BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat (kekuasaan) negara yang mempunyai tugas untuk memelihara ketertiban dan keamanan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat suatu wilayah. Kehadiran mereka sangat penting artinya bagi masyarakat sipil guna menjamin kehidupan social yang lebih baik. Namun demikian, keberadaan TNI dan polisi tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan negara, karena sebagain institusi merupakan perpanjangan tangan negara. Semakin baik kwalitas anggota TNI dan polisi maka semakin maju negara tersebut, tetapi persoalan ini tidak pernah diperhatikan baik di negara Indonesia. Apalagi ketika Indonesia masih berada dalam wilayah yang tidak stabil sebagaimana yang terjadi pada masa revolusi fisik, 1945-1950. Saat itu, TNI dan polisi memiliki banyak tugas penting yang kadang kala tumpang tindih dengan tugas pokoknya. Keberadaan militer pada periode tersebut, selain sebagai pengayom masyarakat, juga merasa dirinya sebagai bagian dari alat perjuangan masyarakat Indonesia, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari revolusi saat itu. Hal ini disampaikan Bambang Purwanto bahwa pada masa transisi, sekitar masa revolusi fisik itu, terjadi keragaman realitas sejarah. Ketika masyarakat berhadapan dengan krisis, perilaku dan tindakan mereka baik sebagai individu maupun kelompok tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang jadikan sebagai identitas umum. Kekerasan dan kriminalitas ternyata menjadi bagian dari realitas sejarah masyarakat di kota, walaupun memori kolektif dan sejarah yang mereka ingat mengingkarinya.[1] Dengan demikian, kebutuhan akan kehadiran TNI dan polisi bagi sebuah negera, seperti Indonesia merdeka, Hindia Belanda dan Tentara Pendudukan Jepang.
Kenyataan sejarah Indonesia, dan juga Surakarta, menjelaskan bahwa negara sangat membutuhkan kekuatan pertahanan. Pada masa Hindia Belanda, terutama pada periode pergerakan, organisasi militer sangat berperan penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti pada masa pergerakan. Gerakan kaum pergerakan dianggap membahayakan negera Hindia Belanda sehingga dimunculkanlah aturan mengenai rust en orde. Imbasnya adalah banyak tokoh pergerakan yang ditangkap dan dipenjarakan. Selain itu, berbagai macam kejahatan selalu diselesaikan oleh korps ini, walaupun hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda saat Jepang tampil sebagai penguasa baru dan tangan besi pemerintah yang tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan terutama dikaryakan untuk tugas pemulihan ketertiban dan penjagaan kewibawaan pemerintah serta menjalankan tugas jaga dan pengawalan transportasi barang atau manusia (terutama narapidana atau tahanan).[2] Tujuan dibentuknya kepolisian pada zaman Hindia Belanda terkait dengan kepentingan Negara Belanda dan kepentingan orang – orang Belanda di Indonesia, maka tujuan kepolisian yang lebih erat untuk mengusahakan ketaatan penduduk terhadap peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda sehingga roda pemerintahan di tanah jajahan dapat berjalan lancar.
Pada situasi yang demikian itu, di Surakarta harus melihat dirinya sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan sekaligus sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di Surakarta. Sehingga Polisi Surakarta menjadi bagian terpenting dari masa revolusi di Jawa Tengah. Tidak hanya persoalan dengan Belanda, tetapi juga dengan Peristiwa Madiun 1948, wilayah Surakarta mengambil bagian sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Belum selesai dengan tuntas persoalan Madiun, Belanda kemudian melakukan Agresi Militer Belanda II menyebabkan keadaan Kota Surakarta sangat genting dan tidak aman, warga Kota Surakarta semakin resah. Pada tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta diduduki Belanda.[3] Keesokan harinya, pasukan Belanda memasuki Kota Surakarta. Mereka pun harus berhadapan dengan perlawanan para pejuang republik, maka dibentuklah strategi Perang Gerilya yang diperintahkan bagi pasukan TNI di Kota Surakarta. Wilayah Operasi Gerilya ini disebut Sub Wehrkreise 106 Arjuna (SWK 106) dengan pimpinan Mayor Achmadi.[4] Bentuk pemerintahan militer di Daerah Surakarta mulai berlaku sejak tanggal 25 Desember 1948 selang lima hari Belanda menguasai wilayah Surakarta. Golongan bekas Polisi Istimewa, PETA, Heiho dan Kaigun membentuk pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan perjuangan kemerdekaan merebut kekuasaan dari pihak Belanda. Situasi yang demikian membuat polisi republik pun ikut terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung tersebut.
Keadaan dimasa transisi menjadikan Surakarta memiliki persoalan dengan munculnya partai PKI terdahulu. Eksistensi keberadaan partai yang berhaluan komunis menjadi tolok ukur pada dekade 1960-an. Seiring situasi kemanan nasional yang semakin mencekam, maka pemerintah pusat pada tanggal 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit berisi peleburan Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi organisasi ketentaraan resmi yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).[5] Organisasi militer telah membentuk persatuan dan kesatuan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan seterusnya menjadi tugas penting untuk mengamankan situasi negara.
Perkembangan politik di Surakarta pada khususnya menjadi persoalan yang mencakup pemerintahan. Surakarta pada masa pemberontakan PKI 1965 cukup menarik untuk dilihat lebih jauh dalam perspektif sejarah. Berbagai peristiwa besar yang berskala nasional, dan mungkin juga internasional memberi pengaruh pada situasi dan kondisi Kepolisian Surakarta, baik sebagai institusi maupun sebagai alat negara. Oleh karena itu, topik ini perlu dikaji lebih mendalam lagi guna menjelaskan kontribusi penting Polisi Surakarta dalam sejarah Surakarta dan Sejarah Indonesia. Apalagi memang dalam sejarah Indonesia, aspek militer menjadi bagian pentingnya, namun Polisi sepertinya tidak banyak disebutkan dengan baik. Padahal konstribusi mereka cukup menentukan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Terlepas dari adanya pandangan miring yang selalu dialamatkan kepada intitusi yang satu ini, namun kepolisian merupakan bagian penting dari Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Mencermati latar belakang di atas maka penulis mengambil topik mengenai peran Polisi di Surakarta masa Perang Kemerdekaan tahun 1948-1949 dan pengaruh peran keamanan Kota Surakarta yang ditimbulkan karena adanya serangan Agresi Militer Belanda II saat itu Kepolisian juga membentuk organisasi-organisasi yang melibatkan peran polisi menjadi lebih penting. Kemudian keterlibatan polisi dan TNI dalam aksi penumpasan PKI Madiun 1948, menjaga dan menertibkan keamanan di Surakarta.
Melalui perkembangan politik yang menjadikan kondisi keamanan tidak stabil khususnya di wilayah karisedenan Surakarta ( Klaten, Boyolali, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo dan Karanganyar). Wilayah yang menjadi basis kekuasaan PKI menjadi bukti bahwa wilayah tersebut mejadi tidak aman. Dari laporan-laporanitu disebutkan pula bahwa gangguan keamanan tersebut bersumber dari reaksi masyakrakat yang semakin resah. Sebagian besar kelompok-kelompok oposisi yang dilaporkan oleh gerakan-gerakan perlawanan yang memiliki hubungan dengan Tan Malaka yang merupakan guru politik bagi M. Khatta, Syahrir, serta BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia )sebagai organisasi yang dianggap radikal di bawah pimpinan Bung Tomo. Pengaruh terhadap gerakan yang terus dilakukan dalam perlawanan agenda-agenda pemerintahan kabinet syahrir yang mengalami jatuh bangun tiga kali.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini menemukan beberapa permasalahan yang layak diteliti. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimana kondisi Surakarta era 1960-an ?
- Bagaimana peristiwa penumpasan G30/S PKI 1965 di Karesidenan Surakarta?
- Bagaimana peran militer dalam strategi perlawanan penumpasan G30/S PKI 1965.
3. Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini mengangkat pada pokok permasalahan yang terjadi di wilayah karesidenan Surakarta tahun 1965 pasca peristiwa pemberontakan G30/S PKI 1965. Karesidenan Surakarta mengalami situasi kurang aman dan mengakibatkan kondisi sosial maupun ekonomi mengalami perubahan. Disisi lain peran militer sebagai organisasi pertahanan negara yang sangat diperlukan. Sehingga di era 1960-an wilayah Karesidenan Surakarta menjadi basis utama pemberontakan G30/S PKI 1965.
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
- Sebagai pengembangan dan meningkatkan kemampuan untuk melatih penerapan metode sejarah secara logis, kritis, sistematis, analisis, dan objektif sesuai metodologi dalam proses peristiwa sejarah sehingga dapat mengerti peristiwa yang telah terjadi.
- Merekonstruksi kembali sejarah Indonesia.
- Untuk mengetahui keadaan Surakarta tahun 1960-an.
- Mendeskripsikan peristiwa penumpasan G30/S PKI 1965 di Surakarta.
- Menjelaskan peran militer masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju orde baru.
Manfaat Penelitian
- Mengetahui dengan jelas sejarah Surakarta era 1960-an.
- Mengetahui peristiwa penumpasan di Surakarta 1965 .
- Mengetahui peran militer dalam penumpasan PKI 1965 di Surakarta.
- Sebagai media untuk mengukur kemampuan penulis untuk merekonstruksi peristiwa sejarah dan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah.
5. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan telaah terhadap literatur-literatur yang melandasi pemikiran dalam penelitian.[6] Telaah ini diperlukan untuk menjawab sementara dari rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Karya tulis ini menggunakan beberapa kajian pustaka yang berkaitan dengan Surakarta dekade 1960-an.
TNI merupakan salah satu ujungtombak pelayanan masyarakat yang melekat sebagai penegak hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kiprah TNI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia sendiri. Pentas sejarah di Indonesia mulai berubah semasa Perang Dunia II. Pada Masa Demokrasi Terpimpin dengan menggandeng beberapa program yang dikancahkan oleh Soekarno tahun 1959. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang merombak struktur pemerintahan di Indonesia pada ummnya. Keberadaan PKI Sepanjang mempengaruhi kehidupan petani, buruh sehingga tujuan menjadikan PKI ini menjadi tidak sejalan dengan tujuan dasar negara Pancasila. Sejarah Kepolisian Indonesia merupakan cikal bakal kepolisian didikan Jepang. Jepang mengubah segala bentuk pemerintahan yang didirikan masa kolonial Belanda menjadi negara yang militeristik. Salah satu kota penting yang menjadi tempat pemerintahan Jepang yaitu Surakarta. Segala bentuk perubahan pemerintahan dirombak oleh Jepang. Perubahan bentuk nama tempat hingga sistem pendidikan yang menekankan kemiliteran.
Tahun 1942, Jepang menggantikan posisi Belanda di Indonesia memberikan perubahan khususnya bidang militer. Jepang dengan jalan pintas mengganti semua sistem organisasi militer salah satunya kepolisian dengan tujuan menyempurnakan kepolisian untuk lebih efektif mengatasi permasalahan setiap wilayah. Pembentukan Tokubetsu Keisatsu Tai menjadi cikal bakal kepolisian menjadi lebih berkembang setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa bagian besar anggota polisi berasal dari Cianbu (Kepolisian Jepang) para simpatisan laskar rakyat dan anggota semi militer seperti Barisan Polisi Istimewa – Sekolah Menengah Tinggi (BPI–SMT) pimpinan Prakoso, Kompi Brigade Polisi dan beberapa anggota Tentara Pelajar.[7] Pada masa pendudukan Jepang, jenis kepolisian sipil hanya ada satu yang tidak tersusun sebagai organisasi terpusat, peraturan organisasi kepolisian juga ditiadakan.
Status kepolisian masa pendudukan Jepang tidak mendapat peraturan-peraturan landasannya. Secara formil hanya melanjutkan pada tiap korps polisi di Jawa dan Madura yang dapat diketahui polisi itu ada dibawah pamong praja. Peristiwa heroik yang terjadi di Surakarta masa revolusi dari proses pemindahan kekuasaan di Surakarta dengan melucuti senjata Jepang dan sarana prasarana yang diduduki oleh serdadu Jepang. Hari pertama revolusi nasib para polisi berada dalam situasi yang dilematis dan mengkhawatirkan, polisi dianggap sebagai alat kekuaaan yang menjamin berlangsungnya pemerintahan sebelumnya baik dibawah Belanda maupun pendudukan Jepang.[8] Sistem dualisme pada zaman Hindia Belanda, kenyataan masih ada di masa Jepang, sebab kedudukan Ciang–Butyo tiap keresidenan sebagai Kepala Polisi Keresidenan merangkap sebagai Kepala Kejaksaan Keresidenan.[9]
Sebagai satu unit pasukan yang dididik dan dilatih ala kadarnya, bergaji rendah dan bertindak interdisipliner, kepolisian bersenjata kerap dipandang sebelah mata sehingga hal tersebut menjadi sebab untuk menunjukkan citra kepolisian yang baik.[10] 21 Desember 1948, merupakan hari kelabu bagi penduduk kota Surakarta karena Belanda menyerbu dan menduduki kota-kota penting di Jawa. Sebelumnya Tentara Belanda telah menyerbu Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta dengan pasukan payungnya dibawah Kolonel Van Langen. Usaha sebelum agresi yang telah dibentuk oleh para polisi dengan memusatkan bagian tata usaha, keuangan, perlengkapan dan organisasi yang terbentuk secara utuh.
Pada tiap-tiap Komando Distrik Militer (KDM) dibentuk detasemen, yang mempunyai bagian kriminil, dokumentasi, tatausaha, keuangan dan perlengkapan.[11]
Masa transisi semenjak pemerintahan terpimpin oleh Sukarno menjadi lebih penting disebabkan karena kondisi saat itu pasca pemberontakan G30/S PKI, saat itulah Soekarno memberikan mandat terhapa Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI. Kemudian keluarlah mandat SUPARSEMAR yaitu yang diberikan kepada Soeharto pada 11 Maret 1966, dengan ketiga pengawal Soeharto yaitu Basuki Rahmat, M. Yusuf dan Amir Mahmud.
6. Historiografi yang Relevan
Metode penelitian sejarah, historiografi merupakan tahap terakhir yang harus ditempuh seorang peneliti. Historiografi merupakan proses rekonstruksi imajinatif dari masa lampau. Rekonstruksi ini harus didasarkan pada data yang diperoleh dan sudah menempuh tahap uji validitas.[12] Historiografi yang relevan merupakan suatu penelitian historis yang mendahului penelitian yang akan ditulis.[13]
Tujuan dari pencantuman historiografi yang relevan dalam sebuah penelitian adalah untuk membuat penelitian yang ditulis lebih jelas. Selain itu, historiografi yang relevan juga akan menunjukkan perbedaan antara kajian yang dilakukan sebelumnya dan kajian yang akan ditulis. Karya sejarah yang ditulis diharapkan memiliki sisi orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pertama, karya penelitian Annisa Tri Wahyuni yang berjudul Perkembangan Polisi Pengawas Aliran Masyarakat (PAM) Di Indonesia Tahun 1945-1950. Skripsi ini menjelaskan tentang pembentukan Polisi PAM pada masa revolusi selain itu proses perubahan dari Polisi PAM ke DPKN dalam perpolitikan. Tugas Polisi PAM juga melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat yang membahayakan negara. Jadi pembedaannya adalah penulis hendak membahas perkembangan kepolisian di masa revolusi.
Kedua, karya penelitian Koidah yang berjudul Sekolah Darurat Di Sendang Agung Pada Masa Agresi Militer Belanda II (1948 – 1949). Penelitian ini berisi cikal bakal didirikannya Sekolah Polisi Negara Republik Indonesia, yang melatarbelakangi berdirinya sekolah darurat polisi. Didirikannya sekolah darurat polisi di Sendang Agung berpengaruh pada Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta yang diprakarsai oleh Mohammad Suryopranoto. Perbedaan dengan skripsi tersebut terletak pada sistem serangan Agresi Militer Belanda II di Surakarta dan organisasi pembentukan polisi tahun 1945 – 1948.
Ketiga, disertasi Genoveva Ambar Wulan yang berjudul Polisi Dan Politik: Peranan Bagian Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) Jawatan Kepolisian Negara RI pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Penelitian membahas mengenai Jawatan Kepolisian Negara yang terorganisasi ketika masa revolusi. Selain itu di dalamnya juga menguraikan arsip negara yang berkaitan dengan PAM. Peran PAM disebutkan sangat penting guna untuk mempekuat organisasi Kepolisian di Indonesia pada masa revolusi.
Keempat, karya ilmiah Genoveva Ambar Wulan yang berjudul Pengelolaan Keamanan dalam Negeri di Masa Revolusi (Tinjauan terhadap pelaksanaan fungsi Intelijen Kepolisian RI 1945-1949). Karya tersebut membahaspengelolaan fungsi militer di dalam negeri yang menjadi tugas pokok pengamanan negara di masa revolusi. Yang membedakan karya ini adalah keamanan pasca pemberontakan G30/S PKI di Surakarta tahun 1965. Sehingga keamanan yang diperankan oleh TNI maupun Polisi yang tergabung dalam kesatuan keamanan.
7. Metode Penelitian
Sejarah sebagai ilmu memiliki metode untuk mengungkapkan rekonstruksi agar menghasilkan karya sejarah yang ilmiah, kritis dan objektif. Metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.[14] Metode sejarah bertujuan untuk mengkaji dan menguji jejak-jejak sejarah yang tercecer dan menganalisanya secara kritis. Secara pengertian yang lebih luas, metode sejarah sebagai usaha untuk menyatukan data-data yang ada sehingga sebuah kisah sejarah dapat dipertanggungjawabkan.[15].
Heuristik
Heuristik merupakan kegiatan untuk mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, materi sejarah atau evidensi sejarah.[16]
Sumber primer adalah kesaksian seseorang dengan mata kepala sendiri, yaitu saksi dengan panca indera, atau alat mekanis.[17] Sumber tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu, tertulis dan tidak tertulis contohnya dokumen-dokumen, dan sumber tidak tertulis misalnya artefak. Pengumpulan sumber tertu lis, penulis melakukan penelusuran data yang tersimpan antara lain:
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 10.
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 68
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 1051.
Dephankam, Arsip Penetapan Dewan Pertahanan Negara 1946, No. 49.
Sumber Sekunder merupakan sumber kedua setelah sumber utama. Sumber sekunder adalah kesaksian yang bukan berasal dari pelaku melainkan berupa hasil penelitian sejarah atau jurnal-jurnal. Sumber ini bisa berupa buku, laporan penelitian, karya ilmiah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Penulisan skripsi ini, menggunakan buku, laporan penelitian, dan majalah sejaman.
Abdul Haris Nasution, Pokok – Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia masa yang lalu dan akan datang, Bandung : Angkasa, 1980.
Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, Jakarta: Sapdodadi, 2000.
Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2004.
Pusjarah TNI, Bahaya Laten Komunis Jilid I-V, Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 1998.
Pusjarah TNI, Badan-badan perjuangan, Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 1998.
Sumber sejarah lisan bapak Usman Amirudin, bapak Barjo, bapak Dwijo.
Kritik Sumber (Verifikasi)
Tahap verifikasi disebut juga sebagai tahap kritik sumber. Di sini, sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan akan diuji keabsahannya untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Verifikasi terdiri dari dua tahap, yaitu verifikasi autentisitas dan verifikasi kredibilitas. Verifikasi autentisitas merupakan verifikasi yang menguji keaslihan sumber terkait bukti bahwa sumber yang telah ditemukan benar-benar berasal dari zamannya atau tidak. Misalnya, dari aspek kertas, tinta, atau gaya bahasanya. Verifikasi autentisitas biasanya dikenal dengan kritik ekstern. Sementara itu, verifikasi kredibilitas mencoba untuk menganalisis mengenai keterpercayaan sumber tersebut. Sumber yang telah ditemukan dapat dipercaya atau tidak. verifikasi kresidbilitas disebut juga dengan kritik intern[18].
Kritik ekstern adalah krtitik sumber yang berupaya untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan sumber-sumber melakukan penelitian, sebagai hal terpenting untuk memastikan bahwa peneliti sejarah menggunakan sumber asli. Arsip yang didapatkan berupa dokumen dan artefak.
Kritik intern adalah penilaian terhadap sumber sejarah dari sumber yang terseleksi dan penyeleksiannya harus bisa dipertanggungjawbkan secara ilmiah. Kegiatan ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang satu dengan yang lain. Sumber yang ditemukan setelah diseleksi terhadap isi buku atau arsip yang diperoleh kemudian disaring terhadap opini untuk mencegah kesalahan mengungkap fakta yang terjadi sebenarnya.
Interpretasi
Interpretasi merupakan penafsiran seorang sejarawan atas sumber-sumber yang telah lolos dari tahap verifikasi. Menurut Kuntowijoyo, interpretasi sering dianggap sebagai faktor utama dari subjektivitas sejarah. Tanpa adanya interpretasi, data-data tidak akan dapat berbicara sendiri. Seorang sejarawan harus mampu menafsirkan data yang dimilikinya agar peristiwa sejarah dapat dipahami oleh pembaca.[19] Interpretasi terdiri dari dua macam yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Interpretasi yang akan digunakan ialah jenis interpretasi analisis. Artinya, data-data yang telah terkumpulakan diuraikan menggunakan berbagai pendekatan sehingga dapat diambil satu kesimpulan dari sebuah peristiwa sejarah.
Penulisan (Historiografi)
Penulisan sejarah dikenal juga sebagai historiografi. Pada tahap ini berisi penyusunan data-data yang ada sekaligus penafsiran seorang sejarawan. Tahap penulisan sejarah ini merupakan tahap akhir dari proses perekonstruksian peristiwa sejarah. Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian akan dituliskan secara kronologis. Setelah itu, hasil penelitian diwujudkan dalam bentuk tulisan sejarah. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial lain yang membahas permasalahan kontemporer, penelitian sejarah fokus terhadap masa lalu. Bentuk penulisannya bersifat diakronis, yaitu menerangkan peristiwa dalam kurun waktu tertentu.[20]
Penelitian ini menggunakan model penulisan sejarah analitis. Penulisan ini berbeda dengan model penulisan sejarah naratif. Pada sejarah naratif, penulis berusaha untuk menguraikan masa lampau dengan cara bercerita. Fakta-fakta dihadirkan dan disusun sedemikian rupa, hanya kejadian-kejadian penting yang telah diseleksi yang dapat dimasukkan dalam tulisan. Pendeknya, sejarah naratif mencoba untuk menyusun cerita tentang masa lampau. Sejarah analitis merupakan sejarah yang berpusat pada pokok permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut yang kemudian akan diuraikan secara sistematis. Permasalahan inilah, maka sejarah analitis memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial dalam kajiannya.[21] Penelitian sejarah harus menjawab mengenai apa, siapa, kapan, bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, menjelaskan secara kritis dan mendalam tentang sebab musabab terjadinya suatu peristiwa. Sehingga historiografi menghasilkan sejarah kritis dan utuh mengenai objek studinya.[22]
7. Pendekatan Penelitian
Metodologi ilmu sejarah adalah masalah pendekatan (approach).[23] Proses rekonstruksi sejarah mengenai suatu peristiwa sejarah sangat tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam penelitian. Pendekatan penelitian untuk memperjelas dan mempertajam kajian masalah. Penulisan sejarah diperlukan teori-teori dari disiplin ilmu yang memiliki penjelasan lebih baik untuk menganalisis sejarah. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menggunakan beberapa pendekatan sebagai analisis dari penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi, militer dan politik.
- Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi adalah suatu pendekatan yang menyelidiki persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan dalam kehidupan mayarakat atau berusaha memahami kekuatan-kekuatan dasar yang berada dibelakang tata kelakuan sosial. Pendekatan sosoiologi untuk melihat dan menjelaskan keadaan sosial di Surakarta pada masa peralihan transisi Demokrasi Terpimpin 1960. Terjadinya peristiwa pembantaian PKI 1965 di Surakarta yang melibatkan pribumi lokal dengan kubu PKI. Menganalisis interaksi sosial terhadap hubungan sosial antara rakyat Surakarta dengan TNI
- Pendekatan militer
Pendekatan militer ialah kebijakan pemerintah mengenai persiapan dan strategi militer yang menentukan potensi kekuatan perang negara sangat dipentingkan dengan berpedoman pada teori gerilya milik A.H Nasution dimana masa penumpasan PKI 1965 juga menggunakan strategi yang terstruktur dan memperkuat organisasi dengan membentuk detasemen atau KDM setiap daerah. Pendekatan ini digunakan sebagai peninjau untuk menganalisis kebijakan setiap jawatan dengan dibentuknya Komando Onder Distrik Militer (KODM). Peneliti dapat melihat aktivitas militer yang terjadi di Surakarta tahun 1960 – 1966.
- Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi digunakan untuk memecahkan masalah maupun dampak ekonomi yang terjadi dengan prinsip dasar ekonomi. Pendekatan ini untuk melihat keadaan ekonomi yang melatar belakangi sebagai kegiatan para gerilyawan untuk mendapatkan persenjataan amunisi untuk melawan PKI 1965 .
8. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
BAB I. PENDAHULUAN
Bab pertama menjelaskan mengenai hal mendasar penulisan ini. Terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode yang digunakan, dan terakhir sistematika penulisan.
BAB II. KEADAAN UMUM DI SURAKARTA ERA 1960-an
Bab ini membahas gambaran umum Kota Surakarta era 1960-an. Gambaran umum permulaan masa peralihan kepemimpinan Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin. Dimulai perkembangan masa revolusi hingga munculnya PKI sebagai ideologi yang beraluan komunis.
BAB III. PEMBANTAIAN KEDUNG KOPI OLEH PKI 1965
Bab ini membahas mengenai kesaksian peristiwa pembantian di Kedung Kopi tahun 1965 di Surakarta. Disisi lain keadaan sosial di Sureakarta pasca pembantaian di Kedung Kopi tahun 1965. Menjelaskan kehidupan masyarakat di sekitar wilayah yang menjadi peristiwa tersebut. Penyusupan partai politik PKI dan PNI pada masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru. Kesaksian-kesaksian peristiwa pahit yang masih menjadi dilema masyarakat Surakarta dan sekitarnya pada umumnya, pasca PKI 1965 di Surakarta.
BAB IV. PERAN MILITER (TNI POLISI) DALAM PENUMPASAN PKI TAHUN 1965 DI SURAKARTA
Bab ini menjelaskan tentang peran militer masa transisi Demokrasi Terpimpin menuju orde baru di Surakarta. Pokok bahasan yang diteliti lebih pada peranan TNI dan Polisi ketika penumpasan pada peristiwa pembantian yang dilakukan oleh PKI tahun 1965, kemudian startegi militer yang di gunakan hingga perlawanan para anggota PKI yang terjadi di Kota Surakarta. Perlawanan dan pertahanan yang dilakukan oleh PKI di Surakarta, salah satunya peran militer yang ikut andil dalam peristiwa tersebut.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini terdiri dari kesimpulan, yang isinya menjelaskan secara singkat mengenai jawaban dari rumusan masalah mengenai peran militer dalam penumpasan peristiwa G30/S PKI 1965 di Surakarta.
DAFTAR PUSTAKA
ARSIP
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 10.
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 68.
ANRI, Arsip Kepolisian Negara RI 1947-1949, No. 1051.
Dephankam, Arsip Penetapan Dewan Pertahanan Negara 1946, No. 49.
Buku-buku dan Artikel
Abdu Haris Nasution, Pokok-Pokok Gerilya, Bandung: Angkasa, 1980.
______, Sekitar Perang kemrdekaan Indonesia Jilid 2, Bandung: Angkasa, 1977.
______,Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10, Bandung: Angkasa, 1991.
______, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 11, Bandung: Angkasa, 1979.
Abrar Yusra, Ramadhan, Hoegeng Polisi: Idaman dan Kenyataan, Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Amrin Imran, Perebutan-Perebutan Kekuasaan Menegakkan Republik Indonesia 1945, Jakarta: Lembaga sejarah Hankam, 1967.
Atim Supomo, Djumarwan, Masqudori, Brimob Polri Jateng dan DIY dalam lintasan sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Atim Supomo, Djumarwan, Surya Putra, Masqudori, Brimob: Dulu, Kini dan Esok, Yogyakarta: Amazing Book, 2015.
Awaloedin Djamin, “Struktur Kelembagaan dan Profesionalisme Polisi”, dalam Banurusman (Ed), Polisi, Masyarakat dan Negara, Yogyakarta: Bigraf Publisihin, 1995.
Bambang Purwanto, “Historiografi Dan Legitimasi Peran Sosial Politik Militer Di Indonesia”, dalam Edward L. Poelinggomang dan Suriadi Mappangara, Dunia Militer Di Indonesia Keberadaan dan Peran Militer di Sulawesi, Yogyakarta: UGM Press, 2000.
______, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada Saat Transisi: Kotagede, Yogyakarta pada Akhir Masa Kolonial dan Awal Kemerdekaan”, Makalah disampaikan pada Seminar “Kota-kota di Indonesia dalam Perubahan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya 22-25 Agustus 2004.
Barito Mulyo Ratmono, Polri Diantara Kultur, Konstruksi, dan Hegemoni, Yogyakarta: Tandabaca Press, 2014.
Bellamy, Richard, Teori Sosial Modern: Persepektif Itali, Jakarta: LP3ES, 1990.
Bloembergen, Marieke, Polisi Zaman Hindia Belanda dari Kepedulian dan Ketakutan, Jakarta: Kompas, 2011.
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Dani Srihandayani, Pergerakan Fujinkai di Surakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, Surakarta: Skripsi, 2004.
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1839, Yogyakarta: Taman Siswa, 1989.
Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, Surakarta: Sapdodadi, 2000.
Dephankam, 30 Tahun ABRI, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1976.
Diah, Menyingkap Pemberontakan PKI dalam Peristiwa Madiun, Jakarta: Merdeka Press, 1965.
Gottschalk, Louis, “Understanding History: A Primer “Historical Method”, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986.
Hadiman, Lintasan Perjalanan Kepolisian RI Sejak Proklamasi 1950, Jakarta: GPM, 1985.
Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
INKOPAK, 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta: Mabes Polri, 1967.
Iwa Kusuma Sumantri, “Analisa Tentang Peristiwa–Peristiwa disekitar Proklamasi Kemerdekaan Indoensia,” Penelitian Sejarah, 1 Maret 1961.
______, Sedjarah Revolusi Indoensia, Jakarta: Grafiti, 1970.
Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: bina Citra Pustaka, 2004.
Karkono Kamajaya, “Rovolusi di Surakarta, Temu Ilmiah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 28 Agustus 1993.
Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brig. 17, Pertempuran Empat Hari di Solo dan sekitarnya Bunga Rampai Cuplikan-Cuplikan Sejarah, Jakarta: Kerukunan Anggota Detasemen II Brig. 17, 1993.
Kerukunan Keluarga Besar Ex TentaraPelajar/TNI Detasemen II Brigade 17, Persembahan Monument Ex.Tp/ TNI Detasemen II Brigade 17 di Wonosido Solo. Jakarta: Sapdodadi, 1996.
Kurasawa, Aiko, Mobilisasi dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Grasindo, 1993
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
______, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Lucas, Anton, E, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah, Yogyakarta: Resist Book, 2004.
Mabes Polri, Ideologi, Mental, Moral (Doktrin ABRI), Jakarta: Dokumentasi Mabes Polri 1951.
______, Polri Mengisi Republik, Jakarta: PTIK, 2010 .
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosussanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
Memet Tanumidjaja, Perkembangan Kepolisian RI, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1971.
Mohammad Jassin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2010.
Nagazumi, Akira, Pemberontakan Indonesia, Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Obor, 1998.
Nugroho Notosusanto, Sedjarah dan Hankam, Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Lembaga Sejarah Hankam, 1968.
Panitia Seksi Penggali Sejarah Monumen Sejarah Militer DAM VII/DIPONEGORO, Mengenang Palagan Empat Hari di Surakarta tanggal 7 s/d 10 Agustus 1949, (Surakarta: Panitia Peringatan Pertempuran Empat Hari di Surakarta, 1965.
Pono Fadlullah, “Peranan Polisi Jakarta dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI 1945-1950”, Tesis, Jakarta: UI, 1997.
Priyono, “Berbagai Nama Kesatuan-Kesatuan Polisi”, Bhayangkara, Edisi Agustus, 1950.
Pusjarah TNI, Sejarah TNI Jilid I, Jakarta: Markas Besar TNI Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000.
Ridhani, Bunga Pertempuran Serangan Umum 1 Maret 1949, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Sidik Kartopati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Yayasan Pembaharuan, 1967.
Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Yogyakarta: Liberty, 1980.
Suparno, Sejarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern, Jakarta: Dephankam Pusat Sejarah ABRI, 1971.
Tim Penyusun Hari Lahir Kabupaten Sukoharjo, Naskah Sejarah Hari Lahirnya Kabupaten Sukoharjo, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Sukoharjo: Sukoharjo, 1986.
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013.
Usep Ranuwidjaja, Swapraja Sekarang dan Dihari Kemudian, Jakarta: Djambatan, 1955.
Skripsi dan Disertasi
Annisa Tri Wahyuni, “Perkembangan Polisi Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) di Indonesia Tahun 1945-1950”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2011.
Genoveva Ambar Wulan,“Polisi dan Politik: Peranan Bagian Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) Jawatan Kepolisian Negara RI Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949”, Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
Koidah , “Sekolah Darurat di Sendang Agung Pada Masa Agresi Militer Belanda II (1948 – 1949)”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2010.
[1] Bambang Purwanto, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada Saat Transisi: Kotagede, Yogyakarta pada Akhir Masa Kolonial dan Awal Kemerdekaan”, Makalah disampaikan pada seminar Kota-kota di Indonesia dalam Perubahan yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya 22-25 Agustus 2004, hlm. 12.
[2] Bloembergen, Marieke, Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan, (Jakarta: Kompas, 2011), hlm. 65.
[3] Kerukunan Keluarga Besar Ex TentaraPelajar/TNI Detasemen II Brigade 17, Persembahan Monument Ex.Tp/Tni Detasemen II Brigade 17 di Wonosido Solo. (Jakarta: Sapdodadi, 1996), hlm. 1.
[4] Sub Wehrkreise 106 Arjuna dibentuk 21 Desember 1949, merupakan pimpinan Mayor Achmadi sebagai Komandan Pertempuran Sala (KMK). KMK Sala memindahkan markasnya ke luar kota, awalnya bermarkas di Polokarto (daerah Bekonang). Lihat Dewan Redaksi Sejarah Ex Anggota TNI Detasemen II Brigade 17, Ofensif TNI Empat Hari Di Kota Sala dan sekitarnya: Serangan Umum TNI Empat Hari di Sala 7-10 Agustus 1949, (Jakarta: Sapdodadi, 2000)
[5] Iwa Kusumasumantri, Sedjarah Revolusi Indoensia, (Jakarta: Grafiti, 1970), hlm. 43.
[6] Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakart, 2013), hlm. 6.
[7] Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, (Wonogiri: bina Citra Pustaka, 2004), hlm. 116.
[8] Ibid., hlm. 115.
[9] Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: PTIK, 1972), hlm. 116.
[10] Bloembergen Marieke, op.cit., hlm. 77.
[11] Memet Tanumidjaja, Perkembangan Kepolisian RI, (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1971), hlm. 10.
[12] Gottschalk, Louis, Understanding History: A Primer Historical Method, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 29.
[13] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 99.
[14] Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. xii .
[15] Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 25.
[16] Ibid., hlm. 29.
[17] Gottschalk, Louis, op.cit., hlm. 32.
[18] Kuntowijoyo (1994), op.cit., hlm. 100.
[19] Ibid.,
[20] Kuntowijoyo, op. cit.,hlm. 5-7.
[21] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 9.
[22] Rahmad Hamid, Muhammad Saleh, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 52-53.
[23] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 4.