto dengan kontribusinya masing-masing selama mereka memimpin Puskesmas ini.

 

BAB IV

 

Dengan adanya keputusan tentang penetapan keberadaan Puskesmas di tengah-tengah masyarakat Punggelan, secara tidak langsung berdampak pada kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Akan tetapi itu semua tidak bisa diubah dalam waktu singkat dan harus dilakukan secara terus menerus.

Tingkat pendidikan yang relatif rendah secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir mereka tentang kesadaran akan menjaga kesehatan, hidup bersih, sanitasi yang baik, pengaturan pola makan yang seimbang serta berolahraga secara teratur. Belum lagi pola pikir masyarakat pedesaan yang menganggap suatu penyakit terjadi karena kena aruh-aruh atau campur tangan makhluk gaib dan lebih memilih mendatangi orang yang dianggap pintar atau dituakan di kampungnya.

Seiring dengan perkembangan zaman dan dimudahkannya akses jalan raya dari dan ke Punggelan oleh pemerintah daerah, secara tidak langsung membuat nama Puskesmas semakin dikenal oleh masyarakat luas.

Contoh kasus untuk ibu hamil yang sebelum keberadaan Puskesmas, sebagian besar memilih melakukan persalinan dengan bantuan dukun bayi atau malah persalinan seorang diri yang sebenarnya sangatlah beresiko bagi sang ibu maupun bayinya. Dari sinilah peran bidan Puskesmas mulai muncul untuk mengedukasi ibu-ibu hamil untuk rutin memeriksakan kehamilannya mulai dari trimester awal, persalinan hingga pasca persalinan.

Belum lagi kesadaran para orang tua untuk mengikuti tumbuh kembang anak mereka mulai dari masa kehamilan (periode emas), balita hingga anak-anak yang kesemuanya memerlukan proses campur tangan masalah kesehatan. Mulai dari pemberian vaksin imunisasi, pemantauan perkembangan bayi dalam kegiatan POSYANDU serta memperhatikan kecukupan gizi dan edukasi tahapan-tahapan memberikan ASI ekslusif serta makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Secara fungsi ide pembentukan Puskesmas terjadi setelah diadakannya Rakerkesnas [2]pada tahun 1968 Jakarta yang saat itu membagi Puskesmas dengan beberapa kategori di antaranya adalah :

  • Tipe A dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh seorang dokter secara penuh
  • Tipe B dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh dokter secara tidak penuh dan
  • Tipe C dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh seorang tenaga paramedis

 

Secara fungsional peran Puskesmas, sebagai:

  1. Pusat pembangunan kesehatan masyarakat
  2. Pembina peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan hidup sehat
  3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat

Dengan ketiga peran tadi sedikit demi sedikit kesadaran warga Punggelan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat  dapat tercapai. Mulai dari kesadaran untuk memeriksakan diri saat kehamilan hingga pasca persalinan, memantau perkembangan kesehatan bayi dan anak, menerapkan pola hidup sehat serta kesadaran akan akses sanitasi yang baik terutama makin berkurangnya perilaku warga Punggelan yang BAB sembarang entah itu di kolam, kebun maupun di sungai.

 

BAB V

 

Berdasarkan penjelasan dari BAB l dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi geografis wilayah Kecamatan Punggelan dan belum adanya akses kesehatan masyarakat yang mudah dan terjangkau maka Pemerintah Daerah Dati ll Kabupaten Banjarnegara dan Instruksi Presiden tentang pendirian Puskesmas di tiap Kecamatan, maka perlu didirikan Balai Pengobatan dan selanjutnya berubah statusnya menjadi Puskesmas Punggelan. Dengan adanya Puskesmas ini, berdampak pada perubahan perilaku kesehatan masyarakat Punggelan yang tadinya acuh dengan masalah kesehatan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dinus.ac.id, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf (2010). Fungsi dari Puskesmas.

Wawancara dengan Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan Ibu Endang Margiyati

Arsip Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Surat keputusan pendirian Puskesmas Punggelan 1.

File Admen Akreditasi Puskesmas Punggelan 1 tahun (2016). Sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan 1.

Wikipedia Bahasa Indonesia, 25 Maret 2017. Punggelan, Kabupaten Banjarnegara.

 

Sistematika penulisan  terdiri dari 5 bab antara lain:

Bab 1 Pendahuluan dari latar belakang sampai sistematika.

Bab 2 Menguraikan tentang pertanyaan penelitian bab 1

Bab 3 Membahas tentang penelitian apa?

Bab 4 Membahas dampak dari adanya Puskesmas

Bab 5 Merupakan kesimpulan yang isinya menjawab pertanyaan dari bab 1.

[1] Sumber lisan dari Bapak Mardhan

[2] http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf

Sisi Gelap dalam Kejayaan Rempah: Perebutan Rempah Antara Penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda Maluku Tahun 1602-1621. Oleh: Miftahul Akhyar Gofari

I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Sebelum Kedatangan bangsa barat, kegiatan perdangan di Indonesia sudah menjadi jalur perdangan internasional, jalur perdangan darat dimulai dari china melalui asia tengah, Turkestan hingga laut tengah dimana jalur ini juga berhubungan dengan jalur kafilah dari india dan juga jalur ini juga disebut sebagai jalur sutra “Silk Road”.  Selain itu pula Adapun jalan perniagaan melalui jalur laut juga dimulai dari Cina malalui laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk s, melalui Syam (Suriah) sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir, lalu menuju Laut Tengah Pada waktu itu komoditas ekspor dari wilayah Nusantara yang sampai di pasaran India dan Kekaisaran Romawi (Byzantium), antara lain; rempah rempah, kayu wangi, kapur barus, kemenyan, gaharu (lignum aloes), kayu manis hijau, cengkeh yang biasa disebut oleh orang Tiongkok “dupa kayu[1].

Zaman perekonomian Asia yang telah maju, berkembang dengan baik dan berkuasa luas, perekonomian Eropa belum mencapai taraf yang demikian. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia pada abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 adalah imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium. Penguasaan wilayah-wilayah itu sekaligus meyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat. Akibatnya, barang-barang dagangan dari Timur menjadi langka dan mahal. Para pedagang Eropa akhirnya mencari jalan alternatif ke tempat penghasil rempah-rempah (Ricklefs 1986) setelah Perang Salib, rute perdagangan ke Timur ditutup Kesultanan Otoman bagi pedagang Eropa sehingga Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda bertekad untuk menemukan sendiri kepulauan yang menjadi sumber rempah-rempah dimana dalam sastra arab[2].

Maluku merupakan daerah yang telah dikenal sebagai jalur perdangan yang sangat luar biasa sejak jaman lampau. Wilayah ini masuk ke dalam jaringan perdangan yang terkenal karena Jaringan perdagangan masa lampau menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi utama. Dalam konteks ini, wilayah Maluku dikenal sebagai surga rempah-rempah, karena dua komoditi utama yang dihasilkan yaitu cengkih (Sysgium aromaticum; Eugenia aromaticum) dan pala (Myristica fragrans).[3]

Sejak awal kedatanganya bangsa eropa yang utamanya adalah belanda hanya untuk berdagang rempah rempah. Hal ini ditandai dengan adanya ekspedisi-ekspedisi belanda pada akhir abad ke 16 yang berhasil untuk menjalin kerjasama dengan pusat perdangan yang ada di daerah Maluku (khususnya di daerah Hitu dan Banda). Setelah kedatangan bangsa eropa mereka mulai mendirikan loji-loji atau gudang gudang yang akan digunakan untuk menampung komuditi rempah tersebut. Loji inilah yang kemudian dikembangkan sebagai banteng-benteng pertahanan dalam upaya menguasai rempah di Maluku.[4]

Cukup banyaknya bangsa eropa yang mendirikan kongsi kongsi dagang di Indonesia seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)-Belanda, EIC (East India Company)-Inggris, CDI (Compagnie des Indes)-Perancis, Portugis East India Company – Portugis. Membuat semua kongsi tersebut berusaha untuk memonopoli pasar rempah-rempah yang ada di Maluku dan juga mencoba meningkatkan produksi rempah-rempah (lada dan pala) dengan memusatkan perkebunan rempah tersebut. Kongsi dagang tersebut juga melakukan program program yang merugikan penduduk local di Maluku seperti perebutan Pulau Banda,

Kongsi dagang yang ada di daerah tersebut saling berlomba lomba untuk memonopoli rempah yang ada disana. Sebelum pasukan  Belanda dating Masyarakat Banda saat itu telah menjalin relasi dengan Inggris yang juga menghendaki surga rempah-rempah di Maluku. Kehadiran VOC atau Belanda di Banda membuat situasi memanas yang dapat membuat pecahnya Peperangan di daerah tersebut. Perebutan sekaligus pembantaian di pulau banda oleh Belanda dipimpin oleh JP Coen pada tahun 1921 dengan ribuan pasukan dan membunuh lebih dari 13 000 penduduk pulau banda.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang TSB, maka penelitian ini mengkaji  perebutan rempah di pulau banda banda pada tahun 1602-1621. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan yaitu ;

  1. Mengapa terjadi perebutan rempah di pulau banda antara penduduk asli dan Belanda?
  2. Bagaimana reaksi dari fenomena tersebut?
  3. Bagaimana dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi masyarakat banda maupun Belanda?
  4. Ruang Lingkup

Lingkup permasalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah perebutan Rempah yang terjadi dipulau banda, Secara geografis penelitian ini mengambil lokasi di daerah Kepulauan Banda. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Kepulauan Banda tersebut merupakan penghasil rempah. Tahun  1602 digunakan sebagai batas awal penelitian karena pada tahun tersebut diyakini adalah waktu awal kehadiran  VOC. 1621 Karena pada tahun tersebut perdagangan rempah di Pulau Banda telah dikuasai oleh VOC.

 

  1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

  1. Mengidentifikasi kejadian perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda.
  2. Menjelaskan reaksi kejadian perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda.
  3. Menjelaskan bagaimana dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi masyarakat banda maupun Belanda.
  4. Manfaat
  5. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang sejarah Maluku khususnya tentang perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda.

 

  1. Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini metode sejarah yang terdiri dari 4 yaitu ; heuristic, kritik sejarah, intrepretasi dan histioriografi.

  1. Metode Heuristik , Peneliti melakukan pencarian terhadap sumber sumber sejarah baik sumber primer maupun sumber sekunder dalam bentuk tulisan atau lisan. dimana pada tahap ini dilakukan pencarian sumber ke Perpustakaan Daerah dimana ditemukan berupa Jurnal yang berjudul  “Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” oleh Syahruddin Mansyur dalam Jurnal Kapata tahun 2014., Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” oleh John A Patty Kayhatu dalam jurnal Kapata tahun 2012.,  Buku Karangan Giles Nilson “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000., Buku karangan  Des Alwi “Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon” terbitan Dian Rakyat tahun 2005., Jurnal yang berjudul,“Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku”oleh John A. Pattikayhatu, terbitan
    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31., Buku, “Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala” oleh Willard Anderson Hanna terbitan Gramedia tahun 1983., , Buku berjudul “Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:111” oleh R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina terbitan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1999., Website  “Genosida VOC”, historia.id, Hendri F. Isnaeni 2010

 

  1. Kritik Sejarah, Kritik Sejarah dilakukan untuk menguji keabsahan dari sumber sejarah yang diperoleh pada tahap heuristik. Kritik sejarah dilakukan dengan membandingkan dengan membandingkan Jurnal “Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” oleh John A Patty Kayhatu dalam jurnal Kapata tahun 2012 dengan Buku Karangan Giles Nilson “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000., serta Buku karangan  Des Alwi “Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon” terbitan Dian Rakyat tahun 2005.,  

Membandingkan Jurnal yang berjudul,“Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku”oleh John A. Pattikayhatu, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31 dengan Buku berjudul  “Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” oleh Syahruddin Mansyur dalam Jurnal Kapata tahun 2014 serta Buku “Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala” oleh Willard Anderson Hanna terbitan Gramedia tahun 1983 dan website  “Genosida VOC”, historia.id, Hendri F. Isnaeni 2010

 

  1. Intrepretasi, Peneliti memberikan makna terhadap sumber-sumber sejarah dengan menghubungkan sumber sumber yang satu dengan sumber sumber sejarah yang lain
  2. Historiografi, Menuliskan kisah tentang Sisi Gelap dalam Kejayaan Rempah: Perebutan Rempah Antara Penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda Maluku Tahun 1602-1621 berdasarkan kaidah kaidah ilmu sejarah.

 

  1. Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu satunya tentang Pembantaian Banda  dalam perebutan Rempah di Maluku Tahun 1602-1621 ada beberapa penelitian serupa yang telah di tulis oleh peneliti lain yaitu:

  1. id/pembantaian-orang-orang-banda dan ambisi JP Coen

menceritakan tentang pembantaian orang orang banda yang disebabkan oleh ambisi JP Coen untuk menguasai pusat dari rempah yang berupa pala.

  1. Jurnal Syahruddin Mansyur “SISTEM PERBENTENGAN DALAM JARINGAN NIAGA CENGKIH MASA KOLONIAL DI MALUKU” menceritakan tentang colonial yang ada di Maluku yang dibentuk dengan menggunakan benteng sebagai pusat perdagangan sekaligus perdangan rempah. Penggunaan benteng sebagai pusat perdagangan sekaligus perdagangan digunakan karena benteng dianggap dapat menunjukan eksistensi dan juga dapat memusatkan kekuatan.
  2. Jurnal John A Patty Kayhatu “BANDAR NIAGA DI PERAIRAN MALUKU DAN PERDAGANGAN REMPAH-REMPAH” menceritakan tentang Kepulauan Maluku yang termasuk dalam jaringan perdagangan di Nusantara sejak masa lampau, dimana para pedagang mancanegara telah berhubungan dengan penduduk Maluku dalam perdagangan berbagai jenis komoditi terutama rempah-rernpah (cengkih dan pala). Penduduk menanam cengkih dan pala karena mendatangkan hasil dan keuntungan yang melimpah. adanya perdagangan rempah rempah tersebut, penduduk Maluku dapat membeli atau menukarkan dengan bahan pakaian, sutera dan porselen atau keramik.
  3. Jurnal “Syahruddin Mansyur” PERDAGANGAN CENGKIH MASA KOLONIAL DAN JEJAK PENGARUHNYA DI KEPULAUAN LEASE

Menceritakan tentang perdagangan cengkeh yang terpusat di Kepulauan Lease dimana  kebijakan monopoli cengkih yang diterapkan oleh bangsa Eropa khususnya Belanda merupakan periode penting dalam historiografi lokal Kepulauan Maluku. Kebijakan tersebut telah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Kepulauan Maluku hingga saat ini baik kebijakan maupun aspek social budaya.

 

Penelitian yang saya tulis berbeda dengan tulisanya yaitu pada penelitian tentang dampak yang terjadi  dan  penelitian ini digunakan konsep konsep perdagangan rempah

 

7, Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan diawali dengan pendahuluan pada bab 1 yang berisi tentang latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka , dan sistematika penulisan. Bab 2  akan membahas tentang latar belakang terjadinya perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda. Bab 3 akan membahas tentang reaksi dari fenomena perebutan rempah antara penduduk asli dan Belanda di pulau banda baik dalam sudut pandang penduduk asli maupun belanda. Bab 4 akan membahas dampak dari fenomena tersebut, baik dari sisi penduduk asli maupun Belanda dan  Bab 5 merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Alwi Des.2005.Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon. Dian Rakyat .,

A Patty kayhatuu.2012.”Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah” jurnal Kapata tahun 2012.,

A Patty kayhatuu.2012.Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983:31.,

Hanna Willard Anderson. 1983.Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala. Gramedia

historia.id,  “Genosida VOC”,  Hendri F. Isnaeni 2010

Leirissa RZ dan Latuconsina Djuariah.1999.Sejarah Kebudayaan Maluku.Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan

Mansyur Syahrudin.2011.Jejak Tata Niaga Rempah Rempah dalam Jaringan Perdangan Masa Kolonial” Jurnal Kapata

Mansyur Syahrudin.2014.Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku” Jurnal Kapata

Mansyur Syahrudin.2013.Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan jejak Pengaruhnya di kepulauan  Lease” Jurnal Kapata

 

Nilson Giles “the Irony of Savagery in Nathaniel’s Nutmeg “ tahun 2000.,

[1] Syahrudin Mansyur,Jejak Tata Niaga Rempah Rempah dalam Jaringan Perdangan Masa Kolonial, (Ambon: Kapata 2014) hlm 30.

[2] Sem Touwe, Maluku Pusat Rempah-Rempah dan Pengaruhnya dalam Era Niaga Sebelum Abad 19, hlm 6

[3] Syahrudin Mansyur..Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan jejak Pengaruhnya di kepulauan  Lease” (Ambon: Kapata 2013) hlm 43

Kelahiran Soekarno dan Kesadaran Sejarah Kita

Widyanuari Eko Putra. Bergiat di Kelab Buku Semarang. Lahir di Purbalingga, 25 Januari 1989. Alamat Jalan Peterongan Timur No. 335, RT 4 RW 5, Semarang Selatan, Kota Semarang. 50242. No. Hp: 085225036797. Alumni Universitas PGRI Semaranr (2015). Tulisan pernah dimuat Suara Merdeka, Jateng Pos, Wawasan, Harian Detik, Jawa Pos, Riau Pos, Kabar Probolinggo, Koran Jakarta, Koran Tempo, Solopos, Kompas, Basis, dan bisa dibaca di widyanuariekoputra.blogspot.com. Selain itu menulis di blog tafsirlayar.blogspot.co.id, yang berisi tulisan seputar buku, sejarah, sastra, dan pengalaman sehari-hari. Bukunya yang pertama Usai: Membaca dan Menulis (2016). Kini sedang menyiapkan buku keduanya, sebuah kumpulan esai sastra.

 

Dalam lintasan sejarah Indonesia, sejak era kolonial, kemerdekaan, hingga berakhirnya Demokrasi Terpimpin, nama Soekarno hadir sebagai tokoh penting.Ia pejuang kemerdekaan, Proklamator bersama Muhammad Hatta, penggali Pancasila, serta Presiden yang berhasil menancapkan taring negara dan bangsa Indonesia di kancah internasional. Untuk itu wajar bila selain menjadi pahlawan yang namanya akan selalu diingat ketika kita membicarakan sejarah Indonesia.

Namun, tersebab pergantian kekuasaan pasca tragedi 1965 yang menempatkan nama Soekarno menjadi berkesan negatif, yaitu tersebab dituduh terlibat peristiwa G 30 S. Di masa Presiden Soeharto memimpin, yaitu di masa Orde Baru, sempat terjadi apa yang oleh sebagian kalangan sejarahwan sebagai de-Soekarnoisasi, yang artinya kurang lebih upaya untuk menghapus peran Soekarno dalam lintasan sejarah Indonesia.

Efek dari de-Soekarnoisasi di era Orde Baru, rupanya terus menjadi warisan yang merugikan generasi selanjutnya. Informasi-informasi yang keliru seputar Soekarno terus saya terproduksi. Dan salah satu contoh kasus paling fatal ialah kekeliruan yang diucapkan oleh Presiden Joko Widodo ketika menyebut kota kelahiran Soekarno adalah di Blitar, dan bukan Surabaya, saat berpidato dalam peringatan Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2015. Kesalahan penyebutan itu pun segera memantik kritik dan pergunjingan di media massa dan jejaring sosial. Presiden Jokowi sebagai kader sebuah partai, yang konon mengaku anak ideologis Soekarno, dianggap tak semestinya mengucapkan kesalahan tersebut.

Dampak dari kesalahan tersebut, Sukardi Rinakit yang saat itu menjabat anggota tim komunikasi Presiden yang juga bertugas menyusun naskah pidato, meminta maaf secara terbuka kepada publik. Konon, sebelum membacakan pidatonya, Jokowi sempat menanyakan kembali kesahihan data tempat kelahiran Soekarno dalam naskah pidatonya. Terlepas kekeliruan tersebut ialah persoalan teknis yang wajar, hal ini mengingatkan kita betapa “warisan” de-Soekarnoisasi masih mengindapi masyarakat kita, begitu pun tim komunikasi presiden.

Agaknya menjadi penting untuk kemudian menempatkan persoalan kesejarahan tokoh Soekarno sebagai mana mestinya. Apalagi, ketersediaan buku-buku yang menjelaskan seputar sejarah kelahiran Soekarno cukup banyak, artinya tidak terlalu sulit untuk melacak kesahihan data-data yang diperlukan. Kesalahan data dalam pidato Presiden Jokowi merangsang kita untuk segera membuka kembali halaman-halaman riwayat Soekarno di masa lalu.

Pelacakan informasi Soekarno bisa dimulai dari buku-buku terbitan lawas. Beberapa buku sejarah era Soekarno cukup otoritatif untuk mendapatkan data sahih seputar kelahiran Soekarno, seperti otobiografi Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) garapan Cindy Adams, seorang wartawati Amerika. Di tahun yang sama juga terbit sebuah biografi berjudul Bung Karno Putera Fadjar garapan Solichin Salam. Dua buku perihal Soekarno sepantasnya bisa jadi referensi sahih bagi publik. Selain itu, terkait masa de-Soekarnoisasi, buku karya akademisi Asvi Marwan Adam yaitu Pelurusan Sejarah Indonesia (2007) cukup otoritatif untuk mengulas persoalan tersebut.

Untuk itu, saya kira menulis sebuah tulisan agak panjang yang menceritakan kelahiran Soekarno secara tepat, disertai rujukan-rujukan yang menguatkan, masih sangat relevan untuk dikerjakan. Apalagi, dalam kenyataannya, ada buku-buku bercorak sejarah yang masih saja menampilkan kekeliruan data perihal kelahiran Soekarno, di antaranya buku tebal berjudul Sejarah Lengkap Indonesia (2014) karangan Adi Sudirman dan Cinta Pahlawan Nasional Indonesia: Mengenal dan Meneladani (2013) karangan Pranadipa Mahawira, masih mencantumkan Soekarno “Lahir di Blitar, Jawa Timur tahun 1901.”

Selain itu, bukti perlunya tulisan ini dibuat ialah karena ketika kita memasukkan kata kunci ”Kota Kelahiran Soekarno”, berita terbanyak yang dikunjungi ialah seputar polemik kekeliruan data kelahiran Soekarno. Itu berarti, persoalan ini sebenarnya menarik perhatian masyarakat. Dengan demikian, sekali lagi, tulisan yang mengupas tema tersebut masih sangat perlu untuk ditulis dalam sebuah tulisan utuh yang komplit dan otoritatif.

[]

(Kerangka tulisan ini dikembangkan dari esai yang saya tulis berjudul Soekarno dan Kesadaran Sejarah Kita, yang dimuat di koran Suara Merdeka, 22 Juni 2015)

 

 

Referensi:

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung Agung: Djakarta

Adam, Asvi Marwan. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia. Ombak: Yogyakarta

Hardi.1983. Api Nasionalisme: Cuplikan Pengalaman. Gunung Agung: Jakarta

Mahawira, Pranadipa. 2013. Cinta Pahlawan Nasional Indonesia: Mengenal dan Meneladani. WahyuMedia: Jakarta Selatan

Salam, Solichin. 1966. Bung Karno Putera Fadjar. Gunung Agung: Djakarta

Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Diva Press: Yogyakarta

DAMPAK KEBERADAAN PUSKESMAS BAGI KESEHATAN MASYARAKAT PUNGGELAN, 1967-1985

Oleh: Hendi Setiyanto

Puskesmas Punggelan l, Banjarnegara, Jawa Tengah Tahun 2018

BAB l

  1. LATAR BELAKANG

Berawal dari adanya keinginan dari beberapa tokoh masyarakat Punggelan untuk membentuk sebuah Balai Pengobatan bagi masyarakat sekitar maka pada tahun 1967 terbentuklah cikal bakal dari Puskesmas seperti sekarang ini yang berada di Dusun Ribug, Punggelan.

Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas adalah satu unit pelaksanaan fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, di mana pendekatan yang digunakan memperhatikan berbagai aspek kehidupan dari para pemakai jasa pelayanan kesehatan tersebut.

Program-program kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas terdiri atas beberapa upaya di antaranya adalah Upaya Kesehatan Perseorangan  (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) atau bisa disebut dengan istilah promotif dan preventif (promosi dan pencegahan).

 

  1. PERMASALAHAN

 

Permasalahan tentang peranan puskesmas bagi peningkatan kesehatan masyarakat dari tahun 1967-1985. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka diajukan beberapa pertanyaan antara lain:

  1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.
  2. Bagaimana peran Puskesmas dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Punggelan?
  3. Apa manfaat keberadaan Puskesmas bagi masyarakat sekitar?

 

 

  1. RUANG LINGKUP MASALAH

 

  1. Puskesmas dan peningkatan kesehatan masyarakat yang dimulai dari tahun 1967-1985 di Punggelan.
  2. Mengapa Punggelan dipilih sebagai lokasi penelitian?
  3. Mengapa menentukan tahun 1967 sebagai batas awal penulisan dan tahun 1985 sebagai batas akhir tahun penelitian?

 

  1. TUJUAN PENELITIAN

 

Tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui latar belakang dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.
  2. Untuk mengetahui bagaimana peran Puskesmas dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Punggelan.
  3. Untuk mengetahui apa manfaat dari keberadaan Puskesmas bagi masyarakat sekitar Punggelan.

 

  1. MANFAAT PENELITIAN

 

Manfaat penelitian ini adalah:

  1. Untuk melengkapi historiografi Indonesia tentang masalah kesehatan di Kecamatan Punggelan.

 

 

  1. METODE PENELITIAN

 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah yaitu:

  1. Heuristik

Pada tahap ini dilakukan pencarian sumber secara lisan maupun tulisan di berbagai tempat di antaranya melalui arsip dokumen pendirian Puskesmas Punggelan di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, Koran yang terbit pada tahun 1967 tentang berita yang berisi pendirian Puskesmas Punggelan serta sumber lisan berasal dari tokoh masyarakat dan anggota LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Punggelan yaitu Bapak Mardhan.

  1. Kritik

Kritik sejarah didapat melalui beberapa sumber dari hasil wawancara antara Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan ibu Endang Margiyati sebagai saksi hidup dari berdirinya Puskesmas Punggelan untuk memperoleh informasi dan membandingkannya sehingga didapat kesimpulan yang menunjukan kesamaan sumber informasi.

  1. Interpretasi

Pada tahap interpretasi dilakukan dengan cara menafsirkan suatu peristiwa, fakta sejarah, dan merangkainya dalam kesatuan yang masuk akal,  makna terhadap fakta-fakta yang sudah ditemukan dan fakta tersebut dihubungkan antara satu dengan yang lain.

  1. Historiografi

Merupakan tahapan terakhir yaitu melakukan penulisan kisah sejarah Puskesmas Punggelan berdasar pada kaidah yang berlaku dalam ilmu sejarah.

 

  1. KAJIAN PUSTAKA

 

Penelitian ini merupakan bukan satu-satunya yang membahas tentang sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan, sebelumnya sudah ada penelitian lain yang serupa akan tetapi kontennya berbeda, di antaranya:

Dokumen-dokumen yang dipergunakan berupa arsip dokumen pendirian Puskesmas Punggelan yang berada di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, Koran yang terbit pada tahun 1967 tentang berita yang berisi pendirian Puskesmas Punggelan.

 

 

  1. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan  terdiri dari 5 bab antara lain:

Bab 1 – Pada bab 1 akan dibahas mengenai pendahuluan, atar belakang, permasalahan, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan kajian pustaka.

Bab 2 – Dalam bab 2 akan dibahas tentang apa yang melatarbelakangi dibentuknya Puskesmas yaitu adanya instruksi presiden tentang pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan.

Bab 3 – Dalam bab 3, akan dibahas tentang penelitian tentang peran, fungsi, dan manfaat Puskesmas bagi masyarakat Punggelan.

Bab 4 –  Membahas dampak dari adanya Puskesmas sebelum dan sesudahnya terhadap masalah kesehatan masyarakat Punggelan.

Bab 5  – Kesimpulan, merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini

 

  1. DAFTAR PUSTAKA

 

Dinus.ac.id, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf (2010). Fungsi dari Puskesmas.

Wawancara dengan Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan Ibu Endang Margiyati

Arsip Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Surat keputusan pendirian Puskesmas Punggelan 1.

File Admen Akreditasi Puskesmas Punggelan 1 tahun (2016). Sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan 1.

Wikipedia Bahasa Indonesia, 25 Maret 2017. Punggelan, Kabupaten Banjarnegara.

 

 

 

BAB ll

 

Kecamatan Punggelan adalah sebuah kecamatan yang berada di barat laut pusat kota Banjarnegara. Sebagian besar wilayah Kecamatan Punggelan berada pada daerah yang berkontur tanah berbukit-bukit dan penyebaran penduduknya yang terpencar-pencar. Sementara itu akses untuk pelayanan kesehatan saat itu belum ada sama sekali. Akses kesehatan terdekat berada di Kecamatan Wanadadi dan pusat Kota Banjarnegara.

Sebagian besar mata pencaharian dari penduduk di Kecamatan Punggelan adalah dengan cara bertani. Metode pertanian yang digunakan mengikuti dengan kontur tanah yang banyak ditemui di sini. Jarang sekali ditemukan area persawahan karena keterbatasan lahan. Karena alasan itulah maka pertanian yang dilakukan adalah dengan cara menamam tanaman yang memiliki ekonomis tinggi pada saat itu yaitu tanaman ketela pohon, dan jagung.

Selain karena faktor geografisnya, mata pencaharian penduduknya, di Kecamatan Punggelan juga mempunyai masalah lain yaitu keberadaan institusi pendidikan. Lagi-lagi karena faktor geografis dan jauh dari pusat kota Banjarnegara membuat kesempatan penduduknya untuk mengenyam pendidikan terbilang terhambat. Karena rata-rata penduduknya berprofesi sebagai buruh tani maka kemungkinan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya boleh dibilang sangat kecil. Jangankan untuk bersekolah, sekedar mencukupi kebutuhan pokok kesehariannya saja masih kurang.

Pada tahun 1960-an, akses jalan di Kecamatan Punggelan tidaklah seperti sekarang ini. Jalan utama yang menghubungkan kota Banjarnegara-Wanadadi hingga ke Punggelan masih berupa jalan berbatu. Jadi bisa dibayangkan, keberadaan transportasi umum pastilah sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Keberadaan klinik dan rumah sakit hanya ada di Ibu kota Kabupaten Banjarnegara dan jaraknya lebih dari 25 kilometer. Dengan kondisi demikian, banyak penduduk Punggelan yang akhirnya memilih pengobatan non medis ketika ada anggota keluarganya yang sakit. Berangkat dari fakta-fakta tadi maka beberapa orang di Kecamatan Punggelan berinisiatif untuk membentuk Balai Pengobatan Umum bagi masyarakat di sekitar.

Faktor-faktor tadi membuat semacam efek domino hingga berdampak pada akses pelayanan kesehatan yang mudah dan terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu perlu secepatnya dibangun semacam Balai Pengobatan Umum yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.

 

BAB lll

 

Untuk mengetahui sejarah didirikannnya Puskesmas Punggelan, dapat dibagi dalam beberapa periode waktu yaitu:

Periode tahun 1960

Kecamatan Punggelan pada waktu itu adalah daerah yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan. Letaknya yang berjarak lebih dari 25 kilometer dari pusat Kota Banjarnegara dan sarana infrastruktur yang masih sangat terbatas menyebabkan masyarakat kesulitan mengakses berbagai macam fasilitas umum lebih khususnya akses terhadap layanan kesehatan umum.  [1]

Keberadaan tenaga kesehatan pun belum ada karena pemerataan serta terbatasnya sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sehingga apabila masyarakat Punggelan membutuhkan pelayanan kesehatan, mereka harus pergi ke Kecamatan tetangga yaitu Wanadadi. Sementara itu untuk beberapa kasus gawat darurat dan perlu penanganan lebih lanjut, mereka harus pergi lebih jauh lagi yaitu ke pusat Kota Banjarnegara.

Atas dasar itulah maka beberapa kelompok masyarakat yang peduli dengan akses layanan kesehatan masyarakat berinisiatif mendirikan bangunan sederhana di atas tanah milik perseorangan yang terletak di Dusun Ribug, Punggelan dan difungsikan sebagai Balai Pengobatan.

Periode 1960-1963

Pada periode ini, setelah adanya keberadaan Balai Pengobatan yang didirikan oleh beberapa kelompok masyarakat sudah berjalan beberapa tahun maka terdapat bantuan tenaga kesehatan berupa Mantri Kesehatan yang didatangkan dari Kecamatan tetangga yaitu Wanadadi.

 

 

Periode 1970

Pada periode ini, karena semakin berkembangnya Balai Pengobatan maka diputuskan untuk memindahkannya ke Dusun Loji, Desa Punggelan yang saat itu menempati tanah sementara milik pemerintah Desa Punggelan. Alasan lainnya adalah karena faktor geografis, lokasi Balai Pengobatan yang lama letaknya jauh dari keramaian sehingga perlu adanya pemindahan mendekati Pasar Manis yang menjadi pusat keramaian serta mobilitas warga Punggelan.

Pada tahun 1970, Balai Pengobatan ini juga mendapat tenaga tambahan lagi dari 1 orang pendatang tenaga Mantri Kesehatan dari Solo yaitu Bapak Sumadi. Lengkaplah sudah Balai Pengobatan saat itu karena mendapat tambahan tenaga kesehatan yang benar-benar kompeten yaitu Mantri dan Bidan.

Periode 1972

Pada periode ini, Balai Pengobatan yang sudah menempati lahan sementara di Dusun Loji atas izin dari pemerintah Desa Punggelan, akhirnya harus dipindahkan lagi menuju Desa Sidarata yang lokasinya tak jauh dari Dusun Ribug (awal mula didirikannya Balai Pengobatan) sekarang menjadi kantor KORAMIL Kecamatan Punggelan.

Pada periode inilah antusias masyarakat Punggelan akan adanya Balai Pengobatan semakin terkenal sehingga diubahlah namanya menjadi PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat). Selain itu juga PUSKESMAS ini mempunyai beberapa karyawan tambahan untuk membantu proses kelancarannya yaitu: Bapak Sugeng (Mantri Kesehatan), Ibu Yuni (Bagian Administrasi) dan Ibu Endang Margiyati (Bidan).

Periode 1980

Pada periode ini, Kecamatan Punggelan masih berkutat dengan masalah kesehatan karena kesadaran penduduknya untuk berperilaku hidup bersih dan sehat masihlah rendah, faktor rendahnya tingkat pendidikan serta faktor kemiskinan sehingga munculah kasus busung lapar atau Honger Oedem. Tercatat ada kurang lebih 30 orang yang menderita busung lapar ini sehingga membuat Balai Pengobatan semakin sibuk melayani pasien yang hendak berobat. Atas inisiatif Bapak Sumadi, untuk menampung kelebihan pasien tersebut maka beliau menyediakan rumahnya untuk dijadikan sebagai lokasi pengobatan yang letaknya berada di sebelah SDN 3 Punggelan dan tak jauh dari Balai Pengobatan tadi.

Periode 1983-1985

Pada periode ini, pemerintah Kabupaten Dati ll Banjarnegara hendak melaksanakan kegiatan proyek Puskesmas Inpres terutama di Wilayah Kecamatan Punggelan. Namun proyek tadi memberikan sebuah syarat yaitu harus tersedianya tanah yang akan dijadikan sebagai lahan pembangunan proyek Puskesmas Inpres. Karena kendala dana yang terbatas, saat itu pemerintah daerah hanya menggelontorkan dana untuk mengakomodasi kebutuhan mebeler dan bangunannya saja, sementara untuk pembelian tanah tidak ditanggung.

Atas permasalahan tadi maka pemerintah Kecamatan mengumpulkan 17 Kepala Desa untuk bermusyawarah menentukan lokasi yang disetujui untuk pembangunan Puskesmas dengan mempertimbangkan faktor geografis dan kemudahan akses.

Hasil dari musyawarah tadi menghasilkan kesepakatan yaitu lokasi Puskesmas berada di sekitar Pasar Manis Punggelan akan tetapi tanah yang digunakan adalah tanah milik Desa Punggelan dan Kepala Desa saat itu merasa keberatan. Namun ada seorang Kepala Desa Kecepit yang menawarkan tanahnya untuk dijadikan lokasi pembangunan Puskesmas. Usul tersebut ternyata ditentang oleh mayoritas Kepala Desa yang saat itu mengikuti musyawarah tadi karena beralasan lokasinya semakin menjauh. Desa Kecepit sendiri berada hampir di ujung perbatasan dengan Kabupaten Purbalingga sehingga sudah barang tentu aksesnya tidak berada di tengah-tengah masyarakat Punggelan.

Karena keterbatasan waktu, sementara proyek Puskesmas Inpres dari pemerintah Kabupaten Dati ll harus terus berlangsung maka proyek tersebut dialihkan ke Kecamatan Sigaluh (timur kota Banjarnegara).

Setelah perwakilan Kepala Desa, LKMD dan Kepala Desa Punggelan maka ditetapkan untuk mendirikan Puskesmas di atas tanah bengkok (tanah garapan desa) milik Desa Punggelan. Saat itu ditandatanganilah kesepakatan tadi oleh beberapa orang di antaranya adalah:

  1. Bapak Yusuf (Kepala Desa Punggelan),
  2. Bapak Mardhan (Ketua LKMD),
  3. Bapak Darmo (Camat Punggelan),
  4. Bapak Sumadi (Mantri)
  5. Bapak Sutikno (Kepala Desa Danakerta)
  6. Bapak Jarmono (Kepala Desa Karangsari)
  7. Bapak Tarom (Kepala Desa Klapa)
  8. Bapak Kamso (Kepala Desa Kecepit)

Beberapa orang yang hadir dalam musyawarah tadi (Bapak Yusuf, Mardhan, Darmo dan Sumadi) kemudian menghadap ke Kabupaten Dati ll Banjarnegara untuk menagih  kembali proyek pembangunan Puskesmas Inpres di Desa Punggelan. Pihak pemerintah mengeluarkan surat pernyataan bahwa Desa Punggelan menyediakan tanah untuk pendirian Puskesmas, namun tidak ada pernyataan bahwa tanah itu disewa atau dibeli jadi masih abu-abu status hukumnya.

Tercatat ada 3 orang yang memimpin Puskesmas Punggelan dalam periode waktu antara tahun 1967-1985 yaitu dr.Arif, dr.Poppy dan dr.Harjanto dengan kontribusinya masing-masing selama mereka memimpin Puskesmas ini.

 

BAB IV

 

Dengan adanya keputusan tentang penetapan keberadaan Puskesmas di tengah-tengah masyarakat Punggelan, secara tidak langsung berdampak pada kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Akan tetapi itu semua tidak bisa diubah dalam waktu singkat dan harus dilakukan secara terus menerus.

Tingkat pendidikan yang relatif rendah secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir mereka tentang kesadaran akan menjaga kesehatan, hidup bersih, sanitasi yang baik, pengaturan pola makan yang seimbang serta berolahraga secara teratur. Belum lagi pola pikir masyarakat pedesaan yang menganggap suatu penyakit terjadi karena kena aruh-aruh atau campur tangan makhluk gaib dan lebih memilih mendatangi orang yang dianggap pintar atau dituakan di kampungnya.

Seiring dengan perkembangan zaman dan dimudahkannya akses jalan raya dari dan ke Punggelan oleh pemerintah daerah, secara tidak langsung membuat nama Puskesmas semakin dikenal oleh masyarakat luas.

Contoh kasus untuk ibu hamil yang sebelum keberadaan Puskesmas, sebagian besar memilih melakukan persalinan dengan bantuan dukun bayi atau malah persalinan seorang diri yang sebenarnya sangatlah beresiko bagi sang ibu maupun bayinya. Dari sinilah peran bidan Puskesmas mulai muncul untuk mengedukasi ibu-ibu hamil untuk rutin memeriksakan kehamilannya mulai dari trimester awal, persalinan hingga pasca persalinan.

Belum lagi kesadaran para orang tua untuk mengikuti tumbuh kembang anak mereka mulai dari masa kehamilan (periode emas), balita hingga anak-anak yang kesemuanya memerlukan proses campur tangan masalah kesehatan. Mulai dari pemberian vaksin imunisasi, pemantauan perkembangan bayi dalam kegiatan POSYANDU serta memperhatikan kecukupan gizi dan edukasi tahapan-tahapan memberikan ASI ekslusif serta makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Secara fungsi ide pembentukan Puskesmas terjadi setelah diadakannya Rakerkesnas [2]pada tahun 1968 Jakarta yang saat itu membagi Puskesmas dengan beberapa kategori di antaranya adalah :

  • Tipe A dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh seorang dokter secara penuh
  • Tipe B dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh dokter secara tidak penuh dan
  • Tipe C dengan syarat Puskesmas dipimpin oleh seorang tenaga paramedis

 

Secara fungsional peran Puskesmas, sebagai:

  1. Pusat pembangunan kesehatan masyarakat
  2. Pembina peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan hidup sehat
  3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat

Dengan ketiga peran tadi sedikit demi sedikit kesadaran warga Punggelan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat  dapat tercapai. Mulai dari kesadaran untuk memeriksakan diri saat kehamilan hingga pasca persalinan, memantau perkembangan kesehatan bayi dan anak, menerapkan pola hidup sehat serta kesadaran akan akses sanitasi yang baik terutama makin berkurangnya perilaku warga Punggelan yang BAB sembarang entah itu di kolam, kebun maupun di sungai.

 

BAB V

 

Berdasarkan penjelasan dari BAB l dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi geografis wilayah Kecamatan Punggelan dan belum adanya akses kesehatan masyarakat yang mudah dan terjangkau maka Pemerintah Daerah Dati ll Kabupaten Banjarnegara dan Instruksi Presiden tentang pendirian Puskesmas di tiap Kecamatan, maka perlu didirikan Balai Pengobatan dan selanjutnya berubah statusnya menjadi Puskesmas Punggelan. Dengan adanya Puskesmas ini, berdampak pada perubahan perilaku kesehatan masyarakat Punggelan yang tadinya acuh dengan masalah kesehatan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dinus.ac.id, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf (2010). Fungsi dari Puskesmas.

Wawancara dengan Bapak Mardhan, Bapak Wardi dan Ibu Endang Margiyati

Arsip Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Surat keputusan pendirian Puskesmas Punggelan 1.

File Admen Akreditasi Puskesmas Punggelan 1 tahun (2016). Sejarah berdirinya Puskesmas Punggelan 1.

Wikipedia Bahasa Indonesia, 25 Maret 2017. Punggelan, Kabupaten Banjarnegara.

 

Sistematika penulisan  terdiri dari 5 bab antara lain:

Bab 1 Pendahuluan dari latar belakang sampai sistematika.

Bab 2 Menguraikan tentang pertanyaan penelitian bab 1

Bab 3 Membahas tentang penelitian apa?

Bab 4 Membahas dampak dari adanya Puskesmas

Bab 5 Merupakan kesimpulan yang isinya menjawab pertanyaan dari bab 1.

[1] Sumber lisan dari Bapak Mardhan

[2] http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/PUSKESMAS_5.pdf

WASIAT WASHAYA SITTAH KH MUHAMMAD MASTHURO (1901-1968) : PILAR UTAMA KEBERADAAN PESANTREN AL-MASTURIYAH DI SUKABUMI

Oleh Bahar Sungkowo S.Pd, M.Pd

  1. Latar belakang

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemuliaan akhlak dan penghormatan kepada guru dan pendidik islam. Nasehat dan petuah yang disampaikan oleh ustadz dan mualim tentang ajaran akhlaq menjadi pedoman dalam membentuk pribadi muslim yang salih. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling mulia Akhlaknya. (Al hadist). Kesimpulannya adalah agama islam adalah agama akhlaq dan keluhuran budi.

Salah satu institusi Islam yang didalamnya mengajarkan kemuliaan akhlak adalah pesantren atau madrasah. Pesantren lazimnya didirikan oleh seorang Kyai yang salih dan menguasai berbagai ilmu agama Islam. Tujuan keberadaan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran bukan hanya mewarnai kepribadian Islam bagi santri dan santriwati saja, akan tetapi lebih luas mewarnai kepribadian dan karakter masyarakat sekitar pesantren dan madrasah.

Dalam sejarah kabupaten Sukabumi, sebuah pesantren didirikan oleh seorang ulama bernama Kyai Muhammad Mashturo, yang berasal dari desa Cikaroya berdekatan dengan Kampung Tipar Cisaat Kabupaten Sukabumi. Lahir tahun 1901, Mashturo kecil rajin dalam menuntut ilmu agama, hingga dewasanya. Tiga belas tahun lebih , pak Kyai menuntut ilmu agama dan berbagai macam disiplin ilmu seperti Bahasa Arab, Tarekat dan pengetahuan Islam lainnya. Sehingga diusianya ke 19 tahun yakni pada tahun 1920, Kyai Mashturo mendirikan pesantren di Kampung Tipar Cisaat Sukabumi. Dasar keberadaan pesantren adalah untuk mengabdikan dan pengamalan ilmu kepada masyarakat. Tidak puas sebagai Kyai di pesantren , beliau pun rajin belajar kitab kuning yang diajarkan oleh Habib Syeck Ibn Salim Assegaf, dan menjadi murid kesayangan sang guru.

Selama 48 tahun Kyai Haji Muhammad Mashturo memimpin pesantren dengan semangat dan memiliki santri dan santriwati yang banyak, berasal dari wilayah Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya. Hingga tahun 1968 beliau wafat dan meninggalkan enam wasiat yang mana enam wasiat ini telah diamalkan beliau dalam kehidupan yakni washaya sittah sebagai nasehat-nasehat mulia dalam mempertahankan pesantren dan keutuhan keluarga, santri/santriwati dan masyarakat.

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggali lebih dalam sejarah pesantren AlMasturiyah dan wasiah wasshaya sittah atau enam nasehat dalam pembentukan kepribadian dan alumni, santri dan masyarakat dengan judul penelitian : “Ajaran  Washaya Sittah KH Muhammad Mashturo (1901-1968) : Pilar Utama Keberadaan Pesantren AlMasturiyah.”

 

  1. Rumusan Masalah dan pertanyaan penelitian

Permasalahan penelitian ini adalah  pengaruh Wasiat Washaya Sittah KH M.Mashturo sebagai pilar utama Keberadaan Pesantren AlMasturiayah di Sukabumi. Adapun untuk memecahkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu:

  1. Bagaimana awal terbentuknya pesantren Al Masturiyah dan siapa saja yang mempunyai gagasan untuk mewujudkan pesantren tersebut ?.
  2. Bagaimana program dan kegiatan diawal-awal dan masa kepemimpinan KH Muhammad Mashturo pada pesantren Al Masturiyah , wasiat dan amalan washaya sittah diajarkan ?.
  3. Apakah dampak keberadaan pesantren AlMasturiyah serta ajaran washaya sittah KH Muhammad Mashturo baik bagi para santri, ustadz/ustadzah, serta masyarakat sekitarnya ?.
  4. Apakah ada upaya melestarikan wasiat washaya sittah (wasiat enam) sepeninggal KH Muhammad Masthuro oleh keluarga, santri/wati, ustadz dan ustadzah serta masyarakat sekitar pesantren Al Masturiyah Tipar Cisaat Kabupaten Sukabumi?.

 

  1. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian adalah Wasiat washaya sittah KH Muhammad Masthuro sebagai pilar utama keberadaan Pesantren Al Masturiyah Sukabumi . Lingkup permasalahan menekankan pada sejarah hidup dan ajaran atau wasiat Washaya sittah KH Muhammad Mashturo dan eksistensi pesantren dalam menebarkan akhlak islam berdasarkan washaya sittah yang diajarkan.

 

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini  adalah mengidentifikasi :

d.1. Sejarah awal terbentuknya pesantren Al Masturiyah dan siapa saja yang mempunyai gagasan dalam menwujudkan pendirian pesantren.

d.2. Program dan kegiatan diawal-awal serta masa-masa kepemimpinan KH Muhammad Mashturo pada pesantren Al Masturiyah , wasiat dan amalan washaya sittah diajarkan.

d.3.Dampak keberadaan pesantren AlMasturiyah serta ajaran washaya sittah KH Muhammad Mashturo baik bagi para santri, ustadz/ustadzah, serta masyarakat sekitarnya.

d.4. Upaya melestarikan wasiat washaya sittah (wasiat enam) sepeninggal KH Muhammad Masthuro oleh keluarga, santri/wati, ustadz dan ustadzah serta masyarakat sekitar pesantren Al Masturiyah Tipar Cisaat Kabupaten Sukabumi.

Manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi hesteriografi Indonesia tentang sejarah pesantren – pesantren di Jawa Barat, khususnya serta pesantren-pesantren di Indonesia pada umumnya. Manfaat lainnya adalah sebagai berikut  :

d.5. Bagi pesantren mendapatkan keuntungan yakni terciptanya sejarah pesantren Al Masturiyah dengan informasi eksistensi wasiat washaya sittah sebagai ajaran akhlak KH Muhammad Mashturo.

d.6.  Memberikan informasi berkaitan dengan fadhilah wasiat washaya sittah  KH Muhammad Mashturo dalam pembinaan akhlak civitas pesantren dan masyarakat.

 

  1. Metode Penelitian

 

Metode yang digunkan  dalam penelitian tentang Wasiat Washaya Sittah KH M.Mashturo sebagai pilar utama keberadaan  Pesantren  Al Masturiyah di Sukabumi adalah metode sejarah yang terdiri atas  empat tahap  :

e.1. Heuristik

Tahapan ini dilakukan dengan pencarian sumber-sumber sejarah berupa buku-buku referensi , catatan-catatan , dokumentasi foto , dan hasil-hasil penelitian terdahulu berkait dengan sejarah pesantren Al Masturiyah dan wasiat washaya sittah KH Muhammad Mashturo. Dalam penelitian ini digunakan sumber lisan berupa wawancara dengan tokoh tokoh terkait seperti : Ketua MUI Kabupaten Sukabumi, Ketua PCNU Kabupaten Sukabumi, Keluarga besar pesantren Al Masturiah serta tokoh-tokoh masyarakat yang pernah berjumpa dengan KH Muhammad Mashturo.

 

e.2. Kritik

Kritik dalam penelitian ini adalah melakukan kritik ilmiah terhadap temuan-temuan sumber baik sumber cetak maupun elektronik seperti buku biografi KH Muhammad Mashturo, sejarah pesantren Al-Masturiyah dan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan wasiat washaya sittah KH Muhammad Mashturo. Temuan-temuan ini akan diverifikasi dengan data-data yang diperoleh dari kegiatan penelitian

e.3. Interpretasi

Tahap selanjutnya adalah interprestasi, yaitu berupa analisis (menguraikan) dan sintensis (menyatukan) fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta dalam penelitian ini adalah dokumentasi berupa foto-foto, catatan-catatan pribadi KH Muhammad Mashturo, materi khudbah serta materi dakwah pak Kyai, serta fakta-fakta kongkrit yang mendukung informasi penelitian.

Fakta-fakta sejarah akan mengerucut untuk memaparkan wasiat washaya sittah KH Muhammad Mashtura sebagai pilar utama keberadaan pesantren AlMasturiyah Sukabumi.

e.4. Historiografi

Tahap terakhir adalah hsitoriografi yakni cara penulisan, pemaparan, atau memberikan laporan dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga penulis sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian yang sudah dilakukan dari awal penelitian sampai selesai penelitian. Dalam historiografi peneliti akan memaparkan Wasiat  Washaya Sittah KH M.Mashturo sebagai pilar utama keberadaan Pesantren AlMasturiyah di Sukabumi.

 

 

 

 

  1. Kajian pustaka

Adapun kajian pustaka dalam penelitian adalah sebagai berikut :

f.1. Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain.

 

f.1.1 Washaya Sittah KH M.Masthuro (1901-1968) : Dalam Pembentukan Islam Lokal  di Sukabumi. Penelitian Sejarah berkaitan dengan ajaran washaya sittah KH M. Mashturo ini  menyajikan fakta-fakta sejarah yang dihubungkan dengan pembentukan Islam Nusantara secara gamblang atau luas. Penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti sejarah yang bernama Abdul Jawad bertujuan membandingkan ajaran Islam Nusantara dengan Islam kontemporer yang ada saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Jawad ini mengupas masalah-masalah kebaikan ajaran washaya sittah yang penuh dengan kearifan Nusantara sehingga islam disampaikan dengan tradisi dan bahasa sunda atau dengan kata lain menanamkan nilai-nilai pikukuh nyunda atau nasehat-nasehat adat dan tradisi sunda.

Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian ini adalah : Penelitian diatas terkesan lebih luas dan mengindonesia, mengungkapkan fakta-fakta dari sumber sejarah untuk menegaskan bahwa wasiat washaya sittah dapat menjadi pedoman dan dasar dalam mewujudkan islam lokal di Sukabumi. Sedangkan penelitian ini lebih sempit dan fokus kepada wasiat washaya sittah sebagai pilar utama keberadaan pesantren Al Masturiah Sukabumi.

f.1.2. Washaya Sittah : Enam Wasiat Kyai

Penulis naskah ini Musfirotun Yusuf  memaparkan secara ilmiah dan bermetodekan Historiografi tentang Washaya sittah enam wasiat Kyai. Penulis mengungkapkan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam washaya sittah enam wasiat kyai baik ditinjau dari nilai dan moral kearifan Nusantara sunda pikukuh nyunda maupun nilai atau ajaran moral Islam.

Perbedaan kajian ilmiah ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah dalam penelitian diatas hanya menjelaskan apa itu washaya sittah enam nasehat kyai, menghubungkan dengan kearifan Nusantara, Islam Nusantara dan menghubungkan pikukuh nyunda dengan nilai dan noral ajaran Islam.

Secara umum , penelitian yang dilakukan berbeda  dari penelitian dan tulisan ilmiah diatas. Perbedaannya terletak pada eksistensi washaya sittah KH M. Masthuro menjadi pilar utama dalam pembentukan masyarakat islam Nusantara yang berkultur nilai-nilai kearifan Nusantara yang eksis terjaga dari masa ke masa dengan sebatas eksistensi washaya sittah lingkup pang lebih sempit yakni alumni santri dan masyarakat sekitar pesantren. Disamping itu penelitian penulis membuktikan secara valid bagaimana washaya sittah diperjuangkan untuk tetap dijaga dan dilestarikan melalui nilai-nilai kepesantrenan pada pesantren Al Masturiyah Cisaat Sukabumi sebagai amalan santri, para ashatidz/ah dan masyarakat sekitar pesantran. Hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah kabupaten Sukabumi untuk menjadikannya sebagai 6 pilar pembentuk karakter muslim berciri khas lokal Sunda.

F.2. Kajian pustaka bersumber buku dan majalah.

  1. Washaya Sittah KH Muhammad Mashturo : Sebagai dasar pembentukan masyarakat Lokal Sukabumi

Dalam buku yang dikarang oleh Abdul Jawas menjelaskan Enam nasehat (washaya sittah ) yang diajarkan sebagai amalan dan pedoman dalam membentuk pribadi muslim oleh KH Muhammad Mashturo ini, memiliki enam ajaran nasihat yang diambil dari nilai-nilai dan tradisi sunda berupa pikukuh-pikukuh yang sudah ada sejak jaman dulu. Adapun ajaran washaya sittah KH Muhammad Mashturo adalah sebabagi berikut :

  1. wasiat/nasehat pertama : Kudu ngahiji dina ngamajukeun pasantrén madrasah. Harus pada bersatu mengurus pesantren dan madrasah.
  2. wasit/nasehat kedua : ulah pagirang-girang tampian. Jangan mengejar jadi pemimpin.
  3. wasiat / nasehat ketiga : Ulah hasud ka batur.Jangan dengki kepada saudara.
  4. Wasiat / nasehat keempat : Kudu nutupan kaaéban batur. Kudu silih pikanyaah.Harus menutupi kekurangan saudara, saling sayang menyayangi.
  5. Wasiat /nasehat kelima : Kudu boga karep saréréa hayang méré. Harus memiliki tekad untuk memberi kepada sesama
  6. Wasiat/ Nasehat keenam : Kudu mapay thorékat anu geus dijalankeun ku Abah. Harus mengikuti tharekot yang telah dilalui Abah. (Jawas Abdul : 2014 : 45) [1]

 

  1. Aswaja Magazine :  Sejarah Pesantren AlMasturiyah

Pesantren Al-Masthuriyah atau ‘pasantren Tipar’ julukan dari masyarakat sekitar– berdiri sejak tahun 1920 di Kampung Tipar, Desa Cibolangkaler (dulu Desa Cibungaok, kemudian Desa Cimahi), Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi (7 km arah barat kota Sukabumi).[2]

Pada 9 Rabiul Akhir 1338 H, bertepatan dengan 1 Januari 1920, KH. Masthuro mulai mendirikan sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Ahmadiyah yang merupakan cabang dari Madrasah Ahmadiyah Sukabumi. Nama Ahmadiyah dipilihnya karena beliau adalah lulusan Madrasah Ahmadiyah Sukabumi dan tidak ada hubungannya dengan nama sebuah aliran dalam Islam.

Pada tahun 1941, KH. Masthuro mulai mengelola Madrasah dan pesantrennya secara mandiri dan terpisah dari status cabangnya. Nama pun diubahnya menjadi Sekolah Agama Sirojul Athfal. Walaupun dari istilahnya Siroj berarti lampu dan athfal berarti anak laki-laki. Kemudian, atas saran dan hasil musyawarah pada tahun 1950 dibentuklah sebuah lembaga baru, dengan nama Sekolah Agama Sirojul Banat. Hal tersebut memungkinkan diterimanya santri perempuan untuk belajar di pesantren ini.

Perkembangan selanjutnya, secara berturut-turut, KH. Masthuro mendirikan Madrasah Tsanawiyah Sirojul Athfal/Banat pada tahun 1967 dan Madrasah Aliyah Sirojul Athfal/Banat pada 1968. Pada tahun ini pula, tepatnya tanggal 27 Rajab, KH. Masthuro menghadap Ilahi dan meninggalkan lembaga rintisannya yang kini sudah besar dan sudah menebarkan alumninya ke berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sudah sampai ke negeri yang jauh.(Dikutip dari https://aswajamag.blogspot.co.id/2015/04/pesantren-al-masthuriyah.html tanggal 8 Maret 2018).

  1. Sistematika penulisan

Sitstematika penulisan penelitian tulisan ini terdiri dari 6 bab.

Bab I berisi :  Latar Belakang , Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian,    Ruang Lingkup Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka, Sistematika Penulisan dan Daftar Pustaka.

Bab II : Membahas awal terbentuknya pesantren Al Masturiyah dan siapa saja yang mempunyai gagasan untuk mewujudkan pesantren tersebut.

Bab III :Membahas program dan kegiatan diawal-awal dan masa-masa kepemimpinan KH Muhammad Mashturo pada pesantren Al Masturiyah , wasiat dan amalan washaya sittah diajarkan  .

Bab IV : Membahas dampak keberadaan pesantren AlMasturiyah serta ajaran washaya sittah KH Muhammad Mashturo baik bagi para santri, ustadz/ustadzah, serta masyarakat sekitarnya.

Bab  V : Membahas Upaya melestarikan wasiat washaya sittah (wasiat enam) sepeninggal KH Muhammad Masthuro oleh keluarga, santri/wati, ustadz dan ustadzah serta masyarakat sekitar pesantren Al Masturiyah Tipar Cisaat Kabupaten Sukabumi

Bab VI   : Kesimpulan. Jawaban dari pertanyaan penelitian yang ditetapkan .[3]

 

 

 

Daftar Pustaka

Sumber Cetak :

[1]. Jawad Abdul, Washaya Sittah KH. Muhammad Masthuro (1901-1968) dalam Pembentukan Islam Nusantara di Sukabumi Jawa Barat. Bandung CV  Jejak (JejakPublisher).2014

[2]. Majalah Afwaja : Sejarah pendirian pesantren AlMasturiyah Sukabumi.  Sukabumi Edisi X.  Januari 2015.

[4].Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Metode Sejarah  Direktorat Sejarah Direktorat Jendral Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 2018.

 

Peneliti                 : Bahar Sungkowo M.Pd

Unit Tugas           : SMP Internat AlKausar Kabupaten Sukabumi

Jabatan                 : Guru Tetap Yayasan (GTY) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Kelompok            : I (satu)

HP/WA                : 087820994093

Email                   : bsungkowo290304@gmail.com

Pengabdian Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja di Bidang   Pendidikan Indonesia (1921-1984)

Oleh   Enny Kustiyah Rumiyati S,P.d,  M.Pd

Guru SMP Negeri 2 Purbalingga                 

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Penelitian

Desa Prigi adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Padamara Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah . Kurang lebih 5 km dari pusat kota Purbalingga.         Desa Prigi di kelilingi oleh desa- desa lain di lingkungan kecamatan Padamara yaitu  desa Padamara, desa Purbayasa , desa Bojanegara, desa Sokawera  dan desa  Karanggambas. Desa Prigi adalah desa terdekat dengan kota kecamatn Padamara dan terdekat pula dengan kantor kecamatan padamara yaitu kurang dari 1 km. Di desa ini pula ayah penulis dilahirkan, dan hal ini pula yang mendorong penulis untuk meneliti tentang tokoh Pendidikan asal desa Prigi yang memiliki pengabdian besar terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia.

Seorang anak lahir di desa Prigi, kecamatan Padamara, kabupaten Purbalingga yang diberi nama R. Soegarda Poerbakawatja. R. Soergarda Poerbakawatja kecil lahir pada hari Sabtu,  15 April 1899 dari pasangan suami istri yang bahagia bernama Bapak R. Pirngadi Singaredja dengan Ibu R. Ng. Semi. Anak laki laki dari desa Prigi inilah  yang nanti terkenal denagn nama Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja.   Orang tua Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja berasal dari keluarga bangsawan namun tidak mau menunjukan kebangsawannya. Orang tua Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawtja  memiliki sifat yang ramah, santun dan selalu memberikan pertolongan kepada setiap orang yang memerlukan. Selain memiliki sifat yang baik tersebut orangtua Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja menjadi penatus desa Prigi yang membawahi lebih dari 100 kepala keluarga. Dari sifat asal  Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja inilah dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan keluarga kita kususnya dan masyarakat pada umumnya.  Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja tumbuh besar dengan baik karena pengaruh dari keluarga yang memiliki sifat baik pula.

Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja tumbuh besar selain dari lingkungan keluarga mapan dan terpandang, namun Profesor Dr. R. Soegarda Purbakawaatja memiliki pendidikan sejak kecil yaitu sejak usia 6 tahun besekolah di sekolah kelas II yang terletak di kurang lebih 6 km di kota Purbalingga. Dengan prihatin Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja mengenyam pendidikan dengan berjalan kaki dengan kakaknya selanjutnya pindah di sumpyuh dan pindah kembali ke Purbalingga saat di kota sendiri didirikan kelas I. Dan selanjutnya sekolah guru di Purworejo dan Yogjakarta. Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja kecil telah menjadi seorang guru pada tahun 1921 dan mulailah pengabdiannya di politik dan bidang Pendidikan.

Hampir seluruh hidupnya dan kehidupannya di curahkan dan diabadikan untuk kepentingan bangsa dan negara. Pengabdian ini terutama dalam bidang pendidikan dan pembinaan serta usaha-usaha memajukan segala bentuk ilmu pendidikan serta dalam segala aspek dan prospeknya. Oleh karenanya peranan dan jasa jasa Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja paling menonjol adalah sebagai pendidik.

Dari kehidupan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja kecil hingga dewasa baik dari asal keluarganya dan proses kehidupan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja yang penuh dengan perjuangan dan semangat yang tinggi pada bidang pendidikan ini dapat dijadikan seabagai contoh kehidupan yang baik bagi kita semua. Oleh karena itulah maka penulis ingin melakukan penelitian tentang kehidupan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja kecil  hingga menjadi Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja serta pengabdiannya terhadap bidang Pendidikan di Indonesia sejak 1889 hingga tahun 1984. Judul penelitian yang penulis lakukan yaitu “Pengabdian Profesor  Dr. R. Soegarda Poerbakawatja di bidang Pendidikan Indonesia (1921-1984)”.

 

  1. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini menemukan beberapa permasalahan yang layak diteliti. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana  Kiprah Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja bagi Pendidikan di Indonesia?”

Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa  pertanyaan  penelitian antara lain :

  1. Bagaimana kehidupan Profesor R. Soegarda Poerbakawatja ?
  2. Apa dan Bagaimana kegiatan Profesor Dr.    Soegarda Poerbakawtja di bidang Pendidikan?
  3. Apa dampak kegiatan profesional Dr. R Soegarda Poerbakawtja untuk masyarakat?
  4. Bagaimana apresiasi masyarakat terhadap Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja ?

 

  1. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah pada penelitian  ini    adalah bagaimana  kehidupan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja hingga menjadi guru beserta kiprahnya  di bidang Pendidikan Indonesia  dan bagaimanan apresiasi masyarakat terhadap Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja.

 

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Mengetahui kehidupan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja
  2. Memahami apa dan kegiatan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja pada bidang pendidikan di Indonesia.
  3. Mengetahui dampak kegiatan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja untuk masyarakat
  4. Memahami apresiasi masyarakat terhadap Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja.

 

  1. Manfaat Penelitian ini adalah

Manfaat dari penelitian ini adalah :

  1. Melengkapi Historysasi Indonesia tentang sejarah
  2. Sebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam penentuan bantuan penelitian berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang peningkatan kompetensi penelitian di bidang kesejarahan
  3. Melengkapi riwayat Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja
  4. Melengkapi pengetahuan kiprah Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja pada bidang Pendidikan di Indonesia

 

  1. Metode Penelitian

Sejarah sebagai ilmu memiliki metode untuk mengungkapkan rekonstruksi agar menghasilkan karya sejarah yang ilmiah, kritis dan objektif. Metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.[1] Metode sejarah bertujuan untuk mengkaji dan menguji jejak-jejak sejarah yang tercecer dan menganalisanya secara kritis. Secara pengertian yang lebih luas, metode sejarah sebagai usaha untuk menyatukan data-data yang ada sehingga sebuah kisah sejarah dapat dipertanggungjawabkan.[2]

  1. Heuristik

Heuristik merupakan kegiatan untuk mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, materi sejarah atau evidensi sejarah.[3] Penulisan penelitian ini penulis melakukan pencarian sumber dilakukan dengan mengunjungi Perpustakaan Daerah Purbalingga, Perpustakaan Kebudayaan Purbalingga, Museum Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja Purbalingga, Perpustakaan pribadi Bapak Daryoko desa Prigi, padamara, Purbalingga, Sumber yang digunakan untuk penulisan ini adalah sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah kesaksian seseorang dengan mata kepala sendiri, yaitu saksi dengan panca indera, atau alat mekanis.[4] Sumber tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu, tertulis dan tidak tertulis contohnya dokumen-dokumen, dan sumber tidak tertulis misalnya berupa hasil wawancara dengan keluarga atau keturunan dari Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja dan berupa artefak. Pengumpulan sumber tertulis, penulis melakukan penelusuran data yang tersimpan antara lain:

Drs. Nyak Wali Alfa Tirta,  Profesor. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja, Karya dan Pengadiannya, 1982

Triatmo, 40 Orang Tokoh Purbalingga, Purbalingga, Humas Purbalingga,  2017

  1. Khoderi, 100 orang tokoh Banyumas, Jakarta, Purbadi Publising, 2006

Adi Purwanto, Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja dan perannya dalam bidang Pendidikan, 2010

Sumber Sekunder merupakan sumber kedua setelah sumber utama. Sumber sekunder adalah kesaksian yang bukan berasal dari pelaku melainkan berupa hasil penelitian sejarah atau jurnal-jurnal. Sumber ini bisa berupa buku, laporan penelitian, karya ilmiah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Penulisan penelitian ini, menggunakan buku, laporan penelitian, dan majalah sejaman.

  1. Kritik Sumber (Verifikasi)

Tahap verifikasi disebut juga sebagai tahap kritik sumber. Di sini, sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan akan diuji keabsahannya untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Verifikasi terdiri dari dua tahap, yaitu verifikasi autentisitas dan verifikasi kredibilitas. Verifikasi autentisitas merupakan verifikasi yang menguji keaslihan sumber terkait bukti bahwa sumber yang telah ditemukan benar-benar berasal dari zamannya atau tidak. Misalnya, dari aspek kertas, tinta, atau gaya bahasanya. Verifikasi autentisitas biasanya dikenal dengan kritik ekstern. Sementara itu, verifikasi kredibilitas mencoba untuk menganalisis mengenai keterpercayaan sumber tersebut. Sumber yang telah ditemukan dapat dipercaya atau tidak. verifikasi kredibilitas disebut juga dengan kritik intern[5].

Kritik ekstern adalah kritik sumber yang berupaya untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan sumber-sumber melakukan penelitian, sebagai hal terpenting untuk memastikan bahwa peneliti sejarah menggunakan sumber asli. Arsip yang didapatkan berupa dokumen dan artefak.

Kritik intern adalah penilaian terhadap sumber sejarah dari sumber yang terseleksi dan penyeleksiannya harus bisa dipertanggungjawbkan secara ilmiah. Kegiatan ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang satu dengan yang lain. Sumber yang ditemukan setelah diseleksi terhadap isi buku atau arsip yang diperoleh kemudian disaring terhadap opini untuk mencegah kesalahan mengungkap fakta yang terjadi sebenarnya.

  1. Interpretasi

Interpretasi merupakan penafsiran seorang sejarawan atas sumber-sumber yang telah lolos dari tahap verifikasi. Menurut Kuntowijoyo, interpretasi sering dianggap sebagai faktor utama dari subjektivitas sejarah. Tanpa adanya interpretasi, data-data tidak akan dapat berbicara sendiri. Seorang sejarawan harus mampu menafsirkan data yang dimilikinya agar peristiwa sejarah dapat dipahami oleh pembaca.[6] Interpretasi terdiri dari dua macam yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Interpretasi yang akan digunakan ialah jenis interpretasi analisis. Artinya, data-data yang telah terkumpulakan diuraikan menggunakan berbagai pendekatan sehingga dapat diambil satu kesimpulan dari sebuah peristiwa sejarah.

  1. Penulisan (Historiografi)

Penulisan sejarah dikenal juga sebagai historiografi. Pada tahap ini berisi penyusunan data-data yang ada sekaligus penafsiran seorang sejarawan. Tahap penulisan sejarah ini merupakan tahap akhir dari proses perekonstruksian peristiwa sejarah. Hasil analisis yang diperoleh dari  penelitian akan dituliskan secara kronologis. Setelah itu, hasil penelitian diwujudkan dalam bentuk tulisan sejarah. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial lain yang membahas permasalahan kontemporer, penelitian sejarah fokus terhadap masa lalu. Bentuk penulisannya bersifat diakronis, yaitu menerangkan peristiwa dalam kurun waktu tertentu.[7]

Penelitian ini menggunakan model penulisan sejarah analitis. Penulisan ini berbeda dengan model penulisan sejarah naratif. Pada sejarah naratif, penulis berusaha untuk menguraikan masa lampau dengan cara bercerita. Fakta-fakta dihadirkan dan disusun sedemikian rupa, hanya kejadian-kejadian penting yang telah diseleksi yang dapat dimasukkan dalam tulisan. Pendeknya, sejarah naratif mencoba untuk menyusun cerita tentang masa lampau. Sejarah analitis merupakan sejarah yang berpusat pada pokok permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut yang kemudian akan diuraikan secara sistematis. Permasalahan inilah, maka sejarah analitis memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial dalam kajiannya.[8] Penelitian sejarah harus menjawab mengenai apa, siapa, kapan, bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, menjelaskan secara kritis dan mendalam tentang sebab musabab terjadinya suatu peristiwa. Sehingga historiografi menghasilkan sejarah kritis dan utuh mengenai objek studinya.[9]

 

 

  1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap literatur-literatur yang melandasi pemikiran dalam penelitian.[10] Telaah ini diperlukan untuk menjawab sementara dari rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Penulisan penelitian  ini menggunakan beberapa kajian pustaka yang berkaitan dengan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja.

Profesor  Dr. R. Soegarda Poerbakawatja dilahirkan pada Sabtu Legi,  15 April 1899 adalah tokoh pendidik asli desa Prigi kecamatan Padamara Purbalingga 11. Anak kepala desa Prigi yang  kiprahnya dalam dunia  pendidikan sudah di mulai sejak 1921.

Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja  aktif dalam dunia pendidikan maupun kegiatan masyarakat  lainnya. Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja dikenal sebagai sosok yang kritis, aktif serta disiplin. Bahkan kedisiplinannya yang tinggi mendekati karakteristik disiplin Bung Hatta. Kiprahnya di bidang Pendidikan  di mulai dari  mengajar di HBS setelah lulus sekolah guru di zaman Belanda tahun 192112. Pada masa Jepang  dan awal kemerdekaan , Profesor Dr. R. Poerbakawatja menjadi guru SMA di  Yogyakarta. Dan Selanjutnya menjadi  Kapala Urusan Sekolah Kementrian PP&K tahun 1946.

Setelah kemerdekaan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja pernah menjabat sekertaris Panitia Penyelidik Pengajaran yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Pernah pula menjadi Dewan Kurator UGM Yogyakarta, Inspektur Jendral Kementrian  PP&K dan Konseptor Pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru ( PTPG)13 yang kelak menjadi  Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (IKIP) di Indonesia. Profesor Dr. R. Poerbakawatja juga ikut merintis dan menjadi guru besar PTPG  Bandung yang merupakan  realisasi pertama gagasannya. Pada masa Orde baru Profesor Dr. R. Poerbakawatja pernah menjabat sebagai  Dekan 17 Agustus 1945 (UNTAG)  di Jakarta serta menjadi pendiri dan rektor Universitas Cendrawasih,  Papua.

Di masa hidupnya, Profesor  Dr. R.Soegarda Poerbakawatja selain menjadi orang yang serius,  taat dan disiplin,   juga memiliki sifat penuh perhatian terhadap keluarga Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja memiliki anak sebanyak 12 orang. Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja biasa  bangun pukul 04.30, sholat subuh, kemudian ke  dapur, menjerang air dan membuat minuman bagi seluruh keluarga.  Lalu merebus telur untuk dirinya, dan sopirnya.  Tokoh  pendidikan ini wafat  pada 7 Desember 1984 dan dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Purbalingga.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari empat bab yaitu :

BAB. I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Penelitian
  2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
  3. Ruang Lingkup Masalah
  4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
  5. Metode Penelitian
  6. Kajian Pustaka
  7. Sistematika Penulisan

BAB. II. Kehidupan Profesor  Dr. R. Soegarda Poerbakawatja

  1. Masa Kecil Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja
  2. Pendidikan Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja

BAB III. Kiprah  Profesor Dr.  R.  Soegarda Poerbakawtja di bidang Pendidikan

  1. Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja dan Dunia Ilmu Pengetahuan
  2. Karya dan pengabdian Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja di bidang Pendidikan

BAB IV.    Dampak Kiprah Profesional  Dr. R Soegarda Poerbakawatja

  1.    Berdirinya Sekolah Guru di Indonesia
  2. Berdirinya Universitas Cendrawasih di  Papua

BAB V. Apresiasi  Masyarakat terhadap Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja

  1. Apresiasi Pemerintah terhadap Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja
  2. Musium Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja di Purbalingga

 

BAB VI. Kesimpulan            

DAFTAR PUSTAKA

Adi Purwanto, Profesor Dr. R Soegarda Poerbakawatja dan Peranannya dalam bidang Pendidikan, Musium Purbalingga, 2010

 

Bondan kanumoyoso, Metode Sejarah,  Jakarta, Kemendikbud, 2018

 

Gottschalk, Louis, op.cit.,

 

Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002

 

Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

 

Muhammad Wasith Albar , M. Fauzi, Penulisan Sejarah, jakarta, Kemendikbud, 2018

 

  1. Khoderi, 100 orang tokoh Banyumas, Jakarta , Purbadi Publising, 2006

 

Nyak Wali Alfa Tirta, Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja, Karya dan Pengabdiannya, 1982

Rahmad Hamid, Muhammad Saleh, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2011,

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993

Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013

 Triatmo, 40 Orang Tokoh Purbalingga, Purbalingga, Humas Purbalingga, 2017

[1] Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. xii .

[2] Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 25.

[3]  Ibid., hlm. 29.

[4] Gottschalk, Louis, op.cit., hlm. 32.

[5] Kuntowijoyo (1994), op.cit., hlm. 100.

[6] Ibid.,

[7]  Kuntowijoyo, op. cit.,hlm. 5-7.

[8] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 9.

[9] Rahmad Hamid, Muhammad Saleh, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 52-53.

[10] Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013), hlm. 6.

11 Nyak Wali Alfa Tirta, Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja, Karya dan Pengabdiannya, 1982, hal.16.

12 Ibid , hal.28.

13 Ibid , hal.34

 

KUMPULAN JUDUL RANCANGAN TULISAN SEJARAH: Bimtek Penulis Sejarah Semarang 2018

1. Wig Purbalingga Mendunia oleh Ummi Mukaromah-Purbalingga.

2. Eksistensi Buruh Perempuan Sukabumi : Antara status,ketaatan dan HAM 2010-2015, oleh Bahar Sungkowo-Kab.Sukabumi Jawa Barat.

3. Eksistensi Nasi Gandul Gajahmati, kuliner khas Pati sejak tahun 1950. Oleh Nur Wasis – Pati

4. Urbanisasi dan Industrialisasi di Bekasi tahun 1982-1996

5. Sejarah Kesusastraan Indonesia Awal Sebelum Kemerdekaan: Pandangan Sosio-Historis dan Jejak Kontribusi Orang Tionghoa Peranakan di Batavia 1870-1940-an. Oleh: Yose Rizal Triarto – Yogyakarta.

6. Pahlawan dari Kota Perwira: Mayjend Sungkono 1911-1977
Oleh: Musriah – Purbalingga.

7. Kajian Washaya Sittah KH M.Masthuro (1901-1968) : pilar pembentukan masyarakat islam lokal di sukabumi jawa barat. Oleh Bahar Sungkowo Sukabumi Jawa Barat

8. Sekolah Teras Rumah Bupati Japara 1903-1905 – Susi Ernawati Susindra – Jepara

9. Perkumpulan Magelang Vooruit di Stadsgemeente Magelang 1935-1942
Oleh : Bagus Priyana – Komunitas KOTA TOEA MAGELANG

10. Perjuangan Status Kepegawaian Guru Bantu Kabupaten Cilacap Tahun 2003-2008 oleh Sigit Kindarto Cilacap

11. abu arifin dan kiprahnya dalam perjuangan pangsar soedirman 1945-1950: aman musthofan purbalingga

12. Peran Bambu Runcing dalam Perjuangan Melawan Penjajah di Temanggung Tahun 1942-1949 oleh Tri Sadono-Temanggung

13. Implementasi Pemikiran Sosrokartono tahun 1925-1931 oleh Budi Prihartini – Jepara

14. Bea Cukai 1985-1995: Tahun-Tahun Tanpa Kewenangan; oleh Darmawan Sigit Pranoto.

15. Pengabdian Profesor Dr. R. Soegarda Poerbakawatja di Bidang Pendidikan Indonesia (1921-1984)
Oleh: Enny Kustiyah Rumiyati, Purbalingga

16. Pendidikan Sekolah Rakyat Semarang di Bawah Kuasa Kiri (1921-1922) Luqman Sulistiyawan – Wonosobo.

17. Dari Semarang ke Jawa Tengah:
Modivikasi Tradisi Dugderan di Kota Semarang 1960an-2006an
Oleh : Mulyono Semarang

18. Jejak Ritual Musik Yang Khim di Semarang: Era Transisi Politik 1998-2008 oleh Teguh H. Patriantoro.

19. Setting Kota Lama Semarang dalam Film Era Pasca Orde Baru: 1998-2013, Thesa Resi Sila Utami.

20. Arya Penangsang dan Kebijakan Kerajaan Demak tahun 1521 s.d 1546 oleh Nani Puspita Sari.

21. Geointeraksi Sosial Wisatawan di Kota Lama Semarang pada Tahun 2003-2011
Oleh Yesaya Putra Pamungkas

22. Pengaruh tembakau terhadap perubahan keadaan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Temanggung pada tahun 1980-2000. Oleh ibnu jarir

23. Sambernyawa, Dari Pendiri Praja Mangkunegaran Hingga Penerima Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1757-1988) oleh Sri Utami

24. Eksistensi Rifa’iyah di Jawa Tengah Pascaseminar Nasional: 1990–2012
oleh Imam Baehaqie

25. Pengaruh Aktor di Balik Petisi Soetardjo 1936
oleh Bony

26. Organisasi Tiga Zaman: persatuan islam tionghoa Indonesia (piti) diantara gelombang integrasi dan asimilasi (1961-2000). – rezza maulana

27. Sri Sultan HB IX dan Gerakan Pramuka Indonesia (1961 – 1974)
oleh Asnan

28. PELABUHAN SEMARANG: Pintu Gerbang Utara Jawa Pada Masa Pandanaran II ( 1496 – 1512 )
oleh : Doni Riadi Embunpagi

29. Dampak psikologi masyarakat pasca pembantaian massal di jembatan kali Progo Temanggung tahun 1948-1949
oleh Indah Wiharti

30. SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN BUNDENGAN DIDESA MADURETNO, KECAMATAN KALIKAJAR, KABUPATEN WONOSOBO TAHUN 1998 – 2010
oleh TRIANA KANTHI WATI, M.Pd

31. Sejarah Perkembangan Pabrik Gula Modjo di Kabupaten Sragen Tahun 1883 – 2017
oleh Aditya Tudhing Permana, S. Psi

32. Suku Using di Banyuwangi Tahun 1997-1999
Oleh: Miftakhuddin

33. Membumi di Kota Wali: Muhammadiyah Demak dalam Dinamika Persyarikatan 1970-1990
oleh Sutikno

34. Perlawanan Wong Sikep Terhadap Kekuasaan Kolonial Belanda di Blora pada 1890-1907
Oleh: Ki Sudadi

35. Sisi Gelap dalam Kejayaan Rempah: Perebutan Rempah Antara Penduduk asli dan Belanda di Pulau Banda Maluku Tahun 1602-1621
Oleh: MIFTAHUL AKHYAR GHOFARI

36. Benteng Pendem Cilacap, Dari Fungsi Pertahanan ke Obyek Wisata Sejarah
Oleh: Warsono – Cilacap

37. Geliat Perkumpulan Sosial dan Budaya Boen Hian Tong Pasca Pemerintahan Gus Dur
Oleh: Asrida Ulinuha – Semarang

38. SEJARAH GETUK SOKARAJA, RAGAM KULINER NUSANTARA DARI BANYUMAS
Oleh: Imalia Din Indriasih

39. Pertahanan Masyarakat Desa Segoroyoso, Kabupaten Bantul 1948-1949: Partisipasi Wanita terhadap Markas Komando Wehkreise III.

PELABUHAN SEMARANG: Pintu Gerbang Utara Jawa Pada Masa Pandanaran II ( 1496 – 1512 )

Oleh : Doni Riadi, S.Pd.I
Guru Sekolah Alam Ar-Ridho, Semarang

  1. Latar Belakang

Sejarah Pelabuhan Semarang adalah pelabuhan yang sudah cukup lama eksis (bahkan sejak era Cheng Ho yang kemudian diteruskan pada era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda). Keutamaan Pelabuhan Semarang sejak dari dulu kerap diposisikan sebagai Port Java karena menjadi pintu gerbang bagi lalu lintas perdagangan atau perekonomian di pedalaman Jawa yang berpusat di Mataram (Djojacarta dan Cartasoera). Pelabuhan Semarang juga menjadi homebase penaklukan Mataram dalam Perang Jawa (Pangeran Diponegoro).

Tome Pires, seorang petualang Portugis, pada tahun 1513, mencatat dikala ia berlayar menyusuri pantai utara Pulau Jawa, ada 3 pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal pedagang antara lain mereka berlabuh di Losari, Tegal dan Semarang.

Kira-kira 150 tahun kemudian ada pula catatan yang menerangkan pentingnya Semarang sebagai Pelabuhan. Disekitar tahun 1678 Cornelis Speelman mencatat ramainya pelabuhan Semarang yang melebihi pelabuhan Jepara yang berada disebelah Timur Semarang.

Pelabuhan Semarang, berabad-abad lalu hingga sekitar abad ke XVI merupakan pelabuhan penting yang sering disinggahi kapal-kapal pedagang dari mancanegara. Pelabuhan Semarang, yang berdiri di tepi sungai Semarang dan sekarang dikenal dengan Simongan, menjadi tempat sandar favorit kapal-kapal pedagang dari Arab, Tiongkok, dan India. Letak geografisnya yang ideal dan alami serta dataran yang subur dan indah menjadikan semarang terkenal dikawasan Asia.

Keberadaan komunitas-komunitas warga keturunan Arab (Kauman), Cina (Pecinan), dan India (Pekojan) sampai sekarang masih dapat ditemukan di kota Semarang.

Pelabuhan Semarang dikembangkan oleh Pandanaran I yang merupakan utusan dari Kesultanan Demak, yang kemudian diangkat menjadi Bupati Semarang I. Pandanaran I pula yang disebut-sebut sebagai penemu asal-asul nama Semarang. Namun, pelabuhan Semarang mengalami puncak kejayaannya pada masa Pandanaran II alias Pangeran Mangkubumi alias Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah, yang tak lain adalah putra Pandanaran I. Pandanaran II–lah yang berhasil membawa Semarang menjadi kota metropolis pada masanya.

 

  1. Rumusan Masalah

Permasalahan yang hendak dikaji adalah  bagaimana kondisi Pelabuhan Semarang pada era keemasannya yaitu di masa kepemimpinan Pandanaran II, dari tahun 1496 hingga tahun .1512

Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu :

  1. Bagaimana kondisi pelabuhan sebelum masa kepemimpinan Pandanaran II?
  2. Bagaimana Pandanaran II mengelola Pelabuhan Semarang?
  3. Kafilah dagang mana saja yang pernah berlabuh di Pelabuhan Semarang?
  4. Apakah dampak atau keuntungan dari Pelabuhan Semarang bagi Semarang dan daerah hinterland disekitarnya, khususnya kesultanan Demak dan Mataram?

 

  • Ruang Lingkup Masalah
  1. Lingkup masalah : Pelabuhan Semarang, dalam perananannya sebagai
    Port of Java atau Pintu Gerbang lalu Lintas
    Perdagangan di utara Jawa.
  2. Lingkup Spasial :  Semarang sebagai daerah pesisiran atau pelabuhan.
  3. Lingkup Periodisasi : Pertengah abad XVI saat masa kepemimpinan
    Pandanaran II

 

  1. Tujuan Penelitian
  2. Mengidentifikasi Pelabuhan Semarang yang berperan sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan di utara pulau Jawa.
  3. Menjelaskan pengaruh Pelabuhan Semarang bagi hinterland, atau daerah pendukung di sekitarnya.
  4. Menelaah perkembangan yang terjadi pada Pelabuhan Semarang pada masa kepemimpinan Pandanaran II

 

  1. Manfaat Penelitian
    1. Untuk melengkapi sejarah lokal, Historiografi Indonesia, khususnya tentang sejarah lokal Pelabuhan Semarang, dalam peranannya sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan di utara Jawa
    2. Menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan sejarah lokal kepada masyarakat pada umumnya dan pengambil kebijakan di Semarang atau Jawa Tengah untuk merekonstruksi Pelabuhan Semarang sebagai Wahana Edukasi Tempat Bersejarah.

 

  1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap :

  1. Heuristik

Pencarian sumber primer dan sekunder, seperti dokumen-dokumen di Arsip Daerah, Perpustakaan Wilayah, Arsip Pemerintah Kota, wawancara dan kunjungan ke situs Pelabuhan Semarang dan Klenteng Gedongbatu (Chengho). Sejauh ini, yang saya temukan adalah :

  • Buku : Rihlah Ibnu Batutah (Travel of Ibn Batuta) english translated. University of Michigan, 1829,
  • Dokumen : Serat Kandaning Ringgit Purwa, Babad Demak
  • Wawancara : pakar (Prof. Singgih, UNDIP), budayawan Semarang (Djawahir Muhammad dan Jongkie Tio.
  1. Kritik

Digunakan untuk melakukan pengujian terhadap sumber di tahap Heuristik. Dilakukan dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain.

  1. Interpretasi

Memberikan makna terhadap fakta hasil verifikasi dan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain.

  1. Historiografi :

Menuliskan kisah sejarah Pelabuhan Semarang dalam peranannya sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan utara Jawa, pada masa kepemimpinan Pandanaran II.

  • Kajian Pustaka

Penelitian ini bukan satu-satunya penelitian tentang Pelabuhan Semarang . Ada penelitian serupa, yaitu :

  1. Akhir Matua Harahap. Sejarah Pelabuhan Semarang; dari Sungai Pindah ke Muara Baru Havenkanaal, Cikal Tanjung Emas. Poestaha Depok. 2017
  2. Rahmad Ardiansyah. Sejarah Pelabuhan Semarang pada Masa Kolonial Belanda Sampai Masa Republik. 2016.

 

Penelitian yang saya tulis, berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaannya adalah :

  1. Masa penelitian lebih awal, yaitu masa Kesultanan Demak atau era Ki Ageng Pandanaran (Sunan Pandanaran II)
  2. Menelaah peranannya sebagai pintu gerbang lalu lintas barang perdagangan, yang mempengaruhi perkembangan daerah hinterland di sekitarnya seperti Mataram dan kesultanan Demak.
  • Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 bab :

  • Bab I : merupakan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan
    Masalah, Lingkup Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
    Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika
  • Bab II     : membahas tentang  latar belakang Pelabuhan Semarang hingga
    era sebelumnya yaitu Pandanaran I.
  • Bab III : membahas  tentang sejarah Pelabuhan Semarang dalam
    peranannya sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan di
    utara Jawa di era Pandanaran II.
  • Bab IV : Pernyataan menjawab pertanyaan dari Bab III
  • Bab V : Kesimpulan. Menjawab pertanyaan yang ada di Bab I
  1. Daftar Pustaka
    1. Ardiansyah, Rahmad. 2016.Sejarah Pelabuhan Semarang pada Masa Kolonial Belanda Sampai Masa Republik.
    2. Batutah, Ibnu. 1829. The Travels of Ibn Batuta, translated form arabic manuscript Rihlah Ibnu Batutah preserved in The Public Library of Cambridge, London
    3. Harahap, Akhir Matua. 2017. Sejarah Pelabuhan Semarang; dari Sungai Pindah ke Muara Baru Havenkanaal, Cikal Tanjung Emas. Poestaha Depok.
    4. Budiman, Amen. Semarang, Riwayatmu Dulu. Penerbit Satya Wacana, Semarang.
    5. Data Sejarah Dari catatan Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba’alawi tahun 1979 (tentang Nasab Pandanaran II)

DAWET AYU MASIHKAH AYU, SEJARAH EKSISTENSI MINUMAN KHAS BANJARNEGARA SEJAK TAHUN 1980

Nama: Agung Fitri Adinata
Universitas Negeri Semarang
1. JUDUL
DAWET AYU MASIHKAH AYU, SEJARAH EKSISTENSI MINUMAN KHAS BANJARNEGARA SEJAK TAHUN 1980
2. LATAR BELAKANG
Sekitar tahun lima puluhan kota Banjarnegara terkenal sebagai kota buntil. Lebih-lebih
setelah Presiden Soekarno (Alm) berkunjung ke kota ini yang pada waktu itu suguhan utamanya: buntil dan dawet dari Desa Rejasa, kedua jenis makanan khas itu namanya melejit. Di samping kedua makanan khas itu, kota Banjarnegara juga terkenal karena salak dan kerajinan keramiknya (dari Kecamatan Kelampok).
Bagi sebagian besar masyarakat, terutama para pecinta kuliner, minuman Dawet Ayu
tentu tidaklah asing lagi di telinga. Bahkan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif barubaru ini menetapkan Dawet Ayu sebagai salah satu dari 30 ikon kuliner tradisional Indonesia.
Namun, jarang yang tahu sejarahnya. Dawet Ayu, sebagaiman dikisahkan si empunya yang mempopulerkan Dawet Ayu sejak tahun 1980, Munarjo, warga Rejasa Banjarnegara, tadinya tidak ada istilah Dawet Ayu. “Senien nggih wontene dawet” ujar Munarjo. Kisah bermula ketika kelompok lawak Peang Penjol Banyumas manggung di
Banjarnegara, mereka mendapati dagangan Dawet Ayu tidak ditunggui oleh pedagang pria, sebagaimana lazimnya. Ya, pada awalnya, dawet memang hanya dijajakan dengan cara dipikul.
Munarjo sendiri awalnya tidak tahu kalau nama Dawet Ayu dipopulerkan. “Kulo malah nembengertos mbarang mireng teng kaset, wonten lagu Dawet Ayu” kata Munarjo.
Kini Munarjo sudah kepala tujuh. Tentunya jauh dari kata ayu lagi. Namun karyanya
berupa Dawet Ayu, telah mempercantik namanya hingga dikenal dimana-mana. Sayangnya kini hampir semua penjual dawet mengklaim bahwa mereka menjajakan Dawet Ayu asli Banjarnegara. Padahal, Munarjo merasa tidak pernah memberikan lisensi mengenai Dawet Ayunya, dan tentu saja tak pernah pula mendapatkan royalti dari kekayaan intelektualnya. Ia dan keluarga hanya berharap para pedagang mampu menjaga kualitas rasa dari Dawet Ayu, agar rasanya tetap ayu. Mengenai sejarah Semar Gareng dalam gerobak Dawet Ayu, dapat disingkat kata belekang Semar, yaitu Mar, dan Gareng yaitu Reng. Sehingga jika digabungkan akan menjadi Mareng.
Dari Adhimas S. Bono (Majalah Krida th.1991 No.184, hal.14), penulis mendapat
keterangan bahawa „Dawet Ayu‟ sebenarnya adalah naman judul lagu pop Jawa (gending jawa) hasil ciptaanya. Barangkali lagu ciptaannya itu diilhami oleh salah seorang bakul dawet Banjarnegara yang menggunakan merek „Dawet Ayu‟ itulah mengapa seluruh bakul dawet Banjarnegara menggunakan merek „Dawet Ayu‟. Karena yang sedang terkenal adalah dawet produksi Bu Munarjo, maka banyak penjual dawet yang lain numoang alias ndompleng ketearan dawet Bu Munarjo. Di kota-kota lain seperti Semarang, Yogyakarta, Purwokerto, Pemalang, bahkan sampai Lampung kita dapat menjumpai Dawet Ayu Banjarnegara. Para penjualnya mengaku keponakan, saudara sepupu atau famili dekat Pak/Bu Munarjo.

3. PERMASALAHAN
a. Bagaimana sejarah Dawet Ayu kuliner khas Kabupaten Banjarnegara?
b. Seperti apa makna di balik keberadaan tokoh pewayangan semar dan gareng di gerobak Dawet Ayu?
c. Bagaimana eksistensi Dawet Ayu sebagai ikon Kabupaten Banjarnegara?

4. RUANG LINGKUP MASALAH
Sejarah Dawet Ayu sebagai salah satu kuliner khas Kabupaten Banjarnegara. Makna di balik adanya tokoh pewayangan semar dan gareng. Eksistensi Dawet Ayu sebagai maskot Kabupaten Banjarnegara.
5. TUJUAN PENELITIAN
Banjarnegara kaya akan sejarah wisata sejarah, seni budaya atau kuliner. Sehingga bisa
menjadi daya tarik sendiri bagi para penggiat sejarah untuk melakukan ekspedisi (penelusuran). Dalam hal ini lebih difokuskan untuk sejarah Dawet Ayu sebagai kuliner khas Kabupaten Banjarnegara. Yang sampai saat ini masih dapat ditemui di wilayah Banjarnegara. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini antara lain:
a. Mengulas sejarah Dawet Ayu Kabupaten Banjarnegara mulai tahun 1980.
b. Mengetahui sejarah di balik adanya tokoh pewayangan semar dan gareng di gerobak Dawet Ayu.
c. Mengetahui eksistensi Dawet Ayu sebagai ikonm (maskot) Kabupaten Banjarnegara.

6. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan untuk memerkaya Historiografi Indonesia tentang sejarah
Banjarnegara mengenai “Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara, Berawal dari tahun 1980”. Di sisi lain, juga bisa dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya mengenai sejarah Kabupaten Banjarnegara.

7. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang kami gunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode sejarah. Yang terdiri dari atas empat tahapan, ada heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi.
Heuristik
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan sumber dari berbagai tempat seperti Arsip Nasional Republik Indonesia. Arsip Daerah Jawa Tengah. Sumber yang kami temukan diantarnya Buku „Banjarnegara, Sejarah dan Babadnya, Obyek Wisata dan Seni Budayanya‟.
Kritik
Kritik digunakan untuk menguji valid atau tidaknya suatu sumber sajarah. Dalam tahap ini kami melakukan kritik sumber dengan membandingkan sumber yang satu dengan yang lain untuk membuktikan kevalidannya.
Interpretasi
Dalam hal ini kami memberikan makna terhadap fakta-fakta sejarah yang dihasilkan melalui hasil verifikasi serta menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya. Hasil produk
tulisnnya dalam produk ini adalah “Dawet Ayu Masihkah Ayu, Sejarah Eksistensi Minuman Khas Banjarnegara Sejak Tahun 1980”.
Historiografi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap ini kami menghasilkan sebuah tulisan yang berjudul “Dawet Ayu Masihkah Ayu, Sejarah Eksistensi Minuman Khas Banjarnegara Sejak Tahun 1980”

8. KAJIAN PUSTAKA
Buku yag ditulis oleh Adisarwono, Banjarnegara, Sejarah dan Babadnya, Obyek Wisata
dan Seni Budayanya: Buku ini memaparkan tentang sejarah Kabupaten Banjarnegara. Dari berdirinya Kabupaten Banjarnegara, Kademangan Gumelem, Seni Tradisional, Obyek Wisata dan lain-lain. Persamaan isi buku tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis ada pada bagian obyek wisata kuliner yang dimuat dalam buku tersebut.
Penelitian yang kami kaji memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis lainnya. Dalam penelitian ini kami akan menjelaskan eksistensi Dawet Ayu, makna semar dan gareng di gerobak dawet ayu.

9. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I: PENDAHULUAN, Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang, rumusan masalah
beserta pertanyaan penelitian, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II: SEJARAH DAWET AYU KULINER KHAS KABUPATEN BANJARNEGARA,
kami akan membahas sejarah Dawet Ayu. Kisah bermula ketika kelompok lawak Peang Penjol Banyumas manggung di Banjarnegara, mereka mendapati dagangan Dawet Ayu tidak ditunggui oleh pedagang pria, sebagaimana lazimnya. Ya, pada awalnya, dawet memang hanya dijajakan dengan cara dipikul. Wajar jika hanya kaum Adam yang mampu melakoni pekerjaan ini. Munardjo mendobrak kebiasaan berjualan dawet dengan cara dipikul, namun ditunggui (mangkal). Dan karena yang menunggui perempuan, maka kelompok lawak Peyang Penjol berujar “Panetes, wong sing dodol
ayu, ya dejenengi bae Dawet Ayu”.
Tentang munculnya nama „dawet ayu‟ pada tahun 1980-an ada yang berpendapat karena si bakul dawetnya ayu (cantik). Salah seorang bakul dawet yang cukup dikenal masyarakat Banjarnegara ialah Bu Munarjo yang sudah berusia kepala tujuh. Tentunya jauh dari kata ayu lagi. Namun sisa-sisa kecantikannya masih Nampak jelas. Ia berasal dari Desa Rejasa, tempat kelahiran Pak Dullah bakul dawet yang cukup terkenal pada tahun-tahun lima pulihan.
(Adisarwono, 2013:403)
Dengan karyanya berupa Dawet Ayu, telah mempercantik namanya hingga dikenal
dimana-mana. Sayangnya kini hampir semua penjual dawet mengklaim bahwa mereka
menjajakan Dawet Ayu asli Banjarnegara. Padahal, Munarjo merasa tidak pernah memberikan lisensi mengenai Dawet Ayunya, dan tentu saja tak pernah pula mendapatkan royalti dari kekayaan intelektualnya.
BAB III: MAKNA ADANYA TOKOH PEWAYANGAN SEMAR DAN GARENG, dalam
bab ini akan dibahas tentang makna simbolis yang ada pada sosok pewayangan semar dan gareng. Dan seperti apa kaitannya dengan minuman Dawet Ayu khas Banjarnegara.
Mengenai sejarah Semar Gareng dalam gerobak Dawet Ayu, dapat disingkat kata
belekang Semar, yaitu Mar, dan Gareng yaitu Reng. Sehingga jika digabungkan akan menjadi Mareng. Maka tak boleh keliru tempat memasangnya. Mareng disatu sisi merupakan situasi kemarau, yang secara otomatis membuat orang akan memburu Dawet Ayu sebagai pelepas dahaga. Dan mareng di sisi yang lain diarikan datang, atau berbondong-bondong mendatang penjual Dawet Ayu. Ada pula makna lain, yaitu mengambil kata depan dua tokoh punakawan tadi, yaitu Se, dan Gar. Yang jika digabungkan, maka menjadi kata Segar. Ya, dawet ayu Banjarnegara tak hanya Ayu dari segi rasa, namun juga segar.
BAB IV: EKSISTENSI DAWET AYU SEBAGAI IKON KABUPATEN
BANJARNEGARA, seperti apa eksistensi minuman khas ini dari zaman ke zaman akan dibahas dalam bab ini.
Dawet ayu adalah minuman khas dari Banjarnegara. Minuman ini mudah ditemukan di
pasar-pasar tradisiona. Es Dawet Ayu asli Banjarnegara rasanya lezat dan segar, sehingga sangat cocok diminum ketika cuaca panas. Dawet Ayu dapat diminum dalam keadaan biasa atau dingin
dengan menmabahkan es batu. Rasa yang segar dan nikmat merupakan keistimewaan dan keunikan tersendiri sebagai minuman tradisional khas Banjarnegara. Seiring dengan perkembangan jaman, kini es dawet ayu tidak hanya dapat dijumpai di Banjarnegara saja, tetepi dapat dijumpai ditengah-tengah kota cuaca panas tropis seperti Semarang, Jakarta, Surabaya dan masih banyak lagi kota-kota lain.
Dawet Ayu sendiri merupakan salah satu maskot Kota Banjarnegara, buktinya ada di
alun-alun kota, karena di sana terdapat Monumen Dawet Ayu yang berupa gerobak dan dua orang penjualnya. Es dawet cah Mbanjar (Dawet Ayu) produksinya telah merambah pasar Singapura. Di Indonesia, Dawet Ayu sudah diproduksi mulai dari wilayah Barat, Tengah hingga Timur. Minuman khas Banjarnegara kini sudah bisa dirasakan seluruh masyarakat negeri ini. Di Singapura, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) juga memesan Dawet Ayu. Dan minuman ini pun sudah dipromosikan di Thailand akhir-akhir ini.
BAB V: SIMPULAN, dalam bab ini berisi simpulan yang ditarik dari pembahasan pada bab sebelumnya Tentang munculnya nama „dawet ayu‟ pada tahun 1980-an ada yang berpendapat karena si bakul dawetnya ayu (cantik). Salah seorang bakul dawet yang cukup dikenal masyarakat Banjarnegara ialah Bu Munarjo yang sudah berusia kepala tujuh. Tentunya jauh dari kata ayu lagi. Dengan karyanya berupa Dawet Ayu, telah mempercantik namanya hingga dikenal dimanamana.
Sayangnya kini hampir semua penjual dawet mengklaim bahwa mereka menjajakan
Dawet Ayu asli Banjarnegara. Mengenai sejarah Semar Gareng dalam gerobak Dawet Ayu, dapat disingkat kata belekang Semar, yaitu Mar, dan Gareng yaitu Reng. Sehingga jika digabungkan akan menjadi Mareng. Mareng disatu sisi merupakan situasi kemarau, yang secara otomatis membuat orang akan memburu Dawet Ayu sebagai pelepas dahaga. Dan mareng di sisi yang lain diarikan datang, atau berbondong-bondong mendatang penjual Dawet Ayu.
Dawet Ayu dapat diminum dalam keadaan biasa atau dingin dengan menmabahkan es
batu. Rasa yang segar dan nikmat merupakan keistimewaan dan keunikan tersendiri sebagai minuman tradisional khas Banjarnegara. Seiring dengan perkembangan jaman, kini es dawet ayu tidak hanya dapat dijumpai di Banjarnegara saja, tetepi dapat dijumpai ditengah-tengah kota cuaca panas tropis seperti Semarang, Jakarta, Surabaya dan masih banyak lagi kota-kota lain. Di Indonesia, Dawet Ayu sudah diproduksi mulai dari wilayah Barat, Tengah hingga Timur. Minuman khas Banjarnegara kini sudah bisa dirasakan seluruh masyarakat negeri ini.
10. BIBLIOGRAFI
Mertadiwangsa, Adisarwono. 2013. Banjarnegara, Sejarah dan Babadnya, Obyek Wisata dan Seni Budayanya. Banjarnegara: Duta Publishing Indonesia.
Majalah „Krida‟ tahun 1991 Nomor 184, hal.14: Perang Antar Dawet Ayu.
Film Dokumenter berjudul “Lestari Dawet Ayuku” karya siswa SMA Negeri 1 Sigaluh,
Ekstrakurikuler Jurnalistik, Film, dan Fotografer tahun 2010.
Dawetayubanjarnegaraibueti.blogspot.co.id/2011/07/sejarah-dawet-ayu-aslibanjarnegara.
html?m=1 (diakses Senin 5 Maret 2018)
11. LAMPIRAN
Dalam lampiran akan ditambilkan sumber-sumber sejarah khususnya tentang “Dawet Ayu”

Selamat Menulis Sejarah

Blog ini adalah wadah untuk mempublikasikan hasil karya kerangka penulisan sejarah pada kegiatan Bimbingan Teknis Penulis Sejarah yang diselenggarakan oleh Subdit Pembinaan Tenaga Kesejarahan, Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pesertanya diprioritaskan dari peminat penulisan sejarah yang tidak berlatarbelakang pendidikan sejarah.

Kegiatan ini merupakan wujud perhatian pemerintah pada perkembangan penulisan sejarah di Indonesia supaya lahir penulis-penulis sejarah yang menuliskan karya sejarahnya sesuai dengan kaidah penulisan sejarah yang baik dan benar. Untuk mempublikasikan rancangan karya tulisan sejarah peserta yang akan dikembangkan menjadi penulisan sejarah yang utuh, panitia menyiapkan sarana ini, supaya masyarakat bisa melihat tingkat minat menulis sejarah bukan hanya pada profesi khusus sejarah, tapi juga dari masyarakat.

Semoga bermanfaat.